Penolakan Legalisasi Ganja Medis di Indonesia: Kalau Khawatir Soal Penyalahgunaan, Lem Pun Sering Dipakai untuk Fly
Legalisasi ganja medis di Indonesia masih belum menemukan sinar terang setelah permintaan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditolak Mahkamah Konstitusi. (Unsplash/David Gabric)

Bagikan:

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terkait penggunaan ganja medis untuk pelayanan kesehatan.

MK beralasan ganja tergolong Narkotika golongan I yang penggunaannya hanya sebatas tujuan pengembangan ilmu pengetahuan. Potensi ketergantungannya juga tinggi.

Belum ada kajian ilmiah yang membenarkan bahwa ganja bisa menjadi terapi atau obat penyembuhan suatu penyakit.

“Belum adanya bukti pengkajian dari para ahli, maka keinginan pemohon sulit dipertimbangkan dan dibenarkan oleh mahkamah,” ucap Hakim MK Suhartoyo dalam sidang putusan atau penetapan di Gedung MK, Jakarta, Rabu (20/7/2022).

Para pemohon perorangan yang mengajukan permohonan antara lain Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Nafiah Muharyanti yang masing-masing memiliki anak dengan gangguan cerebral palsy dan membutuhkan pengobatan dengan Narkotika Golongan I.

Santi Warastuti bersama suami dan putrinya Pika yang mengidap cerebral palsy, dan penyanyi Andien saat berdemonstrasi menuntut legalisasi ganja medis di Bundaran HI pada 26 Juni 2022. (Dok.Pribadi)

Para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi mencabut penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang melarang penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan.

Dengan argumen, ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) yang menjamin hak atas kesehatan dan Pasal 28C ayat (1) tentang hak untuk memperoleh manfaat dari hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Advokat Institute Criminal Justice Reform, Erasmus justru heran mengapa melegalkan ganja di Indonesia sangat berbelit-belit. Padahal, sudah banyak negara yang membuat aturan ini. Permohonannya hanya untuk pelayanan kesehatan, bukan untuk hal-hal lain. “Pemohonnya sudah jelas, para ibu yang anak-anaknya mengidap cerebral palsy,” ucap Erasmus kepada VOI lewat zoom, Rabu (20/7).

Bila dianggap belum ada pengkajian ilmiah, Erasmus menilai keliru. Tim kuasa pemohon juga sudah memaparkan perkembangan PBB yang telah mengubah sistem penggolongan narkotika dengan memperkuat posisi penggunaan narkotika Golongan I yakni ganja untuk kepentingan medis.

PBB Sudah Ubah Kebijakan

Pada 2 Desember 2020, Komisi PBB untuk Narkotika yaitu the UN Commission on Narcotic Drugs (CND) melalui pemungutan suara/voting telah menyetujui rekomendasi WHO menghapus cannabis dan cannabis resin (ganja dan getahnya) dari Golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961.

Alhasil, ganja tidak lagi sama dengan jenis narkotika Golongan I lainnya yang memiliki ancaman risiko tertinggi menyebabkan kematian. Sebaliknya, itu justru memperkuat pengakuan dari dunia internasional akan manfaat kesehatan dari tanaman ganja yang dibuktikan dari hasil penelitian dan praktik-praktik pengobatan ganja medis di berbagai negara, baik dalam bentuk terapi, pengobatan gejala epilepsi, dan lain-lain.

“Sudah kami sampaikan di sidang, sampai kami menghadirkan seorang dokter sebagai bahan pertimbangan,” kata Erasmus.

Seharusnya, pemerintah bisa merujuk ke hasil penelitian tersebut.

“IKN saja pakai konsultan dari luar negeri. Masa riset yang seperti ini saja gak bisa ambil rujukan dari luar negeri?” sahutnya.

Sidang Komisi PBB untuk Narkotika (CND) di Wina, Austria pada 2 Desember 2020 yang dipimpin diplomat asal Pakistan, Mansoor Ahmad Khan dan menghasilkan keputusan penghapusan ganja dari Golongan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961. (Dok. CND)

Bila muncul kekhawatiran terjadi penyalahgunaan ganja itu lain soal. Segala sesuatu bisa disalahgunakan.

“Lem aibon saja bisa disalahgunakan. Harusnya digunakan buat lem, malah dibuat untuk hal lain,” ucapnya.

Paradigmanya bukan karena ada penyalahgunaan lalu dilarang sepenuhnya. Poinnya, tambah Advokat LBH Masyarakat, Maruf adalah keadilan pemanfaatan golongan. “Selama Narkotika bisa dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, kenapa aksesnya ditutup. Harusnya tidak ada diskriminasi penggolongan.”

Penyalahgunaan lem sebagai sarana fly yang banyak dilakukan masyarakat di Indonesia, sehingga kekhawatiran ganja medis juga bakal disalahgunakan seharusnya disingkirkan. (Antara)

Lagipula, saat ini banyak produk yang lebih berbahaya dari ganja bisa menjadi obat. Morfin misalnya, sudah sejak lama digunakan untuk pelayanan kesehatan.

“Morfin saja bisa digunakan untuk medis kenapa ganja tidak bisa? Nah, jadi kami rasa pertimbangan MK tidak cukup menjawab pertanyaan yang kami lemparkan,” kata Maruf, Kamis (21/7).

Maruf menilai penggunaan ganja sebagai pelayanan kesehatan sudah mendesak saat ini. “Apakah anak-anak pengidap cerebral palsy harus berobat ke Australia hanya untuk mendapat minyak ganja? Kalau mereka mampu, kalau tidak? Apakah pemerintah punya solusi?”

Menkes, MUI, DPR Buat Kajian

Aksi Santi di area Car Free Day kawasan Sudirman-Thamrin pada 26 Juni 2022 telah menggugah hati masyarakat. Santi bersama suami dan anaknya yang mengidap cerebral palsy berjalan dari Bundaran HI hingga Gedung MK di kawasan Gambir sambil membawa poster bertuliskan ‘Tolong anakku butuh ganja medis.’  

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sudah memberi lampu hijau untuk melakukan penelitian terkait penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan.

“Sama seperti tumbuh-tumbuhan lain, selama dipakai untuk penelitian medis itu kita izinkan,” kata Budi

Proses penelitian berawal dari riset, bila memang terbukti bisa untuk kesehatan proses berlanjut ke tahap kedua, produksi.

“Penelitian melibatkan pihak lain, seperti perguruan tinggi, dokter dan lainnya,” ucapnya.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, memberikan izin penilitian terhadap ganja medis. (Antara)

Majelis Ulama Indonesia juga siap membuat kajian terhadap penggunaan ganja untuk pelayanan kesehatan. Ini, kata Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh, sesuai usulan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang juga menjabat sebagai Dewan Pertimbangan MUI.

“Kami akan menindaklanjuti dengan pengkajian komprehensif dalam perspektif keagamaan. Kami akan kaji, yang intinya MUI akan berkontribusi dalam memberikan solusi keagamaan atas dasar pertimbangan kemaslahatan umum secara holistik,” ucap Niam dilansir dari Tempo.co pada 30 Juni lalu.

Begitupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) siap menindaklanjuti aspirasi Santi. Mengambil langkah untuk mendorong rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR yang kebetulan sedang membahas revisi UU Narkotika.

Adapun pembahasan revisi UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika akan mulai pada masa sidang Agustus 2022. DPR tidak mau melegalkan ganja lewat revisi UU Narkotika, melainkan merelaksasi penggunaan ganja untuk medis.

“Tetapi sekali lagi ingat jangan ada pembelokan. DPR atau Komisi III tidak sedang melakukan usaha melegalkan ganja, bukan itu, apalagi untuk rekreasi atau untuk kesenangan. Kita cuma merelaksasi agar kalau perkembangan ilmu pengetahuan ke depan itu ada obat yang memang ada campuran ganja dan itu bisa mengobati penyakit,” ucap Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani kepada wartawan, Rabu (20/7).

Advokat Institute Criminal Justice Reform, Erasmus berterimakasih kepada semua pihak yang sudah mendukung. Dia berharap, prosesnya bisa berjalan cepat.

"Terutama untuk riset, saya harap prosesnya tidak terlalu lama karena bukan hal baru, terlebih kita punya banyak ahli. Kita juga punya BRIN yang saat ini dipimpin Ibu Megawati, yang dikenal dekat dengan wong cilik. Jadi, tidak perlu lama, beliau bisa dengan cepat memerintahkan BRIN melakukan penelitian,” ungkapnya.

Yang menjadi catatan, bila memang ganja bisa dilegalisasi untuk keperluan pelayanan kesehatan, Erasmus berharap manfaatnya bisa terjangkau oleh semua pihak. “Bila tidak, perjuangan belum berakhir,” tandas Erasmus.