JAKARTA - Perihal mengemas karisma, Bung Karno jagonya. Ia tak mau berpenampilan biasa-biasa saja. Apalagi semenjak didaulat sebagai orang nomor satu Indonesia. Ia ingin berbeda. Seragam militer pun jadi ajiannya memanen eksistensi.
Ia melengkapinya dengan segala macam aksesori militer. Penampilan itu membuat wibawa Putra Sang Fajar terangkat. Demikian pula karismanya. Tiada yang menginginkan seorang presiden dengan baju kusut, pikirnya. Penampilannya pun dikenal begitu ikonik.
Pemerintah kolonial Hindia-Belanda acap kali menjadikan pakaian sebagai alat politik. Bahasa mudahnya, pakaian kerap mencerminkan kekuasaan. Pakaian-pakaian yang digunakan oleh pejabat Belanda, misalnya. Pakaian itu berciri khas kebangkitan kelas menengah di Eropa. Antara lain seragam yang didominasi warna putih berbalut celana dan jas tanpa kerah.
Kombinasi tampilan itu diperkuat dengan penggunaan sepatu dan topi khas pemerintah kolonial. Aroma superioritas pun menghinggapi pejabat Hindia-Belanda. Di tangan mereka, pakaian jadi muara kehadiran karisma dan wibawa. Karenanya, pejabat Belanda senang bukan main dengan gaya berpakaiannya.
Gaya berpakaian itu nyatanya jadi bahan ‘monopoli’ kaum penjajah. Empunya kuasa justru membedakan gaya berpakaian antara mereka dengan kaum bumiputra. Alias kaum bumiputra, utamanya jelata dilarang bergaya atau berdandan sebagaimana orang Eropa. Pelarangan itu jadi bukti langgengnya rasisme di masa penjajahan Belanda.
Narasi rasisme makin diperparah dengan kebijakan Belanda yang mendaulat kaum bumiputra sebagai warga negara kelas tiga, di bawah etnis China dan Arab yang justru jadi warga negara kelas dua. Meski begitu, tak sedikit kaum bumiputra yang ingin bergaya dan berdandan seperti orang belanda. beberapa di antaranya juga enggan disamakan dengan kaum bumiputra lain.
“Para pria Jawa sangat ingin menunjukkan diri mereka di kalangan orang Belanda dengan mengadopsi berbagai perilaku Belanda. Dipersenjatai oleh ijazah-ijazah, mereka tidak mau merangkak di hadapan orang Belanda. Mereka juga menyatakan tidak bersedia merangkak di depan pria-pria Jawa. Dengan berpakaian setelan dan mengenakan sepatu, mereka tidak mendekati orang Jawa lainnya dengan berlutut atau duduk di lantai.”
“Sebaliknya, dengan berpakaian sebagaimana para penguasa Belanda, mereka berjalan mendekati orang-orang Jawa yang berpura-pura sebagai penguasa. Mereka saling menatap mata. Mereka berjabat tangan. Jika mereka berbicara dalam Bahasa Belanda, mereka juga menghindari tata cara tentang perbedaan-perbedaan status yang dipersyaratkan dalam etiket Jawa,” ungkap Sejarawan Jean Gelman Taylor dalam buku Outward Appearances (2005).
Seragam Militer Soekarno
Momentum Kemerdekaan Indonesia adalah era baru. Orang nomor satu Indonesia, Soekarno tak mau menyia-nyiakan keadaan. Ia mencoba menghilangkan citra pemerintah kolonial jauh-jauh dari ingatan rakyat Indonesia. gaya berpakaiannya terutama.
Bung Karno menyakini pakaian yang didominasi warna putih dianggapnya dapat memicu kembali ingatan di bawah penjajahan Belanda. Antara lain penindasan, eksploitasi, hingga diperas bak sapi perah. Bung Karno pun menolak menggunakan seragam serupa Belanda.
Ia memilih seragam militer lengkap dengan atributnya untuk menunjukkan sebuah era baru telah tiba. Bung Karno acap kali tampil dengan seragam itu di tiap agenda kenegaraan. Lebih lagi, Soekarno kerap melengkapi gaya berpakaiannya dengan peci, kaca mata, dan tongkat komando. Sekalipun ada yang tak setuju karena Bung Karno adalah sipil yang acap kali bergaya militer.
Soekarno menganggap sepi saja komentar itu. Ia justru meyakini gaya berpakaiannya dapat membawakan kebanggaan bagi segenap rakyat Indonesia. Apalagi seragam itu dianggapnya netral. Tak memajukan suku. Tak juga identik dengan penguasa kolonial. Ia pun merasa rakyat Indonesia selalu mendukungnya dengan tampilan militer.
Pemimpin Indonesia harus berpenampilan gagah, pikir Bung Besar. Bukan menggunakan baju kusut dan topi lembab. Sebab, penampilan seperti itu dapat membawa kekecewaan terhadap rakyat Indonesia. seragam meliter pun jadi lambang dari kekuasaan Soekarno. Sekaligus penanda kebesarannya di dalam dan luar negeri.
“Pemimpin Indonesia haruslah seorang tokoh yang memerintah. Dia harus kelihatan berwibawa. Bagi suatu bangsa yang pernah ditaklukkan memang perlu hal‐hal yang demikian itu. Rakyat kami sudah begitu terbiasa melihat orang‐orang asing kulit putih mengenakan uniform yang hebat, yang dipandangnya sebagai lambang dari kekuasaan. Dan merekapun bagitu terbiasa melihat dirinya sendiri pakai sarung, seperti ia jadi tanda dari rasa rendah diri.”
“Ketika aku diangkat menjadi Panglima Tertinggi, aku menyadari bahwa rakyat menginginkan satu tokoh pahlawan. Kupenuhi keinginan mereka. Pada mulanya aku bahkan memakai pedang emas di pinggangku. Dan rakyat kagum. Sebelum orang lain menyebutnya, akan kukatakan padamu lebih dulu. Ya, aku tahu bahwa aku kelihatan lebih pantas dalam pakaian seragam. Akan tetapi terlepas daripada kesukaan akan pakaian necis dan rapi, kalau aku berpakaian militer maka secara mental aku berpakaian dalam selubung kepercayaan,” ucap Soekarno, sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam otobiografinya berjudul Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).