Gerakan Benteng akan Medobrak Dominasi Oligarki Ekonomi

18 Desember 2024, 10:00 | Tim Redaksi
Gerakan Benteng akan Medobrak Dominasi Oligarki Ekonomi
Ilustrasi Foto Karya Andry Winarko VOI

Bagikan:

JAKARTA - Usulan dari tokoh pejuang kemerdekaan Sukarni Kartodiwirjo untuk mengganti kata "Wakil Bangsa Indonesia” menjadi “Atas Nama Rakyat Indonesia” yang ditulis melalui mesin ketik pada draft teks proklamasi tentu memiliki makna yang mendalam, khususnya pada masyarakat Indonesia saat ini. Secara simbolik pergantian kata tersebut menjadi pertanda tertutupnya pintu feodalisme di Indonesia.

Inilah pertama kalinya dalam sejarah negara Indonesia, kata bangsa atau rakyat mempunyai arti yang sangat penting. Peristiwa pembacaan teks proklamasi itu merupakan pertanda kemenangan Rakyat Indonesia, bukan hanya wakil-wakil Bangsa Indonesia.

Sastrawan muda asal Minangkabau, Heru Joni Putra menegaskan 79 tahun kemerdekaan Indonesia sesungguhnya merupakan pertarungan antara “atas nama rakyat” dan “wakil-wakil bangsa Indonesia”, yaitu pertarungan antara demokrasi dan feodalisme. Saat ini disebutkan Heru, feodalisme masih ada sampai sekarang tentu dengan gaya barunya. Dia menambahkan selama kultur feodal masih kuat, rakyat Indonesia tidak pernah benar-benar merdeka walau secara de jure negara ini sudah merdeka sejak 1945.

“Kita takut mengkritik atasan, dosen karena takut dinilai rendah atau kita tidak mungkin mengkritik orang karena memiliki hutang budi. Itulah kultur feodal, kalau demokrasi tidak ada lagi pikiran seperti itu, ada kesamaan dalam berpikir”, tegas Heru.

Tahun 1926, Tan Malaka menulis buku Aksi Massa yang menyebutkan "Di zaman feodal, seorang yang mempunyai darah raja-raja, biarpun bodohnya seperti kerbau, ’boleh menaiki singgasana dengan pertolongan pendeta dan bangsawan’, menguasai nasib berjuta-juta manusia.”. Tan Malaka menulis untuk menentang fenomena feodalisme tumbuh subur di bumi pertiwi. Dalam catatan sejarah, cara penguasa kolonialisme masuk ke Nusantara dengan menjadikan raja-raja sebagai perantara dalam menindas rakyat kecil. Raja-raja yang bersedia tunduk dimuliakan sembari terus digerogoti. Kolonialisme melestarikan sistem feodal, yang terus berlanjut hingga Indonesia merdeka

Oligarki (Bahasa Yunani: Ὀλιγαρχία, Oligarkhía) adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer.

Gerakan Benteng

Direktur Lembaga Kajian Sabang Merauke Circle Syahganda Nainggolan mengatakan orang yang pertama di bangsa ini dalam menentang dominasi oligarki non pribumi adalah Soekarno. Menurut Syahganda, Bung Karno ingin menjadikan Bangsa Indonesia menjadi tuan di negeri sendiri, bukan bangsa budak. Kebijakan dan aturan yang dikeluarkan selalu mengoreksi oligarki dari kelompok kolonial. Oligarki kolonial asal Belanda, Eropa dan Tionghoa telah mendominasi perdagangan di nusantara dalam kurun waktu yang cukup lama.

"Kebijakan Bung Karno ini untuk mengkoreksi dominasi Belanda, Eropa dan Tionghoa selama ratusan tahun mendominasi perdagangan di nusantara. Selain itu, tentu saja Bung Karno ingin menjadikan Bangsa Indonesia menjadi tuan di negeri sendiri, bukan bangsa budak. Caranya dengan membatasi non pribumi masuk berbisnis ke desa-desa yang beralasan untuk memperkuat ekonomi pribumi," jelas aktivis kelahiran dari Medan itu kepada VOI melalui pesan tertulis.

Langkah Soekarno dalam 'membagi' kue ekonomi nasional dengan membangun pengusaha pribumi dalam tataran nasional, seperti TD. Pardede, Das'ad, Hasjim Ning, Muhammad Gobel, Hadji Kalla, Ahmad Bakrie, Soedarpo, dan lain sebagainya, dalam kebijakan Program Benteng.

ilustrasi foto
ilustrasi foto Prof. Soemitro Djojohadikusumo

Berdasarkan penelusuran VOI, Program atau gerakan Benteng digagas oleh Menteri Perdagangan ketujuh, Sumitro Djojohadikusumo di kabinet Natsir pada tahun 1965. Sumitro mencanangkan kebijakan ekonomi yang berpihak pada pengusaha pribumi. Sistem ini merupakan langkah revolusioner dalam sejarah ekonomi bangsa Indonesia. Pasalnya, sistem ini merespon ekonomi Indonesia yang masih dipengaruhi oleh jejak sistem kolonial yang cenderung memberikan keuntungan lebih kepada penduduk kolonial.

Dalam tiga tahun pertama usai didirikan, gerakan benteng ini telah menjadi jalan keluar dalam mengakomodasi perlindungan dan akses yang lebih merata bagi pengusaha pribumi. Program ini mendorong transformasi ekonomi menuju keberpihakan pada pengusaha lokal, mengurangi disparitas ekonomi antara kelompok penduduk kolonial dan pribumi.

Sayangnya program ini gagal karena lemahnya pengawasan, sehingga pengusaha non-pribumi menggunakan pengusaha pribumi untuk mendominasi ekonomi. Hal ini melahirkan istilah "aktentas," di mana lisensi impor hanya dijual di atas meja kepada pelaku usaha besar yang sudah mapan. Sumber VOI menyebutkan, untuk menutup lemahnya pengawasan, maka intelijen perlu ditingkatkan kinerjanya dan dibentuk tim pengawasan di DPR dan juga di Kementerian Keuangan.

Prabowo Hidupkan Program Benteng

Di pemerintahan Prabowo, kemiskinan pun masih menjadi tantangan besar. Berdasarkan data dari BPS, per Maret 2024, tingkat kemiskinan mengalami tren menurun menjadi 9,03 persen dari 9,36 persen pada Maret 2023. Penduduk miskin pada Maret 2024 turun 0,68 juta orang dari Maret 2023 sehingga jumlah penduduk miskin menjadi sebesar 25,22 juta orang.

Hashim djojohadikusumo (Foto: Antara)

Hashim djojohadikusumo (Foto: Antara)

Menurut Hashim Djojohadikusumo, ketimpangan dan kemiskinan ini dinilai menjadi alasan Presiden Prabowo bersemangat menjalankan gagasan gerakan benteng yang dibuat ayah mereka. "Saya bersaksi, dia (Prabowo) sudah berulang kali confession, saya bisa jalankan program dari papi (Sumitro Djojohadikusumo). Saya bisa jalankan cita-cita dan impian papi. Kita bisa jalankan,” ujar Hashim dalam acara Dialog Ekonomi Kadin bersama Pimpinan Dewan Kadin Indonesiadi Menara Kadin, Jakarta, 23 Oktober lalu.

Kebijakan Prabowo untuk membangkitkan Program Benteng dilakukan melalui berbagai langkah konkret. Salah satunya adalah memberikan akses yang lebih besar kepada pengusaha pribumi dalam proyek-proyek strategis nasional. Hal ini dibuktikan dengan Presiden Prabowo dalam pertemuan dengan delegasi pengusaha asal Jepang di istana negara di awal minggu pertama desember. Prabowo memastikan keterlibatan Haji Isam, Anindya Bakrie, dan Arsjad Rasjid sebagai representasi pengusaha pribumi.

“Bapak Andi Syamsudin Arsyad, seorang pengusaha terkemuka dari Kalimantan,” kata Prabowo.

Berdasarkan pengamatan VOI, beberapa menteri turut hadir mendampingi Prabowo dalam perjamuan makan siang tersebut. Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, Menteri Luar Negeri Sugiono, dan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara turut mendampingi Presiden Prabowo dalam pertemuan dengan para pengusaha Jepang. Sementara Delegasi JAPINDA, JJC, dan perwakilan kedutaan Jepang yang hadir di Istana berjumlah lebih dari 50 orang.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pertemuan Prabowo dan para pengusaha Jepang ini melanjutkan pertemuan yang sudah digelar pada Kamis kemarin (5/12).

"Melanjutkan pertemuan kemarin dengan pengusaha Jepang. Ya mungkin, Kan nanti adaa. Seluruh, kemarin kan enggak seluruh delegasi. Sekarang delegasinya seluruhnya hadir," kata Airlangga.