Soekarno Ingin Papua, Hatta Tolak Papua
Bung Hatta dan Bung Karno (Sumber: Commons Wikimedia)

Bagikan:

JAKARTA - Soekarno dan Mohammad Hatta tak melulu soal kekompakan. Keduanya sering terlibat perbedaan. Pun setelah Indonesia merdeka. Hatta selalu memosisikan diri sebagai pengkritik Soekarno. Masalah papua, misalnya. Soekarno ingin Papua jadi bagian Indonesia. Hatta menolak.

Bagi Hatta bangsa Papua berhak menjadi bangsa merdeka. Perdebatan itu jadi bukti Hatta bukan ‘Yes Man’ yang bisa disetir. Silang pendapat soal Papua antara Soekarno dan Hatta bermula dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 10-11 Juli 1945.

Kala itu mayoritas peserta rapat menyetujui masuknya Papua menjadi bagian Indonesia. Papua digambarkan memiliki kedekatan emosional yang kuat dengan kaum bumiputra. Papua dianggap dapat melengkapi wilayah bekas Hindia-Belanda, dengan tambahan Borneo Utara (serawak dan Sabah), Malaya, hingga Timor Portugis --kini Timor Leste.

Salah satu peserta rapat, Mohammad Yamin bahkan mengemukakan secara historis, politik, dan geopolitik wilayah Papua adalah bagian dari Indonesia. Papua adalah vassal (daerah penaklukkan) kerajaan Tidore di Maluku. Soekarno sependapat dengan Yamin.

Soekarno mengungkap Indonesia memang dikaruniai Tuhan wilayah yang membentang dari Sumatra hingga Papua. Narasi itu langgeng dikenal dengan sebutan: dari Sabang hingga Merauke.

“Jikalau saya melihat letaknya pulau-pulau yang tersebar di antara Asia dan Australia, di antara Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, saya mengerti bahwa itulah ada satu kesatuan yang telah dikehendaki oleh Allah SWT,” ungkap Soekarno dalam rapat dikutip Wawan Tunggul Alam dalam buku Demi Bangsaku: Pertentangan Bung Karno vs. Bung Hatta (2003).

“Lihatlah Tuan-tuan di peta dunia gambar Kepulauan Indonesia. Nyata sekali bahwa itu satu kesatuan. Maka oleh karena itu, di dalam sidang ini, saya akan memberikan suara saya kepada paham bahwa negara Indonesia merdeka harus meliputi pula Malaya dan Papua, itu saja,” tambahnya.

Hatta dan Soekarno (Sumber: Commons Wikimedia)

Di tengah pendapat mayoritas yang mendukung Papua bagian dari Indonesia, Hatta muncul sebagai pembeda. Hatta menyebut Papua dihuni oleh mayoritas bangsa Melanesia. Andai kata Indonesia ingin mencari wilayah yang lebih memiliki tingkat emosional yang dekat, maka jawabannya bukan Papua, melainkan Malaya dan Borneo Utara karena kesamaan etnis rumpun Melayu.

“Saya sendiri ingin menyatakan bahwa Papua sama sekali tidak saya pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Saya mengakui bahwa bangsa Papua juga berhak untuk menjadi bangsa merdeka, akan tetapi bangsa Indonesia buat sementara waktu, yaitu dalam beberapa puluh tahun, belum sanggup, belum mempunyai tenaga cukup, untuk mendidik bangsa Papua sehingga menjadi bangsa yang merdeka,” pungkas Hatta dalam rapat BPUPKI.

Kendati demikian, Hatta menegaskan, beda soal jika keinginan bergabung dengan Indonesia muncul dari keinginan orang Papua sendiri. Dalam koridor itu Hatta setuju saja. Akan tetapi jika Papua dipaksakan masuk Indonesia, maka, Indonesia tak ada bedanya dengan penjajah Belanda. Artinya, Indonesia tak belajar sama sekali dari kolonialisme. Berawal dari bangsa yang dijajah, kemudian justru melanggengkan politik imperialisme.

“Jadi jikalau ini diterus-teruskan, mungkin kita tidak puas dengan Papua saja tetapi Solomon masih juga kita-kita minta dan begitu seterusnya sampai tengah laut Pasifik. Apakah kita bisa mempertahankan daerah yang begitu luas? Cukupkah tenaga kita untuk untuk menyusun daerah itu semua ke dalam lingkungan tanah air kita?” tegas Hatta.

Soekarno ‘ngotot’ akan Papua

Dibanding Hatta, gagasan Soekarno dan Mohammad Yamin yang paling banyak dipilih mayoritas peserta rapat BPUPKI. Setelahnya Soekarno menjadikan persoalan merebut Irian Barat (Papua) sebagai urusan krusial. Bung Karno berucap tanpa Irian Barat Nusantara tak akan sepenuhnya menjadi Indonesia.

Hampir dalam tiap momentum Bung Karno selalu menunjukkan kecintaan akan Irian Barat. Kecintaan itu hadir dalam tiap gaung pidatonya. Bung Karno sempat pula menganalogikan Irian Barat layaknya bagian dari tubuh. Yang mana, jika salah satu bagian telah hilang, maka keseimbangan takkan mungkin didapat.

“Dibandingkan dengan wilayah kepulauan kami, Irian Barat hanya selebar daun kelor, tetapi Irian Barat adalah sebagian dari tubuh kami. Apakah seseorang akan membiarkan salah satu anggota tubuhnya diamputasi tanpa melakukan perlawanan?” ungkap Bung Karno ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).

Masalah Irian Barat perlahan-lahan jadi masalah personal. Bung Karno ‘ngotot’ melakukan ragam perundingan untuk merebut Irian Barat. Tetapi, karena Indonesia terlalu menggantungkan diri lewat jalur diplomasi dan bersilat lidah, Belanda tampak bertindak curang. Buahnya, Indonesia sering kali dilecehkan di forum PBB. Usulan Irian Barat jadi bagian Indonesia ditolak.

Papua zaman lampau (Sumber: Commons Wikimedia)

Bung Karno marah dan mulai kehilangan kesabaran. Jalur diplomasi tak mempan, jalur perang dipilih Bung Karno. Narasi Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 1961 jadi upaya pamungkas Bung Besar. Semangat Trikora kemudian menggelegar kemana-mana. Termasuk di depan rakyat Celebes pada tahun 1962. Bung Karno berjanji sebentar lagi akan mengibarkan Sang Merah Putih di tanah Papua.

"Insyaallah tak lama lagi dan dalam tahun ini juga Sang Merah Putih akan berkibar di Irian Barat. Kita tidak akan peduli apakah dengan penyerbuan ke Irian Barat itu dunia digemparkan atau tidak. We don't care, we don't care, karena mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan RI merupakan tekad bangsa Indonesia yang tegas dan suatu pertumpahan darah tidak tergantung pada bangsa Indonesia,” ucap pidato Bung Karno dikutip Rosihan Anwar dalam buku Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik, 1961-1965 (2006).

Pucuk dicinta ulam tiba. Trikora yang digaungkan Soekarno membuahkan hasil. Irian Barat berhasil bersatu dengan Indonesia pada Mei 1963. Dalam perundingan-perundingan antara Indonesia dan Belanda yang ditengahi Amerika Serikat, Belanda setuju menganggarkan 30 juta dolar pertahun untuk pembangunan Irian Barat melalui PBB.

Sementara, Indonesia berkewajiban menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) bagi rakyat Irian Barat pada Desember 1969. Pepera kemudian berlangsung dari 14 Juli 1969 di Merauke dan berakhir pada 4 Agustus 1969 di Jayapura. Hasilnya, Irian Barat secara paripurna menjadi bagian dari Indonesia. Dengan begitu, lengkap sudah wilayah Indonesia melintang dari Sabang hingga Merauke.

*Baca Informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya