JAKARTA - Gerak sejarah minuman keras (miras) di Tanah Air penuh dinamika. Sedari zaman Belanda, miras telah hadir, baik yang legal ataupun ilegal. Orang China dan Belanda jadi aktor yang melanggengkan kebiasaan minum miras. Kaum bumiputra sebaliknya. Meluasnya ajaran Islam melebarkan anggapan miras sebagai perkara mudarat, ketimbang manfaat.
Lebih dari itu, miras sering dihubungkan dengan “dunia hitam.” Miras acap kali jadi pelengkap dosa lain, seperti perjudian dan pelacuran. Buahnya, penolakan akan miras sempat menggema di seantero Jawa. Kebiasaan minum miras di kalangan bumiputra telah ada jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia. Kala itu, kebiasaan minum miras hanya dilakukan untuk acara besar, bukan kebiasaan terbuka.
Kebiasaan minum miras itu kemudian menjadi bagian dari kebiasaan hidup kaum priayi dan pangreh praja (pejabat pemerintah Belanda). Miras bagi mereka jadi medium mengungkap rasa bahagia dan dipercaya sebagai obat. Lebih lengkap terkait miras sebagai obat, kami pernah mengulasnya dalam tulisan “Minum Arak Batavia atau Mati: Ketika Minuman Beralkohol Menangkal Penyakit di Zaman Belanda”.
Satu sisi agama melarang. Sisi lainnya, miras adalah perkara yang sah jika berkaitan dengan banyak perayaan besar. Miras jadi jamuan ketika merayakan pesta ulang tahun bupati, pesta menyambut panen raya, dan pesta pembukaan pabrik gula. Namun kebiasaan itu tetap dianggap banyak memunculkan. Dari merugikan diri sendiri hingga merugikan orang banyak.
“Mudarat atau kerusakan yang ditimbulkan (miras) jauh lebih besar. Orang mabuk bisa menyebabkan lupa istri dan anak. Menimbulkan kerugian orang lain di sekitarnya. Bahkan kesehatan dirinya!" ditulis Achmad Chodjim dalam buku Sunan Kalijaga (2013).
"Pada masa Sunan (Kalijaga) minuman keras mungkin hanya berasal dari minuman keras tradisional seperti tuak Jawa Kuno (twak). Minuman ini diperoleh dari fermentasi air bunga pohon tal, atau aren. Nah, sebelum kedatangan bangsa Eropa, ya hanya tuak itu yang menjadi sarana untuk mabuk-mabukan. Setelah mereka datang, masuklah bir sebagai pengganti tuak.”
Namun, masih dalam batas moral, orang Jawa menyakini adanya lima larangan moral yang disebut "Ma-Lima" atau madat (menghisap candu), madon (berzina), minum (miras), main (berjudi), dan maling). Menjauhi larangan itu diyakini akan membuat hidup seseorang Jawa jauh dari kehancuran. Pun hal yang sama berlaku kepada Raja Jawa. Dalam sastra Jawa kuno disebutkan, raja mabuk dan sikapnya yang kurang layak terhadap rakyat dianggap sebagai tanda-tanda pralaya, masa kehancuran.
“Bahwa mabuk juga dianggap sebagai tanda pralaya dalam masa Mataram II ditegaskan oleh Serat Rama. Seorang raja yang menuruti kekasaran dan kemarahan hatinya yang tak terkendalikan, karena ingin ditakuti dan dipatuhi, juga dikutuk," ditulis Soemarsaid Moertono dalam buku Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI-XIX (2017).
"Raja yang demikian disamakan dengan kambing yang menyerang setiap potongan kayu yang dipasangkan di depannya. Tentulah tingkah laku yang demikian menyatakan emosi tak terkendali yang bagi orang Jawa merupakan kelakuan yang sangat tidak pantas."
Miras meresahkan kaum bumiputra
Seiring menjamurnya pabrik penyulingan arak di berbagai tempat, terutama Batavia, kecemasan kaum bumiputra akan miras makin meningkat. Sikap menolak minuman keras kemudian digelorakan oleh berbagai organisasi sosial-politik bumiputra. Sarekat Islam (SI) salah satunya.
Kasijanto, dalam jurnalnya, Industri Rumah Tangga di Sekitar Pabrik: Penyulingan Arak di Beberapa Kota di Jawa sekitar 1870-1925 (1993) mengungkap, SI bahkan telah memasukkan masalah penolakan minuman keras dalam agenda kongres mereka tahun 1917.
Organisasi sosial yang berlandaskan Islam itu menyerukan kepada pemerintah Hindia-Belanda untuk memberlakukan aturan yang melarang “anak negeri” mengonsumsi miras. Bila memungkinkan, “sekalian bangsa” supaya tak mendapat mudarat dari alkohol.
Dalam delapan butir program kerja yang diungkap SI, butir kedelapan menjelaskan, SI menuntut pemerintah kolonial Belanda untuk melarang dengan tegas penyebaran minuman keras, candu, perjudian, hingga prostitusi dan penggunaan tenaga anak-anak. Selain itu SI juga menuntut diterbitkannya aturan perburuhan yang menjaga kepentingan tenaga kerja serta menambah jumlah poli klinik gratis.
“Di ruang itu pula, Pak Tjokro paham telah terjadi pengaburan makna kesuburan sehingga akhirnya ketika budaya Liberal Belanda masuk, sopan santun ‘Jawa’ menjadi hilang, apalagi dengan pembebasan 3C-Colek, Cium, dan Ciu (Minuman Keras) menyebabkan Tayub/Tandak/Ronggeng bergerak keluar dari kemagisan kesuburan aslinya,” ujar Aji Dedi Mulawarman dalam buku Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto (2020).
Demikian pula perhimpunan para Bupati di Hindia-Belanda (Regenten Bond Sedya Mulya). Kasijanto dalam jurnalnya mengatakan perhimpunan itu pada 1914 turun mendirikan suatu kelompok antialkohol dengan menetapkan kategori keanggotaan secara unik.
Untuk bupati yang bergabung dalam perhimpunan ini adalah dua kategori. Pertama, anggota yang tidak dikenakan iuran. Hal itu karena anggota Regenten Bond mengharamkan sama sekali minuman keras. Kedua, anggota yang dikenakan iuran, karena mereka meminum bir dan anggur, tetapi tidak meminum brendi atau sopi (sejenis arak).
Keanggotaan itu dijadikan oleh mereka sebagai sindiran halus bagi para petinggi bumiputra. Lantaran banyak di antara para petinggi itu “mungkin” karena terpengaruh atau “takut” kepada pemerintah Belanda yang notabene atasannya, sehingga mereka terpaksa menenggak miras.
Setelahnya, organisasi sosial politik lainnya, Budi Utomo ikut mendesak pemerintah kolonial terkait penolakan miras. Budi Utomo langsung meminta pemerintah membatasi tempat penjualan minuman keras, dan menaikkan harga minuman itu dengan cara mempertinggi cukai.
Pada akhirnya, pemerintah Hindia-Belanda tergerak membentuk komisi penanggulangan alkohol (alcoholbestrijding commisie) pada 1918. Komisi itu beranggotakan pemerintah dan masyarakat. Tugasnya adalah untuk memerangi masalah-masalah yang timbul sebagai dampak dari penggunaan, kalau tak mau dikatakan penyalagunaan alkohol di Hindia-Belanda.
Upaya itu beberapa saat berhasil. Kendati demikian, penegak hukum yang bekerja setengah-setengah dan makin meluasnya pasar miras membuat penegakan itu akhirnya jauh dari kata berhasil. Alhasil, kisah eksistensi miras di Nusantara berlanjut dengan prinsip “tahu sama tahu.”
MEMORI Lainnya