Masalah Presidential Threshold yang Masih Terus Menuai Pro Kontra
Permintaan agar Mahkamah Konstitusi menghapus presidential threshold pada Pemilu 2019 dihapuskan, dilakukan sejumlah aktivis pro demokrasi di Jakarta, Kamis 21 Juni 2018. (Antara/Reno Esnir)

Bagikan:

JAKARTA - Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Itulah Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109). Atau akrab disebut sebagai ketentuan presidential threshold Pemilihan Umum.

Sudah acapkali sejumlah tokoh politik, diaspora Indonesia di negara-negara lain, hingga ASN meminta judicial review pasal tersebut, tetapi Mahkamah Agung tetap tidak bergeming. Jawaban yang diberikan lazimnya terkait pertimbangan hukum Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum.

Sehingga, subjek hukum yang memiliki hak konstitusional mengajukan permohonan adalah partai politik atau gabungan partai politik. Serta, perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden.

"Seandainya pemohon satu memang benar didukung oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu dalam batas penalaran yang wajar, pemohon satu mestinya menunjukkan bukti itu kepada mahkamah.” Ini jawaban Hakim Konstitusi Arief Hidayat terhadap gugatan yang diajukan oleh mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli pada 14 Januari 2021 seperti dilansir dari kompas.com.

Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman dan Presiden Jokowi yang juga merupakan kakak iparnya. (BPMI Setpres/Muchlis Jr)

Serupa dengan jawaban Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ketika menanggapi permohonan judicial review Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Nyalla Mattalitti pada Kamis 7 Juli 2022. “DPD atau Pemohon 1 tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan presidential threshold.

Dalam kesempatan sama, Anwar juga menyanggah pokok permohonan Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra yang beranggapan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan prinsip negara hukum agar presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan Pemilu yang periodik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

PBB memang tak memenuhi syarat perolehan suara di parlemen. Hanya 1.099.849 atau setara 0,79 persen pada Pemilu sebelumnya, tetapi sesuai ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD Tahun 1945, PBB tetap memiliki hak mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden.

Anwar tetap memutuskan, “Pokok permohonan Pemohon II (Yusril) tidak beralasan menurut hukum.”

Dalam pembacaan amar putusan perkara Nomor 52/PUU-XX/2022 yang disiarkan MK secara virtual di Jakarta pada 7 Juli 2022, Anwar menyatakan, “Permohonan Pemohon I (La Nyalla) tidak dapat diterima, dan menolak permohonan Pemohon II (Yusril) untuk seluruhnya."

Ada Apa dengan Mahkamah Konstitusi?

Penulis sekaligus aktivis dari Blok Politik Pelajar, Delpedro Marhaen menilai penolakan MK terhadap ketentuan presidential threshold jauh panggang dari api dengan realita politik Indonesia saat ini.

Dalam pandangan MK, syarat ambang batas pencalonan diperlukan untuk mengutamakan hubungan presiden dan wakil presiden dengan DPR, sehingga akan mendorong efektivitas proses-proses politik di DPR menjadi lebih sederhana dan efisien dalam kerangka checks and balances secara proporsional. Realitasnya tidak ada hubungan antara efektivitas dengan ambang batas.

“Berkaca dari Pemilu 2019 ambang batas tidak menciptakan politik yang efektif, bahkan partai pengusung Presiden dan Wakil Presiden yang kalah pun pada akhirnya merapat kepada pemenang. Ini menghasilkan sistem politik yang tidak sehat karena menghilangkan dinamika dalam memutuskan kebijakan. Akhirnya, kebijakan yang dihasilkan hanya memuluskan akal bulus pemangku kepentingan,” tulis Delpedro seperti yang dibacakan oleh Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun dalam akun YouTubenya, Minggu (17/7).

Menurut Delpedro, realitas politik hari ini menunjukkan rusaknya relasi antara eksekutif dan legislatif. Lembaga kepresidenan dan parlemen lebih sering bersekongkong ketimbang bertarung dalam merilis aturan perundangan yang buruk dan meledek nalar publik.

Pilihan kalimat efektif dan efisien dalam sistem presidensial dalam kacamata MK, lebih lekat dengan warna pemerintahan otoritarian, dimana parlemen hanya berfungsi sebagai pemberi stempel bagi manuver presiden ketimbang melakukan pengawasan dan koreksi terhadap kekuasaan.

“Tidak heran calon-calon pilihan parpol ya hanya itu itu saja. Meski kita punya hak pilih, tetapi parpol yang menentukan siapa yang bisa kita pilih; menandakan sirkulasi kandidat memang dipegang oleh elite-elite politik yang menguasai sistem presidensial yang efisien,” lanjut Delpedro.

Gedung Mahkamah Konstitusi. (Antara/Hafidz Mubarak)

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun berpendapat tak jauh berbeda. Dia mempertanyakan esensi MK mempertahankan penguatan presidential threshold yang berlaku saat ini. Padahal, presidential threshold nol persen saja pemerintahan tetap bisa berjalan efektif.

“Toh, dalam nol persen bukan berarti presiden tidak akan didukung. Enggak mungkin presiden yang menang tidak didukung oleh kekuatan partai politik. Karena dengan sadar, kita akan melihat bahwa pemenang itu tidak akan mungkin menjadi anak tiri. Pemenang selalu menjadi anak emas yang senantiasa dicari-cari,” ucap Refly di akun YouTubenya, Minggu (17/7).

“Jadi, memang tidak ada korelasinya antara sistem presidensiil dengan penguatan atau dukungan presiden demi mencapai politik yang efektif dan efisien. Lalu kenapa MK masih mempertahankan presidential threshold. I don’t know exactly,” lanjutnya.

Dalam kasus ini, MK terlihat tidak independen. Refly menduga penolakan bukan semata soal hukum atau argumentasi konstitusi, tetapi bercampur dengan soal-soal lain. “Bisa saja tekanan oligarki it’s impossible, tekanan istana sangat mungkin, atau gesture kekuasaan sangat mungkin.”

Dari 9 hakim konstitusi, hanya 2 hakim yang tetap kekeuh menolak presidential threshold 20 persenBahkan, kata Refly, dissenting opinion dari keduanya jauh lebih lengkap, komprehensif dan argumentatif dibandingkan dengan apa yang dinarasikan Ketua MK dalam amar putusan penolakan perkara.

Ilustrasi Pemilu 2024. (Pixabay)

“Saya mengenal sebagian besar hakimnya atau seluruh hakimnya, yang saya anggap hakim-hakim tersebut cukup independen. Ternyata, dalam kasus ini saya mengatakan hakim-hakimnya benar-benar mengabdi ke kekuasaan dan tidak ingin melihat demokrasi kita berkembang secara baik,” kata Refly.

Namun, berkembang sebagaimana dikembangkan ala rezim pemerintahan Presiden Jokowi sejak 2014, yaitu kecenderungan menyempitkan Pilpres ke dalam sirkuit yang hanya bisa diikuti oleh pasangan calon yang mereka tentukan saja.

“Ada threshold 20 persen tidak hanya on the paper, tidak ada aturannya, tetapi di atas low in action dalam realitas juga ternyata membawa keburukan-keburukan yang diakui MK sendiri, hanya MK menghindar. Kalau dikabulkan katanya belum tentu akan menghilangkan oligarki, tidak ada jaminan. Lah, tugas MK adalah menegakkan konstitusi bukan menjamin bahwa ketentuan konstitusional pasti akan dilaksanakan atau tidak oleh penguasa negara, karena itu lain lagi sistemnya,” sahut Refly.

Dia berharap MK benar-benar bisa bersikap independent, non partisan dan hanya melihat konstitusi sebagai junjungannya. “Kita berdoa saja, karena tidak ada yang tidak mungkin dari yang maha kuasa,” tandasnya.

Nol Persen Justru Bikin Gaduh

Pendapat berbeda diungkapkan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Agus Rikwanto. Meski ambang batas 20 persen dinilai beberapa pihak masih memberatkan, ia menilai aturan ini bisa menyeimbangkan kekuatan presiden dengan DPR. Tidak seperti Pemilu Legislatif pada 2004. 

Kala itu, tiket untuk kursi RI-1 dan RI-2 diperebutkan oleh lima pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kala itu berpasangan dengan Jusuf Kalla (JK) berhasil melenggang ke istana dengan sokongan tiga Parpol kecil, yaitu Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Walau keduanya berhasil meraup 60,62 persen suara nasional atas pasangan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi, Parpol pengusung SBY-JK tak memiliki taji di DPR.

“Ada dinamika yang tidak baik dengan parlemen, karena SBY hanya didukung tiga Parpol sedangkan Parpol besar termasuk pemenang Pemilu itu ada di parlemen. Itu membuat pemerintahan SBY-JK limbung dan sering terjadi deadlock antara Presiden dan DPR. Bermula dari peristiwa ini maka presidential threshold mulai dinaikan persentase suaranya,” ujar Dr. Agus Rikwanto dilansir dari uns.ac.id, Senin (18/7).

“Kalau mau mengubah ini tidak perlu diuji ke MK, caranya UU yang ingin dirubah pasalnya yang mengubah Presiden dan DPR. Masalahnya keduanya sudah sepakat tidak mau mengubah UU Pemilu,” tambahnya.

Melansir dari Sindonews, Ketua DPP PDIP Bidang Pemenangan Pemilu, Bambang Wuryanto pun sempat berkelakar bagaimana kondisi politik nantinya bila presidential threshold nol persen diterapkan. Menurut dia, akan muncul kegaduhan karena siapapun partai bisa mencalonkan calon presidennya. 

"Kalau itu (ambang batas) nol persen, siapa pun bisa mencalonkan presiden. Kalau semua bisa mencalonkan presiden betapa gaduhnya republik ini, itu satu. Iya toh. Wong sampeyan bisa mencalonkan presiden kok, maka usulan 0% itu bisa bikin gaduh," tuturnya.

Secara tidak langsung, Bambang juga mengakui sepatutnya partai dengan suara besarlah yang harus mengirimkan calon presiden. Jika tidak, pemerintahan tidak akan berjalan lancar karena tak ada dukungan dari parlemen. Memang dalam pengesahan undang-undang, pemerintah dan DPR harus satu suara.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla, pemerintahan mereka pada 2004-2009 sering limbung karena minim dukungan di DPR. (Antara/Saptono)

Pengamat Politik dari UI, Panji Anugerah Permana menilai ketentuan presidential threshold lahir sebagai sistem untuk membangun sistem presidensil yang lebih baik. Tujuan awalnya mengubah dinamika politik agar tidak terjadi lagi minority government, ketidakharmonisan antara eksekutif dan legislatif.

Seperti yang terjadi pada era pemerintahan Presiden Gus Dur dan Presiden SBY. “Gus Dur dan SBY memang berhasil menjadi presiden. Namun, suara partai politik pendukung mereka kalah di parlemen. Alhasil, acapkali terjadi pertentangan antara eksekutif dan legislatif,” ucapnya saat dihubungi, Senin (18/7).

Namun, yang terjadi saat ini, relasi antara eksekutif dan legislatif terlalu harmonis. Sehingga, tidak ada check and balances. “Selama Jokowi menjadi Presiden hampir tidak ada pertentangan dari legislatif. Malah tidak sehat,” tuturnya.

Alhasil, kata Panji, salah satu cara menyeimbangkan kondisi tersebut di Pemilu 2024 nanti adalah dengan menurunkan persentase threshold. “Memang tidak ada patokan. Namun, kalau berkaca di negara-negara luar, kisarannya 4-5 persen. Jangan juga dibuat nol persen karena kecenderungan kegaduhan semakin tinggi," ucapnya.

"Itu untuk Pilpres. Berbeda dengan Pilkada. Kalau Pilkada, partai yang memiliki kursi di DPR boleh mengajukan calon demi terciptanya keseimbangan,” pungkas Panji.