Politik Tangan Besi Masa Hindia Belanda: Siasat Penjajah Gunakan Intelijen Lumpuhkan Pergerakan Nasional
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bonifacius Cornelis de Jonge yang berkuasa 1931-1935 bersama penggantinya, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. (Nationaal Museum van Wereldculturen)

Bagikan:

JAKARTA - Narasi pendidikan sebagai alat perjuangan bukan pepesan kosong belaka. Sentuhan pendidikan itu membuat pejuang kemerdekaan sadar penjajahan adalah biang keladi kebodohan dan penindasan. Mereka memilih melawan dan menuntut merdeka dari penjajah Belanda.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda tak tinggal diam. Politik tangan besi dilanggengkan. Penjajah Belanda kemudian menebar banyak intelijennya untuk memata-matai kaum pergerakan. Semuanya dilakukan untuk melumpuhkan pergerakan nasional.

Terbatasnya pendidikan di Hindia Belanda (kini: Indonesia) bukan halangan. Mereka yang mampu menembus sulitnya mengakses pendidikan tak melupakan nasib kaum bumiputra yang tertindas. Pendidikan jadi muara kepekaan pejuang kemerdekaan sakit hati melihat kaum bumiputra ditindas bak sapi perah.

Mereka melangengkan perlawanan terhadap Belanda. Pun gerakan-gerakan menentang penjajahan bermunculan satu demi satu. Dari Sarekat Islam hingga Budi Utomo. Ide-ide mewujudkan bangsa merdeka mulai disebar dari mimbar ke mimbar.

Mulanya gerakan yang dibangun berjalan lancar. Belakangan kritik dan perlawanan yang dilontarkan pejuang kemerdekaan membuat Belanda geram bukan main. Penguasa Hindia Belanda ambil sikap. Mereka ingin memutus mata rantai perlawanan kaum bumiputra.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bonifacius Cornelis de Jonge (paling tinggi) kala berkunjung ke Solo. (Wikimedia Commons)

Pemimpin pergerakan mulai diwaspadai. Gebrakan itu semakin masif di era Bonifacius Cornelis de Jonge mengambil alih pemerintahan Hindia Belanda pada 1931. Gubernur Jenderal yang menjabat dari 1931 hingga 1936 mulai melanggengkan kebijakan politik memukul. Politik tangan besi, namanya.

Politik itu membuat De Jonge menurunkan banyak intelijen pemerintah, Politieke Inlichtingen Dienst (PID) untuk memata-matai pergerakan nasional. Segala macam laporan terkait pergerakan yang mengganggu akan dilaporkan langsung kepada De Jonge. Kemudian, De Jonge bertindak bak sang pengadil. Ia dapat merekomendasikan hukuman penjara atau pengasingan.

“Untuk menyelamatkan pemerintahannya, De Jonge bermaksud menindas gerakan nasional yang bersikap non-kooperatif. Pemimpin-pemimpin gerakan nasional yang bersikap non-kooperatif menjadi sasaran pembalasan dendamnya. PID, yaitu polisi yang ditugaskan untuk mengawasi gerakan-gerakan nasional, disebar dan diberi kuasa untuk menghadiri setiap rapat baik yang bersifat politik maupun tidak, dan diberi wewenang untuk menghentikan pembicara, yang mengecam politik pemerintah, membubarkan rapat, dan menangkap peserta yang dicurigai.”

“PID adalah singkatan dari Politieke Inlichtingen Dienst, semacam badan penyelidik. Polisi-polisi PID ini merupakan momok bagi gerakan nasional Indonesia dan merupakan alat kolonial yang ampuh untuk melumpuhkan gerakan nasional. Dengan kata lain, polisi PID yang biasanya juga dari kalangan bumiputra, disuruh menghantam para pemimpin gerakan nasional dari bangsanya sendiri yang memerjuangkan rakyat,” terang Slamet muljana dalam buku Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan (2008).

Intelijen Pengganggu

Titah De Jonge menggerakkan intelijen untuk mematai-matai pejuang kemerdekaan kian mengganggu. Pejuang kemerdekaan merasa risau dalam menjalankan niatannya menyebar ide kemerdekaan ke mana-mana.

Pejuang kemerdekaan merasa terancam. Sebab, sewaktu-waktu De Jonge dapat dengan mudahnya memberikan label pemberontak dan memberi hukuman kepada pejuang kemerdekaan. Namun, pejuang kemerdekaan tak lantas menyerah. Siasat pun dimainkan.

Agenda pertemuan biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, bawah tanah. Urusan menyanyikan Indonesia Raya dan menaikkan bendera Merah Putih, apalagi.  Sekalipun banyak juga pejuang kemerdekaan yang memiliki nyali tinggi dan terang-terangan melawan kuasa Belanda.

Antara lain Soekarno, Tjipto Mangoenkoesoemo, Iwa Kusumasoemantri, hingga Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul). Ambil contoh perjuangan pejuang kemerdekaan, Haji Rasul. Ulama asal Minangkabau yang juga ayah dari Buya Hamka, terkenal bernyali tinggi menentang Belanda.

Tokoh-tokoh reformis Islam yang berjuang melawan Belanda di Minangkabau, dari kiri: Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), Taher Jalaluddin, Daud Rasjidi. (Wikimedia Commons)

Haji Rasul banyak menentang kebijakan Belanda yang merugikan kaum bumiputra. Ordonasi sekolah liar, apalagi. Tentangan Haji Rasul kian keras ketika Belanda mencoba ikut campur terkait agama Islam di Minangkabau.

Ia bahkan kerap menantang nyali dengan mencari dan mendatangi mata-mata Belanda. Ia turut berpesan supaya empunya kuasa tak ikut campur. Sebagai konsekuensi, ia diasingkan Belanda ke Sukabumi pada 8 Agustus 1941. Ia dianggap Belanda sebagai tokoh berbahaya yang tak boleh eksis.

“Dan memang demikian adanya. Minangkabau penuh mata-mata pemerintah dan tukang catat yang sekedar mencatat apa-apa yang dikatakan dalam rapat-rapat. Rasul sadar akan praktik itu dan kadang menghadapi sendiri para tukang catat secara terbuka. Hati-hati mencatat peringatnya. Karena perkara ini tidak akan habis sekarang saja. Di akhirat akan dibuka kembali jangan berkhianat mencatat.”

“Meskipun diawasi seperti itu, Rasul melanjutkan perjuangan melawan aturan kolonial yang mewajibkan pencatatan sipil pernikahan (selain aturan Islam), melawan langkah Belanda menunjuk dan memberhentikan hakim syariah, melawan aturan baru yang membatasi akses penduduk desa terhadap hutan dan seterusnya,” terang Jamse R. Rush dalam buku Adicerita Hamka (2018).