Ketika Syarat Presiden Wajib Islam Dihapus dari Draf UUD 1945
Sidang BPUPKI (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Terdesaknya Jepang dalam Perang Dunia II jadi faktor pendorong kemerdekaan Indonesia. Jepang cari dukungan, menebar janji kemerdekaan. Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dibentuk sebagai motor penggerak. Pancasila dan Piagam Jakarta dirumuskan. Namun Piagam Jakarta yang jadi cikal bakal UUD 1945 karena berisi narasi menegakkan syariat. Bahkan presiden harus Islam. Poin itu kemudian dihilangkan.

Kekalahan Jepang pada Perang Dunia II tak datang tiba-tiba. Satu demi satu kawasan yang jadi lumbung kekuasaan mulai dikuasai sekutu. Berita kekalahan Jepang menggema kemana-mana, termasuk di Nusantara. Sebagai bentuk antisipasi munculnya bibit-bibit revolusi, Jepang ‘kembali’ menebar janji kemerdekaan pada kaum bumiputra.

Mereka juga memberikan pelonggaran terhadap aktivitas politik tokoh-tokoh bangsa dari mimbar ke mimbar. Jepang mengizinkan pula bendera merah putih berkibar. Pun dengan pengumandangan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Setelahnya, atas seizin Jepang BPUPKI berdiri pada Maret 1945.

Keanggotaannya diisi tokoh-tokoh besar, seperti Rajiman Wediodiningrat, Soekarno, Hatta, hingga Ki Hajar Dewantara. Pemilihan tokoh-tokoh itu dianggap mewakili lintas aliran pemikiran. Tugas-tugasnya meliputi merumuskan bentuk negara, batas negara, hingga dasar falsafah negara.

“Anggota BPUPKI dilantik pada 28 Mei 1945, dan antara 29 Mei- 1 Juni 1945 diselenggarakan sidang-sidang pertama yang ternyata berlangsung cukup hangat. Anggota BPUPKI semula berjumlah 60, kemudian bertambah delapan, menjadi 68 orang. Dilihat dari sudut perimbangan ideologi politik, menurut pengamatan Prawoto Mangkusasmito, hanya sekitar 20 persen saja dari 68 orang itu yang benar-benar mewakili aspirasi politik golongan Islam.”

“Selebihnya mewakili pandangan nasionalisme yang dalam hal ini tidak mau membawa agama ke dalam masalah kenegaraan. Sedangkan yang dimaksud dengan aspirasi politik golongan Islam ialah diusulkannya Islam sebagai dasar filosofis negara yang hendak didirikan. Bagi mereka, Islam itu serba lengkap, meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia,” ujar Ahmad Syafii Maarif dalam buku Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 (1996).

Suasana sidang BPUPKI (Sumber: Commons Wikimedia)

Peristiwa bersejarah berhasil digoreskan pada 1 Juni. Dalam sidang istimewa itu Soekarno mengemukan doktrin pancasila “lima dasar” yang akan menjadi falsafah resmi Indonesia yang merdeka: kebangsaan, perikemanusiaan, demokrasi, kesejahteraan, dan ketuhanan.

Selesai Bung Karno berpidato, ia disambut tepuk tangan riuh gemuruh. Tak lama setelahnya muncul usulan agar Islam dijadikan sebagai dasar negara. Usulan itu lalu memicu sebuah bentuk kompromi yang dikenal sebagai Piagam Jakarta.

“Walaupun dasar-dasar ini pada umumnya diterima oleh anggota anggota BPUPKI, akan tetapi para pemimpin Islam merasa tidak senang karena Islam tampaknya tidak akan memainkan peranan yang istimewa. Akhirnya, mereka menyetujui suatu kompromi yang disebut Piagam Jakarta yang menyebutkan bahwa negara akan didasarkan atas ‘ketuhanan,’ dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

"Implikasi Piagam Jakarta terhadap hubungan antara syariat Islam dan negara menjadi sumber pertentangan pertentangan sengit di tahun-tahun mendatang,” tulis Sejarawan M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005).

Piagam Jakarta diubah terburu-buru

Sidang BPUPKI pertama memang berhasil menelurkan Pancasila. Tapi tidak dengan dasar negara Republik Indonesia. Sebagai tindak lanjut, segenap anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang diketuai Soekarno. Panitia ini bertujuan untuk memastikan dan mendapatkan keputusan atas gagasan sebelumnya mengenai perumusan dasar negara.

Setelah berdebat panjang selama 21 hari, pada 22 Juni kompromi politik atas dua pola pemikiran menyetujui keluarnya Piagam Jakarta. Perdebatan itu kemudian menghasilkan Pancasila yang diterima sebagai dasar negara. Tapi urutan silanya mengalami perubahan letak. Perihal “Ketuhanan yang Maha Esa” muncul sebagai yang paling utama. Hal itu turut diberikan kalimat pengiring “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Piagam Jakarta akhirnya disahkan sebagai Mukadimah UUD 1945. Namun, kompromi tersebut hanya bertahan selama 57 hari atau tepat pada 18 Agustus 1945. Pengiring kalimat yang terdiri dari tujuh atau delapan perkataan di atas dirasakan oleh sebagian kaum bumiputra di belahan Timur sebagai diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. Untuk itu, demi persatuan Indonesia akhirnya anak kalimat itu pada 18 Agustus 1945 dibuang dari pembukaan UUD 1945.

“Ternyata, dukungan dari sejumlah kalangan terhadap Piagam Jakarta tidak berlangsung lama. Tuntutan dari pihak Kristen di kawasan Kaigun (Angkatan Laut Jepang), seperti yang disampaikan seorang opsir kepada Moh. Hatta. Mereka berkeberatan terhadap anak kalimat dalam Preambule yang berbunyi, ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.’ Mereka mengakui tidak terikat dengan anak kalimat itu, tetapi memandangnya sebagai diskriminasi terhadap mereka sebagai golongan minoritas,” pungkas Peter Kasenda dalam buku Bung Karno Panglima Revolusi (2014).

Hatta-Soekarno (Sumber: Commons Wikimedia)

Setelah berdebat hebat, para tokoh yang bersikeras menyetujui Piagam Jakarta melunak. Perubahan pun dilakukan dengan mengubah batang tubuh UUD 1945. Dalam rapat resmi BPUPKI yang telah bersalin nama menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) disepakati sejumlah hal. Antara lain mengubah kata “Mukaddimah” dalam pembukaan UUD 1945, menjadi “pembukaan.” Narasi “Presiden ialah orang Indoensia asli dan beragama Islam” seperti dalam Pasal 6 ayat 1 UUD 1945, segera dihilangkan kalimat “beragama Islam.”

Selanjutnya, narasi dalam Pasal 29 ayat 1 “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” turut diubah. Lantaran itu, kalimatnya hanya menyisakan narasi “Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa.”

“Keduanya kemudian dihapuskan setelah mendapat keberatan dari umat Kristen Indonesia Timur. Struktur pemerintahan pun dibentuk dengan menyatakan bahwa semua orang Indonesia yang menjadi pejabat penasehat pemerintah Jepang sekarang menggantikan orang Jepang tersebut atas nama Republik,” tutup M.C. Ricklefs, Bruce Lockhart, Albert Lau, Portia Reyes, dan Maitrii Aung-Thwin dalam buku Sejarah Asia Tenggara: Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer (2013).

*Baca Informasi lain soal PANCASILA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

BERNAS Lainnya