JAKARTA - Nahdlatul Ulama (NU) berperan penting dalam proses perdamaian di Afghanistan. Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU jadi ujung tombak diplomasi Internasional dalam krisis yang berhubungan dengan kelompok fundamentalis Taliban. NU banyak memberikan masukan pada Taliban. Di antaranya, NU memperkenalkan kebhinnekaan Indonesia sebagai kekuatan, sebagaimana tertuang dalam falsafah Bhinneka Tunggal Ika.
Salah satu kejadian yang menggemparkan dunia adalah penculikan 23 relawan Kristen warga Korea Selatan (Korsel) oleh Taliban pada 2007. Penculikan warga Korsel yang dilakukan dalam perjalanan dari Kabul menuju Kandahar itu kemudian jadi polemik. Amerika Serikat (AS) dan sekutunya secara tegas menolak perundingan dengan Taliban. Perundingan, dalam pertimbangan AS justru bisa memberikan panggung dan kekuatan politik kepada Taliban untuk jadi besar.
Pemerintah Korsel semakin khawatir karena sebelumnya sudah ada dua sandera yang dibunuh. Jika tidak ada penyelesaian, apalagi mengikuti kehendak AS, maka nasib sandera yang tersisa –19 orang— ditakutkan akan bernasib sama. Tak mau menyerah, Korsel pun meminta bantuan kepada negara Muslim terbesar dunia, Indonesia untuk berunding dengan Taliban. Indonesia menyanggupi. NU jadi perwakilan Indonesia dalam diplomasi.
“PBNU sungguh-sungguh sedang mengatur langkah menyampaikan undangan ke salah seorang ulama Taliban agar berkesempatan datang ke Indonesia,” ungkap Ketua Umum PBNU, Kiai Haji Hasyim Muzadi dikutip Antara.
Kesempatan pun didapat. NU kemudian berunding dengan tokoh dan ulama di Afghanistan. Lantaran itu ada kesanggupan dari pihak Taliban untuk segera berbicara terkait pembebasan sandera. Pun NU memberikan pelajaran penting kepada dunia dalam berunding dengan Taliban. Hasyim juga ikut meluruskan kesalahpahaman banyak pihak, terutama Barat terhadap Islam yang dianggap ekstremis, fundamentalis, dan teroris.
Apalagi, Hasyim menemukan biang keladi dari kekerasan dan konflik yang terjadi di Afghanistan adalah ketidakadilan, kesalapahaman, kemiskinan, dan kebodohan. Keempat faktor tersebut justru harus diperangi oleh semua pihak. Korsel sendiri dapat berperan dalam mengatasi hal ini. Kombinasi dari kehadiran Sekjen PBB, Ban Ki-moon dan kekuatan ekonomi Korsel yang kuat dapat dijadikan senjata utama membawa perdamaian di Tanah Afganistan.
“Mula-mula, para tokoh agama di Indonesia yang dianggap moderat diminta bantuannya oleh Seoul untuk menjalin kontak dengan Taliban. NU dan Muhammadiyah sedikit banyak ikut andil dalam membuka kontak dengan Taliban tersebut. Kedekatan sesama Muslim ikut memengaruhi psikologi Taliban.”
“Selanjutnya, melalui perjuangan diplomasi yang intens, akhirnya para diplomat Indonesia bisa diterima Taliban untuk menjadi observer dalam proses pembebasan para sandera tersebut. Hasilnya, seperti diceritakan di atas, Presiden Roh Moo-yun pun amat berterima kasih kepada Indonesia,” tulis M. Bambang Pranowo dalam buku Orang jawa Jadi Teroris (2011).
NU perkenalkan kebhinnekaan pada Taliban
Setelah kejadian itu NU langsung memfokuskan diri berperan aktif untuk perdamaian di Afghanistan pada 2010. Keprihatian akan konflik yang berkepanjangan mulai memunculkan rasa kemanusiaan yang tinggi di antara kiai-kiai NU. Alhasil, diskusi-diskusi dengan para pemangku kepentingan di Afghanistan mulai digalakkan. Lagi pula, hal itu didukung oleh pemerintah Indonesia. pun karena kepercayaan pemerintah Indonesia terhadap NU sangat kuat untuk membawa perdamaian di tanah Afghanistan.
Salah satu jejak diplomasi NU adalah mengundang tokoh dan ulama penting Afghanistan untuk menghadiri Forum Silaturahmi Perdamaian Afghanistan pada Harlah NU ke-82 di Jakarta, 18 Juni-17 Juli 2011. Tujuan diadakannya forum adalah agar para tokoh dan ulama Afghanistan mendapatkan gambaran kekuatan besar Indonesia bernama keberagaman. Sebuah perpanjangan makna dari falsafah Bineka Tunggal Ika.
“Tujuan diadakannya forum tersebut adalah agar para tokoh dan ulama mendapat gambaran yang jelas tentang keberagaman Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Walaupun memiliki kemajemukan yang sangat tinggi, namun Indonesia mampu mempertahankan kesatuan dan persatuan sehingga perdamaian dapat terjaga."
"Hal inilah yang menurut NU perlu dijadikan contoh dan diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran bagi tokoh dan ulama Afghanistan,” ujar Muhammad Ijmalul Faizin dalam skripsinya yang berjudul Peran Nahdlatul Ulama dalam Proses Perdamaian di Afghanistan pada 2011-2018 (2020).
Tak hanya itu, NU juga ikut terlibat dalam konferensi internasional tentang perdamaian Afghanistan di Istanbul, Turki pada 29 November-2 Desember 2011. Dalam konfrensi itu, para ulama Afghanistan bertukar pikiran dengan cendekiawan Islam di seluruh dunia. Upaya itu untuk menguatkan potensi pemimpin agama dalam meluruskan jalan perdamaian di Afghanistan.
NU pun mengusulkan supaya kelompok-kelompok yang berseteru di Afganistan segara bersatu. Sebab, para kiai berpikir masyarakat Afganistan mazhab keagamaannya cenderung seragam. Dalam pada itu, hubungan antara NU dan Taliban semakin dekat. NU bahkan diizinkan mendirikan organisasi dengan nama sama persis di Afghanistan.
“Itu awalnya berpikir sederhana. Karena mazhab keagamaan dan tarekatnya hampir sama semua, tetapi masih bertengkar dan tidak bisa bersatu. Ternyata setelah dilihat lebih dalam lagi, suka dan klan di sana lebih kuat walaupun mazhab dan tarekatnya hampir sama semua. kita terus menyampaikan hal-hal supaya bisa membentuk sebuah pemerintahan,” jelas Kiai Marsudi dikutip situs web resmi NU.
Setelahnya, dengan tangan terbuka NU mengundang ulama-ulama Afghanistan ke Indonesia pada 2013 dan 2015. Kesempatan itu dijadikan NU sebagai sarana mengenalkan ulama-ulama Afghanistan kepada peradaban dan sejarah perjuangan Islam yang ada di Indonesia dengan membawanya ke pesantren, universitas, dan lain sebagainya.
Dalam momen itu pula Kiai NU banyak bercerita terkait proses penyusunan Piagam Jakarta – yang kemudian menjadi UUD 1945. Yang mana, tokoh Islam melunak mengubah narasi “Presiden ialah orang Indoensia asli dan beragama Islam” seperti dalam Pasal 6 ayat 1 UUD 1945, segera dihilangkan kalimat “beragama Islam.”
Selanjutnya, narasi dalam Pasal 29 ayat 1 “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” turut diubah. Lantaran itu, kalimatnya hanya menyisakan narasi “Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa.” Perubahan itu sebagai bentuk Indonesia telah menjunjung tinggi kebinekaan. Berkatnya, Indonesia telah menjadi negara merdeka dari belenggu penjajahan sejak 76 tahun yang lalu.
“Ternyata, dukungan dari sejumlah kalangan terhadap Piagam Jakarta tidak berlangsung lama. Tuntutan dari pihak Kristen di kawasan Kaigun (Angkatan Laut Jepang), seperti yang disampaikan seorang opsir kepada Moh. Hatta. Mereka berkeberatan terhadap anak kalimat dalam Preambule (pembukaan) yang berbunyi, ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.’ Mereka mengakui tidak terikat dengan anak kalimat itu, tetapi memandangnya sebagai diskriminasi terhadap mereka sebagai golongan minoritas,” tutup Peter Kasenda dalam buku Bung Karno Panglima Revolusi (2014).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH DUNIA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.