JAKARTA - Banyak yang menganggap kemerdekaan Indonesia berkat Jepang. Memang, kehadiran Jepang meruntuhkan dominasi kolonialisme Belanda. Berkali-kali juga Jepang menjanjikan Indonesia merdeka, dari 7 September 1944 hingga awal September 1945. Ada juga yang mengaitkan pengeboman Hiroshima 6 Agustus 1945 dan Nagasaki 9 Agustus 1945 sebagai momentum keberuntungan yang membuat Indonesia akhirnya merdeka. Benarkah begitu?
Rencana kemerdekaan Indonesia makin mengemuka kala dibentuknya Badan Penyelidikan Usaha persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Maret 1945. Tercatat, dua kali BPUPKI menggelar sidang pleno, yaitu pada 28 Mei-2 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945. Setelahnya, angkatan darat dan angkatan laut Jepang mengadakan pertemuan di Singapura pada akhir Juli.
Hasil pertemuan adalah memberikan kemerdekaan pada Jawa pada awal Bulan September. Daerah lain dijanjikan menyusul. Pasca bom atom meledak di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang langsung mengundang Soekarno, Hatta, dan Radjiman Wediodiningrat ke Dalat, Vietnam. Dengan segera, Jenderal Terauci melantik Soekarno dan Hatta sebagai Ketua-Wakil dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tujuannya lagi-lagi mengiming-imingi Indonesia dengan kemerdekaan pada 24 Agustus 1945.
“Pada 8 Agustus 1945, Soekarno, Hatta, dan Radjiman dipanggil oleh Jenderal Terauchi ke Dalat di Indochina. Di sana, pada 11 Agustus 1945, Jenderal Terauchi menjanjikan kepada mereka bahwa kemerdekaan akan diberikan kepada Indonesia pada 24 Agustus 1945. Sidang perundang-undangan akan diadakan pada 19 Agustus 1945. Minggu menjelang kemerdekaan yang dijanjikan akan digunakan untuk mengedarkan dan meratifikasi Undang-Undang Dasar yang sebelumnya telah disusun oleh PPKI,” tulis George McTurnan Kahin dalam buku Nasionalisme & Revolusi Indonesia (2013).
Indonesia merdeka
Soekarno dan Hatta kembali ke Indonesia pada 14 Agustus 1945. Di Indonesia mereka mendapatkan penentangan dari para gerilyawan nasionalis. Mereka tak sudi dengan kemerdekaan Indonesia didapat lewat jalan hadiah dari Jepang. Mereka memilih jalan kemerdekaan sendiri di luar skenario Jepang.
Segenap rakyat Indonesia juga bertekad merebut kemerdekaan tanpa syarat dari Jepang melalui berbagai jalan, termasuk jalan kekerasan. Gerakan-gerakan bawah tenah di Jawa telah bersiap untuk melakukan pemberontakan. Lebih lagi, Soekarno, Hatta, dan Radjiman telah mendapati fakta jika Jepang sudah menyerah kepada sekutu sehingga mematik semangat revolusi.
“Di saat sekitar kembalinya Soekarno dan Hatta, desas-desus tentang Jepang yang akan segera bertekuk lutut telah menjadi buah bibir masyarakat. Sjahrir yang sangat tahu tentang berita-berita internasional mengunjungi Hatta untuk mendesakkan proklamasi terlepas dari PPKI, sehingga tuduhan Sekutu sebagai negara boneka Jepang akan tidak berdaya,”
“Dalam siaran radio dari Australia pemerintah Belanda dalam pelarian menegaskan bahwa menentang keras para pemimpin Indonesia yang bekerjasama dengan penguasa Jepang. Maka Hatta memberikan jawabannya kepada Sjahrir, jika Soekarno dan dia akan memproklamasikan kemerdekaan suatu bentuk lain Sjahrir menganggap tidak mungkin - tidak penting dalam kaitan apa proklamasi itu dilakukan,” Harry A. Poeze dalam buku Tan Malaka, gerakan kiri, dan revolusi Indonesia Jilid 1 (2008).
Dalam masa itu terjadilah pertentangan antara golongan tua dan muda. Soekarno-Hatta bagian dari golongan tua enggan memproklamasikan kemerdekaan terburu-buru pada 15 Agustus 1945. Golongan muda kehilangan kesabaran. Mereka menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk melakukan perundingan pada 16 Agustus 1945. Sehari setelahnya, yakni tanggal 17 Agustus 1945 dipilih sebagai hari bersejarah Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia.
“Setelah selesai memberikan pidatonya, mulailah Bung Karno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Aku lihat beberapa orang mengucurkan air mata, gembira bercampur haru. Nampak olehku Pak Suwirjo terisak-isak, demikian juga aku sendiri. Saat itu melihat banyak lelaki mengucurkan air mata. Aku lihat Bung Karno dan Bung Hatta bersalaman."
"Sementara itu Pak Latief Hendraningrat mempersiapkan upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih. Aku bersama-sama dengan S.K. Trimurti menuju tiang bendera. Upacara bendera dipimpin Pak Latief, dengan diiringi lagu Indonesia Raya, tanpa musik. Semua tertib dan khusuk,” ungkap Fatmawati (Ibu Fat) dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno (2016).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.