Pegawai Museum Nasional Ketiban Untung Berkat Meriam Si Jagur
Si Jagur, meriam Portugis abad XVI yang dikeramatkan oleh masyarakat dan ditempatkan di Museum Nasional sebelum dipindahkan ke Museum Fatahillah hingga kini. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Kepercayaan kepada benda yang memiliki kekuatan gaib bukan barang baru di Jakarta. Macam meriam Si Jagur saja peziarahnya bejibun. Konon, apapun permintaan, termasuk ingin punya anak acap kali dikabulkan.

Pemerintah DKI Jakarta geram bukan main. Pemujaan terhadap Si Jagur dianggap musyrik. Pemindahan ke Museum Nasional (Museum Gajah) dilanggengkan. Hasilnya sama saja. Peziarah masih terus berdatangan untuk berjumpa meriam keramat. Alhasil, pegawai museum banyak diuntungkan.

Keinginan pemerintah Hindia Belanda mengganti pusat pemerintahan telah final. Kehidupan di Batavia Lama (Oud Batavia: Kota Tua) dianggap sudah tak sehat lagi. Apalagi, wabah penyakit silih berganti menghantam.

Pilihan satu-satunya yang masuk akal dan lebih sehat adalah memindahkan kekuasaan ke wilayah Weltevreden (kini: kawasan seputar lapangan banteng). Masalah pun muncul. Kekurangan dana membuat Belanda memilih menghancurkan sebagian besar bangunan, terumasuk Kasteel Batavia di Oud Batavia.

Puing-puing itu digunakan untuk membangun pusat pemerintahan yang baru. Namun, tak semua perlengkapan yang ada di Kasteel Batavia di bawah ke Weltevreden. Meriam Si Jagur, contohnya. Meriam buatan M.T. Bocarro di Macau untuk Benteng Portugis di Malaka dibiarkan terbengkalai pada 1810-an.

Ritual minta anak yang dilakukan kaum wanita kala mengunjungi Meriam Si Jagur di Kota Intan (Kota Tua). (ANRI)

Meriam yang dibuat dari 16 meriam kecil digeletakkan begitu saja di kawasan dekat Jembatan Kota Intan. Kondisi itu karena ketiadaan alat transportasi yang mampu membawa meriam seberat 3,5 ton tersebut. Nyatanya, langkah Belanda menelantarkan Si Jagur justru buah manis bagi seisi Batavia (kini: Jakarta).

Si Jagur dengan bentuk uniknya, melambangkan mano in fica (simbol senggama) bak membawa berkah. Bentuk jempol kejepit itu membuat Si Jagur dianggap keramat nan sakti. Konon, apapun permintaan, punya anak utamanya kerap dikabulkan Si Jagur.

Kehebatan Si Jagur lalu menyebar dari mulut ke mulut. Bahkan, Meriam Si Jagur jadi wisata religi wajib yang harus didatangi ketika masa penjajahan Belanda. Mereka yang datang pun tak terbatas dari kaum bumiputra saja. Sebab, ada juga orang China hingga Indo Belanda yang kepincut melakukan ritual demi membuktikan kesaktian Si Jagur.

“Ini meriam keramat, kata Abdullah (pemandu lokal) dalam behasa Belanda dengan aksen yang khas. Di sini banyak orang bumiputra berdoa dan memberikan sesaji untuk para arwah. Abdullah menunjuk ke tumpukan nasi, buah-buahan, dan bunga yang berada di bawah bayangan sinar matahari di sekitar meriam. Abdullah bercerita bahwa banyak wanita yang percaya kalau meriam Portugis kuno ini memberikan kesuburan.”

“Sehingga banyak orang bumiputra, China, serta Indo yang tidak memiliki anak datang ke sini dan memberikan sesaji. Bila meriam itu berkenan, maka keinginan memiliki anak akan tercapai. Di bagian belakang meriam terdapat kepalan tangan yang posisi jari-jari dan ibu jari itu mengingatkan para penduduk bumiputra akan simbol mistik dari masa Hindiu melambangkan kesuburan,” terang H.C.C. Clockener Brousson dalam buku Batavia Awal Abad 20 (2017).

Meriam Si Jagur di Museum Gajah

Peziarah yang datang menengok Si Jagur kian ramai. Apalagi kala Indonesia merdeka. Mereka yang datang tak hanya terbatas dari Jakarta saja, tapi juga dari Bandung, Cirebon, dan Surabaya. Masalah muncul. Pemerintah DKI Jakarta merasa kehadiran Meriam Si Jagur justru banyak mudarat, ketimbang manfaat.

Empunya kuasa melihat Si Jagur justru melanggengkan sikap musyrik dan percaya takhayul. Siasat pun dimainkan. Pemerintah DKI Jakarta memilih memindahkan Meriam Si Jagur ke Museum Nasional pada 1950.

Pemindahan itu dilakukan supaya tiada lagi orang yang melaku kan ritual ke meriam keramat. Si Jagur lalu ditempatkan di dalam gudang. Bukan di ruang pamer. Nyatanya, siasat itu tak membuat khalayak umum yang percaya Si Jagur menurun.

Saban hari mereka terus berdatangan ke Museum Gajah minta berkah Si Jagur. Pun ada juga yang berniat kaul karena keinginannya sudah dikabulkan Si Jagur. Namun, pegawai museum bertindak tegas. Tiada yang diizinkan menemui Si Jagur.

Museum Nasional saat masih bernama Museum Royal Batavian Society of Arts and Sciences Batavia pada tahun 1900. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons)

Pegawai Museum Gajah yang pernah mengabdi 36 tahun, Wahyono Martowikrido menyebut pegawai museum justru tak merasa kerepotan oleh ulah peziarah Si Jagur. Sekalipun beberapa di antara kerap memaksa berjumpa Si Jagur.

Kehadiran peziarah juga dianggap bak mendatangkan durian runtuh. Mereka yang datang bermaksud kaul kerap membawa ragam makanan ke Museum Gajah. Makanan itu kadang kala dititipkan kepada pegawai museum dengan maksud supaya kaul mereka tunai.

Pun tak jarang ada pula yang membawa ayam hidup untuk ritual. Alih-alih diberikan kepada Si Jagur, ayam hidup justru diburu dan pegawai museum berpesta pora makan ayam goreng. Keuntungan itu baru tak berlanjut lagi kala Si Jagur kembali dipindahkan pemerintah DKI Jakarta ke Museum Wayang pada 1968, sampai akhirnya Si Jagur paripurna mendiami halaman di depan Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah di kawasan Kota Tua.

“Seorang keluarga China datang juga ke museum dengan maksud yang sama, membayar kaul. Meskipun ia tak diizinkan menghadap meriam tetapi cukuplah membayar kaul kepada pegawai museum saja. Maka ikatan rantangnya dibuka penuh dengan makanan lezat, maklum masakan China. Sesudah jam kantor, para pegawai makan-makan. Lahap sekali.”

“Tetapi buntutnya menjadi merepotkan, karena semua pegawai yang ikut makan pada mabuk. Ada yang muntah-muntah, ada juga yang terus melengketkan badan ke ubin. Rupanya makanan-makanan itu dimasak dengan arak wangi. Sedangkan para pegawai itu sebangsa orang kelaparan, yang makan sebanyak-banyaknya tanpa takaran,”ungkap pegawai Museum Gajah era 1964–1998, Wahyono Martowikrido dalam buku Cerita dari Gedung Arca (2006).