Bagikan:

JAKARTA - Ruang penjara di dalam sebuah benteng adalah hal lumrah. Fungsi benteng sebagai pusat kekuatan militer jadi muaranya. Fort (benteng) Rotterdam, misalnya. Berawal dari perjanjian Bongaya, Benteng Rotterdam laksana simbol dominasi kolonialisme Belanda di tanah Makassar. Benteng yang mulanya bernama Ujung Pandang memiliki ruang penjara tertua di Nusantara.

Pangeran Diponegoro jadi yang paling kesohor pernah menghuni penjara dalam benteng. Tak main-main, selama 22 tahun. Benteng Rotterdam dan Kerajaan Gowa-Tallo adalah dua hal yang tak bisa dilepaskan. Keduanya saling berkaitan. Benteng yang mula bernama Benteng Ujung Pandang dibangun oleh Raja Gowa ke-10, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung dengan gelar Karaeng Tunipalangga Ulaweng pada 1545

Benteng ini didirikan dengan ciri khas seperti benteng Portugis kebanyakan: berbentuk segi empat. Material pembuatan didominasi oleh tanah liat. Kemudian, ketika Sultan Alauddin naik takhta benteng baru diganti dengan batu padas yang bersumber dari pegunungan Karst di daerah Maros pada 1634. Kemunculan benteng Ujung Pandang menjadi kekuatan baru Gowa-Tallo.

Sebab, sebelumnya Gowa-Tallo telah memiliki 14 benteng yang kukuh dan tertutup untuk menangkal serangan tiba-tiba musuh. Selain itu, Fort Rotterdam memiliki fungsi pengontrol perdagangan dan transaksi ekonomi yang jadi penopang utama kehidupan dan eksistensi raja-raja Goa-Tallo. Karena itu, maskapai dagang Belanda, VOC yang memiliki niat monopoli perdagangan Nusantara merasa terancam oleh kedudukan politik dan ekonomi Kerajaan Goa-Tallo.

Penjara Benteng Rotterdam (Sumber: Wikimedia Commons)

“Kedudukan politik dan ekonomi Kerajaan Makassar yang kuat menjadi ancaman besar bagi VOC, yang menjalankan kebijakan monopoli. Pertentangan dan permusuhan di antara mereka, yang berlangsung sejak 1615, mencapai puncaknya dalam bentuk Perang Makassar pada Desember 1666 sampai 18 November 1667. VOC unggul dan berhasil memaksa Makassar untuk menandatangani Perjanjian Bongaya (Het Bongaais Verdrag). Perjanjian perdamaian ini sangat menguntungkan VOC,” tulis Edward L. Poelinggomang dalam buku Makassar Abad XIX (2016).

Kemenangan itu berkat Gubernur Jenderal VOC Joan Maetsuycker (1653-1678) mengutus sang pemecah belah Kerajaan-Kerajaan Nusantara, Cornelis Speelman. Sosok yang nantinya menjadi Gubernur Jenderal ke-14 VOC itu jadi juru strategi penyerangan terhadap Makassar. Armada yang dikomandoi Speelman terdiri dari 21 kapal dengan kekuatan 300 tentara Eropa. Kekuatan itu boleh dibilang kecil. Namun, VOC juga membawa serta pasukan cadangan dari kaum bumiputra di bawah komando Kapten Jonker dan sebagaian pengikut Arung Palakka dari Bone.

Pertempuran yang gigih itu membuat Raja Gowa-Tallo menyerah. Pun setelahnya rajanya Sultan Hasanuddin dipaksa mendatangani perjanjian damai Bongaya. Perjanjian ini jadi alat Belanda menancapkan kuasanya di Makassar. Pihak kerajaan dipaksa membayar kerugian perang, melepas tawanan pegawai VOC, hingga membongkar benteng-benteng pertahanan yang ada, kecuali benteng Ujung Pandang. Yang mana, Benteng Ujung Pandang diubah namanya oleh Belanda menjadi Fort Rotterdam.

“Perjanjian Bongaya menimbulkan perubahan revolusioner dalam organisasi politik di bagian timur Kepulauan Indonesia. Kompeni mendapatkan monopoli dagang di pelabuhan Makassar dan semua orang Eropa non-Belanda dipaksa meninggalkan kota itu. Konsekuensi yang lebih besar lagi adalah pembatasan atas lingkungan kepentingan Makassar yang dengan tegas dikurangi sampai mencakup kota itu sendiri dan sekitarnya.”

“Bahkan di wilayah kecil ini Kompeni punya kekuasaan dan dibolehkan punya Benteng Rotterdam, sementara koin Belanda dinyatakan punya nilai legal di negara itu. Semua wilayah yang dilepaskan Makassar otomatis jatuh ke tangan kompeni, meskipun karena alasan praktis diletakkan di bawah kekuasaan nominal raja-raja setempat,” ungkap Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara (1961).

Penjara tertua di dalam Benteng Rotterdam

Benteng Rotterdam (Sumber: Wikimedia Commons)

Seusai perang, VOC tak cuma memperbaiki benteng. Mereka justru membangun banyak sarana dan prasara tambahan sesuai selera arsitektur Belanda. Benteng yang dulunya menjadi penopang kegiatan ekonomi kerajaan, kini menjadi simbol kekuatan militer VOC. Terutama, ketika infrastruktur ditambahkan sehingga memenuhi fungsi benteng sebagai pemukiman orang Belanda dan juga pusat kekuasan militer di tanah Makassar.

Di dalamnya pula terdapat tempat untuk menegakkan kuasa politik dan VOC. Sederet ruang penyiksaan dan penjara kemudian di tambah oleh VOC. Fasilitas itu dirasa penting karena Speelman sendiri memiliki seabrek citra buruk. Ia sering terlibat penjualan budak, berbuat curang, korup, hingga sering memenjarakan orang tanpa bukti yang kuat.

Beberapa di antaranya pejuang yang melawan dominasi Belanda diasingkan dan ditempatkan di penjara dalam benteng. Karenanya, tak jarang penjara dihuni melebihi kapasitas seharusnya. Lebih lagi, sesaknya penjara dikarenakan banyak orang yang tak kunjung diproses pengadilan.

“Oleh karena itu, di dalam benteng sebelum adanya kampung-kampung baru itu terbentuk suatu pemukiman sosial bagi kebutuhan jasmani dan rohani para penghuni benteng. Di dalam benteng ini, VOC bukan hanya membangun infrastruktur yang digunakan untuk memenuhi kepentingan ekonominya, tetapi juga menyediakan prasarana ibadah bagi para pejabat dan pegawai VOC.”

“Kecuali itu juga terdapat ruang untuk mengadili, memenjarakan dan menyiksa para tahanan yang dibawa ke benteng. Hal ini membuktikan fungsi benteng adalah sebagai penopang kekuasaan politik dan hukum VOC pada masa itu,” ujar Djoko Marihandono dalam tulisannya di Jurnal Wacana berjudul Perubahan Peran dan Fungsi Benteng (2008).

Pangeran Diponegoro (Sumber: Wikimedia Commons)

Salah satu yang pernah mendekam di penjara dalam benteng adalah tokoh yang menggelorakan Perang Jawa (1825-1830), Pangeran Diponegoro. Sebelumnya, Diponegoro mendekam di Fort Nieuw Amsterdam, Manado. Diponegoro ditempat di sana sejak Juni 1830 hingga juni 1833. Akhirnya, Diponegoro direlokasi ke Fort Rotterdam bersama istri dan 22 pengikut setia. Ia sendiri menempati penjara sempit. Pun Belanda melarang Diponegoro keluar dari benteng dan menerima tamu tanpa persetujuan Belanda.

Ia sempat ingin direlokasi kembali oleh pemerintah kolonial Belanda. Diponegoro menolak. Ia memilih menghabiskan sisa hidupnya di Benteng Rotterdam. Tercatat, Diponegero menghabiskan waktunya di Fort Rotterdam selama 22 tahun, dari 12 Juli 1833 sampai 8 Januari 1855.

“Pangeran boleh berolahraga dengan penjagaan di dalam benteng tapi hanya pada jam-jam antara terbit dan terbenamnya matahari. Pada saat matahari terbenam, komandan garnisun harus memeriksa apakah dia dan para pengikutnya sudah kembali ke tempatnya. Tidak ada yang boleh mengunjungi sang Pangeran kecuali dengan izin tertulis dari Gubernur.”

“Yang dikecualikan hanyalah komandan, perwira yang bertugas memimpin pasukan jaga, dan juru bahasa senior Belanda untuk bahasa Melayu. Perhatian khusus diperlukan agar Diponegoro dan pengikutnya tidak menjalin hubungan dengan pribumi setempat yang serdadu, pembantu, atau orang yang diasingkan serta anggota tenaga kerja paksa yang bertugas di dalam benteng,” tutup Peter Carey dalam buku Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1855 (2012).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya