JAKARTA - Kaum bumiputra tak bisa melepas begitu saja tradisi leluhur bangsa. Laku hidup dari nenek moyang bangsa diadaptasinya secara turun-temurun. Ziarah kuburan keramat, misalnya. Tradisi ziarah kubur jadi andalan kaum bumiputra memeroleh berkah. Bahkan, sejak masa penjajahan Belanda.
Di Batavia (kini: Jakarta) apalagi. Tujuan ziarahnya macam-macam. Dari meminta rejeki hingga naik pangkat. Karenanya, ziarah kubur jadi atraksi wisata populer ala Batavia yang tak pernah dirundung sepi.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda tak pernah mengganggu-gugat aktivitas ziarah kuburan keramat. Empunya pemerintahan paham benar jika ziarah kubur adalah aktivitas turun-temurun. Apalagi mayoritas adat dan agama setempat mengijinkannya. Melarang aktivitas itu sama dengan melawan seisi Nusantara. Dan Belanda tak akan berani mengambil risiko.
Semenjak itu Belanda mendukung adanya ziarah makam keramat. Lagi pula agenda ziarah itu menguntungkan. Mengundang perputaran uang yang besar pula. Di Batavia, misalnya. Suburnya peziarah jadi efek domino yang menjanjikan. Penyedia jasa transportasi, pedagang, ahli waris makam, hingga pengemis kecipratan untung.
Makam keramat di Batavia saja tak cuma satu. Alias beragam jumlahnya. Bahkan, ziarah tak melulu jadi ‘monopoli’ makam keramat. Benda kuno yang dianggap keramat juga sering diziarahi. Meriam Si Jagur yang kala itu tergeletak di sekitar Kota Intan (Kota Tua) adalah contoh yang paling atas. Sebuah meriam yang diyakini dapat memberikan keturunan.
Makam dan benda itu dianggap memiliki kesaktian yang tiada dua. Kepercayaan kemudian berkembang dari mulut ke mulut. Penasihat urusan bumiputra utusan Belanda, Snouck Hurgronje membenarkan hal itu. Menurutnya, kaum bumiputra dapat dengan bebas berdoa dan meminta apa saja di makam keramat. Sugesti itu acap kali positif dan membuat aktivitas ziarah langgeng.
“Jika ada seorang penghuni kuburan keramat di antara mereka (orang Arab), maka mereka akan berdoa di kuburan itu untuk keselamatannya, guna mendapat pertolongan dan perantaraannya. Sementara itu mereka terkadang mengadakan selamatan yang banyak berciri agama. Sebaliknya orang pribumi bertakhayul bahwa kuburan keramat itu merupakan kuil suatu keramat yang dapat diminta pertolongan dan kesembuhan, diminta kenaikan pangkat, dan berkah dalam perkawinan.”
“Keramat tersebut dapat memenuhi semua keinginan orang yang dikaruniai, asal mereka itu menyatakan kesungguhannya dengan sumbangan-sumbangan. Meskipun orang Arab semestinya mencela anggapan seperti itu, dan tidak memperkenankan orang Cina, orang Indo-Eropa, dan sebagainya mencemarkan tempat tersebut dengan berziarah setiap hari, tetapi mereka sebaliknya malah mendorong kebiasaan ini guna menambah penghasilan tempat keramat,” ungkap Snouck Hurgronje dalam buku Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia-Belanda 1889-1936 (1994).
Wisata Populer
Ziarah kuburan keramat jadi atraksi wisata kesohor. Banyak orang yang penasaran dengan suasana dan ritual yang dilakukan di makam keramat. Orang Eropa, salah satunya. Tuan-tuan kulit putih itu kerap menyempat diri untuk berkunjung ke makam keramat. semisal ke Masjid Luar Batang.
Kunjungan ke Masjid Luar Batang kala itu sama ramainya dengan kunjungan ke Mariam Si Jagur. Pengunjung biasanya dari berbagai daerah datang untuk melihat dan meminta sesuatu. Ada pun di antara pengunjung yang datang adalah orang Eropa sendiri. Tentu mereka datang dengan seorang pemandu khusus.
Serdadu Belanda asal Amsterdam, H.C.C. Clockener Brousson bahkan telah mengunjungi keduanya: Meriam Si Jagur dan makam ulama di Masjid Luar Batang. Ia yang datang ke Batavia awal abad ke-20, merasa tradisi ziarah memiliki keunikan tersendiri. Ia menikmati ritual ziarah makam keramat.
Pengalaman ziarah adalah pengalaman pertamanya dalam hidup. Ia melihat langsung orang dari berbagai suku bangsa berbondong datang ke Meriam Si Jagur untuk punya anak. Sedang ia juga melihat langsung ritual berkunjung ke makam keramat di Kampung Luar Batang.
“Akhirnya Abdulah (pemandu) mengajak kami ke sebuah tempat ibadah besar bagi orang Islam. Terletak di tempat yang bernama Luar Batang. Sebuah bangunan terbuka dan saat itu tampak beberapa haji sedang beribadah. Abdullah mengatakan semua bisa diatur. Kami diperbolehkan masuk (makam) keramat itu, tapi pertama-tama harus melepas sepatu. Keramat itu merupakan tempat yang paling dihormati orang Islam di Hindia. Seluruh bangunan tertutup, persis seperti sinagog bagi orang Israel.”
“Di luar, di sebuah jalan kecil yang menuju bangunan itu, berdiri banyak pengemis kotor. Para lelaki kurus dengan luka borok dan beberapa orang buta. Mereka berderet rapi persis serdadu. Dan mereka menyambut kedatangan kami serentak dengan paduan suara yang merdu: tuan minta duit, tuan. Kami mengikuti apa yang dilakukan Abdullah dengan memberikan masing-masing pengemis itu satu sen,” tutup H.C.C. Clockener Brousson dalam buku Batavia Awal Abad 20 (2017).