Benarkah Sebutan Baduy Dianggap Ejekan dari Muslim Banten bagi Orang Kanekes?
Urang Kanekes (Sumber: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Baduy menjadi perbincangan tatkala Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenakan pakaian adat Suku Baduy Luar pada pelaksanaan Sidang Tahunan MPR RI 2021. Salah satunya pembahasan tentang penyebutan Baduy yang ternyata tak disukai oleh orang Kenekes itu sendiri. Sebab sebutan Baduy itu dianggap ejekan bagi penduduk setempat. Lantas bagaimana sejarahnya?

Terdapat banyak versi terkait asal usul masyarakat Baduy. Ada yang bilang orang Baduy merupakan pelarian dari Padjajaran Bogor. Versi lain mengatakan orang Baduy berasal dari Banten Utara yang berpindah ke arah pegunungan di sebelah selatan Banten dan menetap di Desa Kanekes yang mereka tempati sekarang karena pengaruh sosial politik. 

Meski dua versi tersebut berlainan dalam hal muasal tempat tinggal, tapi kedua versi itu sependapat bahwa orang Baduy merupakan pelarian dari tempat asalnya. Pleyte (1909) misalnya, menganggap orang Baduy berasal dari daerah Bogor yaitu Padjajaran. Sementara Jacob dan Meijer J.J (1891) berpendapat orang Baduy melarikan diri dari pengaruh Islam yang dipimpin oleh Maulana Hasanudin yang diperkirakan berasal dari daerah Banten Utara. 

Urang Kanekes (Sumber: Wikimedia Commons)

Sementara itu, Kruseman dan Penning mengawinkan dua pandangan tersebut dengan menyebut orang Baduy adalah penduduk Banten yang mengaku keturunan Padjajaran kemudian merasa terdesak oleh Maulana Hasanudin pada abad ke-16. Mereka lantas menyingkir ke daerah Pegunungan Kendeng dan mendiami daerah tersebut sampai sekarang karena tak mau memeluk agama Islam. 

Sucipto dan Limbeng dalam Studi Tentang Religi Masyarakat Baduy di Desa Kanekes Provinsi Banten (2007) menjelaskan sebutan Baduy atau yang digunakan untuk menyebut penduduk Desa Kenekes, diberikan oleh orang luar. Sebutan itu muncul karena mereka menetap di daerah bernama Cibaduy. 

Tapi menurut Sucipto dkk, ada juga anggapan lain yang menyatakan sebutan itu merupakan ejekan dari penduduk Banten Selatan yang sudah menganut agama Islam. "Mereka menyebut penduduk yang belum beragama islam dan selalu berpindah-pindah itu seperti halnya orang Badawi di Arab, dengan sebutan Baduy... Sedangkan penulis-penulis Belanda menyebut kelompok ini dengan sebutan badoe'i; badoej, badoewi; orang Kanekes dan Rawayan," tulis Sucipto dkk (2007: 17). 

Langgeng disebut Baduy

Pada 1980-an pencatatan warga sipil mulai diharuskan terhadap orang-orang yang tinggal di Desa Kanekes. Mereka harus tercatat sebagai penduduk dengan memiliki KTP. Dan pada saat itu, kata Sucipto dkk: "Mereka tidak menolak ketika ditulis sebagai orang Baduy. Walaupun mereka sendiri menyebut dirinya sebagai urang Kanekes atau urang Rawayan, atau menyebut dirinya sesuai dengan kampung asalnya, seperti urang Cibeo, urang Cikertawana atau Cikeusik."

Masih menurut Sucipto dkk, kesimpangsiuran asal muasal urang Kanekes terletak pada ketertutupan masyarakat Baduy sendiri. Sucipto dkk menjelaskan, menurut mereka asal mula kehidupan masyarakat urang Kanekes tabu untuk diungkapkan. 

"Kepercayaan dan legenda yang berkembang pun cenderung meninggalkan sejarahnya. Adanya anggapan bahwa masa lampau adalah sama dengan masa sekarang, membuat masyarakat Baduy relatif tidak mempunyai bukti-bukti sejarah yang jelas," tulisnya.  

Urang Kanekes (Sumber: Wikimedia Commons)

Meski begitu, urang Kanekes terkenal memegang teguh nilai-nilai leluhurnya. Misalnya, mereka mempunyai kewajiban untuk melakukan tapa dunya atau tapa mandala, termasuk memelihara lingkungan alamnya sebagai pusat dunia. 

Selain itu dalam hal kekerabatan, orang Baduy mempunyai kewajiban "ngasuh ratu, ngjayakeun menak" (mengasuh ratu dan membimbing orang-orang pembesar). Mereka menganggap ratu dan menak itu adanya di dayeuh (kota) bukan di Kanekes. Sehingga urang Kanekes merasa kedua posisi tersebut harus diasuh dan dibimbing serta merasa tabu untuk memberontak pada pemerintah. 

Salah satu manifestasi dari menjunjung tinggi nilai kekerabatan tersebut yakni dengan melakukan seba setiap tahun kepada pemerintah setempat. Ritual seba adalah mengantarkan hasil bercocok tanam setelah panen sebagai ungkapan rasa terima kasih dan pengakuan kepada pemerintah yang mereka sebut Ratu. 

*Baca informasi lain tentang SEJARAH atau tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

MEMORI Lainnya