Tak Perlu Banyak Parpol di Pemilu 2024: Tiga atau Maksimal Lima Sudah Cukup
Ilustrasi Pemilu 2024. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Menjelang proses pendaftaran, verifikasi, dan penetapan partai politik (Parpol) peserta Pemilu 2024 pada 1-14 Agustus mendatang, keinginan masyarakat agar ada penyederhanaan jumlah Parpol pada Pemilu 2024 cukup besar. Mereka ingin proses pencoblosan menjadi lebih simpel tanpa harus melihat banyak logo partai di kertas coblos.

“Jangan terlalu banyak partai kalau bisa, toh dengan multipartai, sejak era reformasi hasilnya juga tidak terlalu signifikan untuk menjadikan bangsa ini lebih baik,” ucap Anto Kurniawan, seorang warga DKI Jakarta yang sudah punya hak pilih.

Kendati begitu, bukan berarti kembali ke era Orde Baru yang hanya tiga partai politik. Pemilu 2019 diikuti oleh 14 partai politik nasional dan 4 partai politik lokal Aceh.

“Ini lumayan banyak. Sebenarnya, lima partai saja cukup,” tambahnya.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin pun sependapat. Dia tidak menampik konstruksi masyarakat Indonesia yang heterogen membuat konsep multipartai menjadi hal baku.

Namun, realitas saat ini, jumlah partai politik terlalu banyak dan hasilnya tidak efisien. Sering terjadi ketidaksinambungan antar sesama partai.

“Ada hal yang seharusnya bisa diputuskan dengan cepat malah menjadi perdebatan. Tentu, terjadi karena masing-masing partai politik punya kepentingan berbeda,” tuturnya kepada VOI, Senin (25/7).

Ilustrasi Parpol peserta Pemilu 2009 dan 20014. (Antara)

Sehingga, kata dia, mungkin perlu diterapkan kembali aturan ambang batas untuk partai yang bisa menjadi kontestan Pemilu 2024.

“Hanya tiga partai, menurut saya cocok. Tapi, jangan persepsikan seperti pada zaman Orde Baru,” kata Ujang.

Hasil jajak pendapat Kompas pada Senin (25/7) menyatakan hal yang sama. Keinginan masyarakat melakukan penyederhanaan jumlah partai politik pada Pemilu 2024 terbilang cukup besar. Harapannya, dengan sedikit kontestan, para pencoblos akan lebih mudah memahami isi surat suara.

Jajak pendapat melibatkan 508 responden berusia minimal 17 tahun dari 34 provinsi. Sebanyak 45,5 persen responden ingin jumlah partai politik pada Pemilu 2024 lebih sedikit, 35,8 persen responden ingin Pemilu 2024 lebih banyak parpol, lalu 16,3 persen responden ingin jumlah partai politik sama dengan Pemilu 2019.

Responden yang menginginkan penyederhanaan jumlah partai politik mayoritas adalah kalangan pendidikan menengah dan kalangan pendidikan atas akademisi.

“Sikap publik yang tergambar dari hasil jajak pendapat ini memberikan sinyal adanya kecenderungan keinginan responden mengikuti Pemilu dengan mudah, dengan jumlah parpol yang tidak terlalu banyak,” kata peneliti Litbang Kompas, Yohan Wahyu dikutip dari Kompas.com.

Sejak Dulu Indonesia Multipartai

Indonesia telah menjalankan sistem multipartai sejak Pemilu 1955 yang diikuti 29 partai politik. Akibat ketidakstabilan politik ketika itu, terutama dengan adanya pemberontakan Partai Komunis Indonesia, aturan Pemilu kembali diubah.

Terjadi penyederhanaan jumlah partai menjadi 10 partai politik pada Pemilu 1971. Lalu, pada 1974, pemerintah Orde Baru kembali menyederhanakan dengan menggabungkan sejumlah partai politik hingga tersisa hanya tiga partai: PPP, Golkar, dan PDI. PPP merupakan hasil fusi dari beberapa partai politik yang berasaskan Islam (NU, Parmusi, PSII, dan Perti). PDI penggabungan dari partai-partai nasionalis dan agama non-Islam (PNI, IPKI, Parkindo, Partai Katolik). Sedangkan Golkar adalah partai politik bentukan Pemerintah Orde Baru.

Pada era reformasi 1998 aturan kembali berubah.

“Terjadi liberalisasi politik ketika itu, pascaorde baru runtuh. Kebebasan berpendapat semakin terbuka lebar. Sehingga banyak orang menilai tiga partai saja tidak cukup untuk merepresentasikan pendapat dari bangsa yang heterogen ini. Ada, 48 partai yang ikut Pemilu 1999,” kata pengamat politik dari Universitas Indonesia, Panji Anugerah Permana kepada VOI beberapa waktu lalu.

Melihat terlalu banyak yang menjadi kontestan, Pemilu berikutnya mulai berlaku electoral threshold, hanya partai politik dengan jumlah kursi DPR minimal 2 persen saja yang bisa ikut Pemilu. Partai yang tidak mencapai angka tersebut bisa bergabung dengan partai lain atau membentuk partai baru. Sehingga, peserta Pemilu 2004 berkurang, hanya diikuti 24 partai politik.

Lambang-lambang Parpol peserta Pemilu 1955. (Wikimedia Commons)

“Pada Pemilu inilah dilakukan amandemen ketiga terhadap UUD 1945, salah satunya terkait presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat. Jadi, tidak lagi lewat MPR. Ini pun hasil evaluasi dari Pemilu sebelumnya dan kondisi yang terjadi ketika itu,” tuturnya.

Sayangnya, lanjut Panji, meski Presiden sudah dipilih langsung oleh rakyat, tetapi pemerintahan yang terbentuk dinilai tidak efektif. Sebab, eksekutif dan legislatif kurang harmonis dalam mengimplementasikan beragam program pemerintahan.

“Era Gus Dur dan SBY contohnya. Keduanya memang berhasil menjadi presiden. Namun, suara partai politik pendukung mereka kalah di parlemen. Sehingga, kerap terjadi pertentangan antara eksekutif dan legislatif,” ungkap Panji.

Pemilu 2009 dilakukan dengan metode yang sama namun dengan penyesuain electoral threshold menjadi 2,5 persen. Diikuti oleh 38 partai. Lalu, pada Pemilu 2014 jumlah partai yang ikut berkurang hanya 12 partai.

“Mulailah diterapkan presidential threshold 20 persen. Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya,” tutur Panji.

Belum Efektif dan Stabil

Panji tidak menampik sistem presidensial multi partai yang diterapkan Indonesia memang belum berhasil dalam menciptakan pemerintahan yang efektif, efisien, dan stabil.

Dalam sistem presidensial dukungan parlemen kepada presiden sangat berpengaruh di dalam proses pembuatan undang-undang dan pelaksanaan kebijakan dan program-program pemerintah. Semakin besar dukungan parlemen kepada presiden maka implementasi kebijakan publik oleh pemerintah akan semakin efektif. Begitupun sebaliknya.

Lihat sistem parlementer. Koalisi partai politik lebih disiplin. Ada sanksi tegas bila terjadi pelanggaran atau tiba-tiba hengkang dari koalisi. Sanksi berupa dikeluarkan dari parlemen hingga tidak bisa mengikuti Pemilu berikutnya.

Warga memasukkan surat suara dalam Pemilu 2019. (Antara)

“Di Indonesia tidak begitu. Contoh PAN yang tiba-tiba menarik dukungannya kepada SBY di tengah jalan. Partai-partai politik yang tergabung di dalam koalisi cenderung mengambil keuntungan dari pemerintah. Jika kebijakan atau program yang diambil oleh pemerintah tidak populer partai politik cenderung melakukan oposisi,” kata Panji.

“Koalisi parpol dalam sistem parlementer dibangun setelah Pemilu. Sedangkan koalisi parpol dalam sistem presidensial dibangun sebelum Pemilu. Akibatnya, saat pencalonan, parpol mendukung. Tapi, saat terpilih, parpol malah cabut dukungan. Misal, gara-gara tidak masuk kabinet, dan hal lain,” ujar Panji.

Kondisi saat ini pun tidak jauh berbeda. Tujuan awalnya mengubah dinamika politik agar tidak terjadi lagi minority government, ketidakharmonisan antara eksekutif dan legislatif. Namun, yang terjadi saat ini, relasi antara eksekutif dan legislatif terlalu harmonis.

“Jadi, tidak ada check and balances, tidak ada pengawasan, ucap Panji .

Koalisi Gemuk Bakal Tak Efektif

Dalam tulisannya bertajuk ‘Sistem Multi Partai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah’ yang diunggah di akun resmi Kemenkumham, Peneliti dari Center for Electoral Reform (CETRO), Partono memberikan solusi guna menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil.

Antara lain dengan penyederhanaan jumlah partai politik. Banyaknya partai politik yang ikut dalam Pemilu menyebabkan koalisi yang dibangun untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden terlalu gemuk. Akibatnya koalisi tidak berjalan efektif karena harus mempertimbangkan banyak kepentingan.

Presiden terpilih idealnya berasal dari koalisi yang sekurang-kurangnya mendapatkan dukungan parlemen 50 persen dari jumlah kursi DPR dan jumlah partai yang ikut berkoalisi tidak banyak, cukup dua atau tiga partai saja.

“Mengurangi jumlah partai dan dibarengi dengan koalisi partai yang disiplin dan mengikat, adalah solusi yang paling memungkinkan dalam konteks Indonesia. Mekanismenya bisa lewat restrukturisasi seperti yang dilakukan Presiden Soeharto pada 1974,” ucap Partono.

Surat suara untuk pemilihan Presiden RI dalam Pemilu 2019. (Antara/Yulius Satria Wijaya)

Lalu, meningkatkan persentase threshold. Partai politik yang tidak mampu mencapai ambang batas yang telah ditetapkan tidak diperbolehkan untuk mengirimkan wakilnya di parlemen. Persentase di beberapa negara berbeda-beda. Di Jerman ambang batasnya adalah 5 persen, sedangkan di Turki sebesar 10 persen. Dengan ambang batas 10 persen, Turki hanya memiliki 3 atau 4 partai politik yang memiliki wakilnya di parlemen.

Memperkecil alokasi kursi di masing-masing daerah pemilihan juga bisa dilakukan sebagai proses seleksi partai politik yang benar-benar mendapat dukungan publik. Semakin kecil alokasi kursi di setiap daerah pemilihan, maka peluang partai untuk mendapatkan kursi semakin kecil. Hanya partai-partai besar saja yang berpeluang mendapatkan kursi. Sedangkan partai kecil dan menengah akan kehilangan peluang memenangkan persaingan.

“Partai politik yang tidak mendapatkan suara signifikan secara alami didorong untuk melakukan koalisi dengan partai lain atau akan mati karena tidak mendapatkan suara dan kursi di parlemen,” tulis Partono.