Peristiwa 27 Juli 1996: Kudatuli, Sejarah Kelam Demokrasi di Republik Ini
Kerusuhan dalam peristiwa 27 Juli 1996, perebutan Kantor Pusat PDI di Jl. Diponegoro 58 yang kemudian dikenal sebagai Kudatuli. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Kudatuli yang merupakan akronim Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli, adalah tragedi demokrasi di Indonesia, peristiwa 27 Juli 1996. Dikenal juga sebagai peristiwa Sabtu Kelabu, kala itu terjadi pengambilalihan secara paksa Kantor Pusat DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl. Diponegoro 58 Jakarta Pusat.

Peristiwa tersebut terjadi sebagai akibat perpecahan di dalam kubu PDI, antara pendukung Megawati Soekarnoputri dan Soerjadi. Megawati menjadi Ketua Umum PDI hasil Kongres Luar Biasa di Surabaya 1993. Tiga tahun berikutnya, Soerjadi dipilih sebagai Ketua Umum PDI dari hasil Kongres Medan yang oleh kubu Mega disebut tidak sah.

Dualisme kepemimpinan itulah yang menyulut kerusuhan. Soerjadi yang didukung Pemerintah Orde Baru berusaha merebut Kantor Pusat PDI. Penyerbuan ke kubu Megawati yang bertahan di Jl. Diponegoro 58 diduga kuat disokong unsur militer, terutama dari Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Kodam Jaya) yang ketika itu dipimpin Mayjen. Sutiyoso.

Kerusuhan dalam peristiwa 27 Juli 1996 atau Kudatuli meluas hingga kawasan Jl. Salemba Raya. (Dok. Kompas/Clara Wresti)

Pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto memang tidak menyukai keberadaan Megawati sebagai Ketua Umum PDI. Dia tidak merestui saat putri Bung Karno itu terpilih sebagai ketua umum dalam Kongres Surabaya 1993. Megawati lantas diganjal, kepemimpinan yang seharusnya berakhir pada 1998 dihentikan paksa lewat kudeta berdarah pada 1996.

Diawali 16 Fungsionaris PDI

Dualisme kepimpinan PDI diawali dari niat 16 fungsionaris partai berlambang kepala banteng di dalam segi lima tersebut, untuk memisahkan diri dari kepemimpinan Megawati. Demi memuluskan niat, mereka menggelar Kongres Medan pada Mei 1996.

Megawati sendiri mencuat sebagai Ketua Umum PDI tanpa disangka-sangka. Pada Kongres PDI di Medan 1993, duet Soerjadi-Nico Daryanto yang kembali terpilih berusaha diganjal kelompok pimpinan Budi Hardjono yang disokong rezim Presiden Soeharto. Demi menyelesaikan pertikaian, maka digelar Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya pada Desember 1993.

Tanpa disangka bukan Soerjadi maupun Budi yang terpilih sebagai ketua umum melainkan Megawati. Kongres luar biasa itu berujung deadlock, namun Megawati mengumumkan bahwa dirinya secara de facto adalah Ketua Umum PDI.

Peringatan peristiwa 27 Juli 1996. (Antara/Yudhi Mahatma)

Ke-16 fungsionaris PDI yang mbalelo itu dipimpin Fatimah Ahmad. Anggota DPR RI dari Fraksi PDI tersebut memimpin rencana pelaksanaan KLB Medan 1996. Kubu Megawati pun bereaksi, ke-16 fungsionaris yang mbalelo tersebut dipecat dari keanggotaan partai.

Pada 19 Juni 1996 Surat Keputusan bernomor 01-KU/KPTS/VI/1996 yang ditanda tangani Megawati Soekarnoputri, tentang pemecatan ke-16 fungsionaris PDI tersebut keluar. Mereka dinilai melakukan pelanggaran organisasi, yaitu secara sepihak menggelar kongres yang melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PDI.

“Bahwa akibat perbuatan yang dilakukan fungsionaris DPP PDI tersebut pada kenyataannya telah menimbulkan intrik, pengadudombaan, dan fitnah serta manipulasi dan penyalahgunaan wewenang yang bisa membahayakan partai,” kata Megawati dalam pernyataannya, dikutip Kompas pada 20 Juni 1996.

Soerjadi, Ketua Umum PDI yang berseteru dengan Megawati Soekarnoputri. (Wikiwand) 

Toh pembelotan itu berjalan terus, dan Kongres Medan 1996 tetap digelar. Indikasi bahwa acara tersebut disokong Rezim Orde Baru sangat kuat, karena pembukaan dan penutupan kongres yang digelar 20-22 Juni tersebut dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Yogie S. Memed.

Kongres tersebut menghasilkan keputusan penunjukkan Wakil Ketua MPR/DPR Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI, dan Buttu Reinhart Hutapea sebagai Sekretaris Jenderal PDI. Melalui Kepala Staf Sosial Politik ABRI, Letjen. Syarwan Hamid, pemerintah rezim Soeharto menegaskan bahwa tidak mengakui DPP PDI pimpinan Megawati melainkan DPP PDI versi Soerjadi.

Kubu Megawati Melawan

Keputusan Pemerintah RI di bawah Presiden Soeharto tersebut dilawan kubu Megawati. Mimbar bebas digelar terus menerus di depan Kantor Pusat PDI di Jl. Diponegoro 58. Sampai akhirnya Kapolda Metro Jaya, Mayjen (Pol). Hamami Nata berinisiatif membubarkannya, karena dianggap mengganggu ketertiban.

Surat terguran dari Kepolisian yang ditujukan kepada Megawati sebagai penanggung jawab mimbar bebas tidak digubris. Aktivitas mimbar bebas jalan terus, dan Megawati mengirimkan surat jawaban yang isinya mengatakan bahwa tidak ada alasan kuat untuk menghentikan mimbar bebas yang digelar di dalam Kantor Pusat PDI tersebut.

Megawati Soekarnoputri. (Antara)

Berbagai upaya untuk menyelesaikan dualisme kepemimpinan di tubuh PDI tak terselesaikan. Surat teguran dijawab penolakan, gugatan lewat jalur hukum pun dijawab penolakan. Tak ada titik temu, hingga akhirnya terjadilah peristiwa 27 Juli 1996.

Dikutip dari Kompas, kerugian materi akibat peristiwa 27 Juli 1996 itu ditaksir Rp100 miliar. Lima korban jiwa melayang, 23 orang hilang tak tentu rimbanya, dan 149 orang luka-luka. Ironisnya, tragedi Kudatuli yang mencederai demokrasi di republik ini tak juga terselesaikan hingga kini. Bahkan ketika Megawati Soekarnoputri sudah menjadi Presiden RI.