Bagikan:

JAKARTA – Kasus pelecehan seksual di lingkungan lembaga pendidikan kian mengkhawatirkan. Tengok data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada akhir tahun 2021 lalu. Ada 207 anak rentang usia 3-17 tahun menjadi korban, 71 di antaranya laki-laki.

Dari jumlah tersebut 36 persen pelajar SMP, 32 persen SD/sederajat, 28 persen tingkat SMA/sederajat, dan 4 persen TK. Mirisnya lagi, dari 18 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, 14 di antaranya terjadi di satuan pendidikan di bawah wewenang Kementerian Agama. Pelakunya mayoritas adalah tenaga pendidik.

Data Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyebut angka lebih tinggi. Setidaknya, terdapat 27 kejadian pelecehan seksual di lembaga pendidikan berbasis keagamaan di seluruh Indonesia sepanjang 2021.

Jumlah itu bahkan belum termasuk kekerasan seksual yang terjadi di luar satuan pendidikan agama formal. Semisal pencabulan terhadap belasan anak laki-laki oleh guru di Padang dan Ternate. Kekerasan seksual lazimnya dilakukan berkali-kali dalam kurun waktu lebih dari 1 tahun.

Bagaimana tahun ini? Bila merujuk dari pemberitaan media. VOI menghimpun sedikitnya sudah terjadi empat kasus pelecehan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama baik formal maupun non formal.

Rudianto, guru ngaji tersangka pelaku pelecehan seksual di Mojokerto, Jatim. (Tribunnews.com)

Kasus pertama terjadi di TPQ yang berlokasi di salah satu Desa wilayah Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto. Ustaz TPQ bernama Rudianto alias Dian (40) mencabuli tiga anak laki-laki. Dua korban berusia 12 tahun, sedangkan 1 korban berusia 14 tahun. Korban pertama mengalami pencabulan lima kali. Korban kedua dan ketiga masing-masing 10 kali. Dilakukan pada Januari-Februari 2022.

Menurut Kapolres Mojokerto AKBP Apip Ginanjar, pelaku bermodus mengecek apakah korban sudah balig atau belum dan meminta korban menonton video porno. "Kepada korban dipertontonkan video porno (memakai ponsel tersangka), sampai akhirnya tersangka mencabuli korban. Korban lainnya juga diperlakukan serupa," jelasnya, dikutip dari detik.com.

Kasus kedua di salah satu sekolah berbasis agama di Kabupaten Subang. Pelakunya adalah guru berstatus PNS berinisial DAN. Dia mencabuli anak didiknya berinisial E (15) lebih dari 10 kali dalam kurun waktu satu tahun.

Kasus ini berawal dari Laporan Polisi Nomor 656 tanggal 23 Mei 2022 yang dilaporkan oleh keluarga korban. Kapolres Subang kala itu, AKBP Sumarni menceritakan perbuatan pelaku terungkap oleh ibu korban yang membaca tulisan berisi curhatan korban. “Saat ditanya oleh orang tuanya terkait curhatan yang ditulisnya, korban mengaku. Tulisan tersebut benar apa adanya dan dialami oleh korban selama menjalani pendidikan menengah pertama,” ucapnya dikutip dari Tribunnews.

Kasus ketiga terjadi di Pondok Pesantren Riyadhul Jannah Depok. Polisi menetapkan empat tersangka pencabulan terhadap belasan santriwati. Tiga di antaranya berprofesi sebagai ustaz, sedangkan satu tersangka lain santri senior. 

Penetapan tersangka ini berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan tiga laporan polisi. Pelaporan itu teregistrasi dengan nomor LP/B/3082/VI/SPKT/PMJ, LP/B/3083/VI/SPKT/PMJ, dan LP/B/3084/VI/SPKT/PMJ.

Pria berinisial DAN, tersangka pelecehan seksual terhadap anak didiknya di Subang, Jabar. (Dok. Polres Subang)

Kasus keempat terjadi di Pondok Pesantren Shiddiqiyah Jombang. Tersangkanya adalah Moch Subchi Azal Tsani atau Mas Bechi, putra mahkota dari KH Muhammad Mukhtar Mukhti yang merupakan pengasuh Ponpes Shiddiqiyah. Dia dilaporkan Polda Jatim oleh seorang perempuan sejak Oktober 2019.

Seperti yang diberitakan VOI, Polres Jombang telah menetapkan Mas Bechi sebagai tersangka pada 2020 lalu. Tak terima, Mas Bechi mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Surabaya atas penetapan tersangkanya, namun ditolak hakim. Kasus terus bergulir dan penyidik menyerahkan berkas tahap pertama ke Kejaksaan Tinggi Jatim dan dinyatakan lengkap atau P21.

Pada Januari 2022, Mas Bechi dipanggil oleh Polda Jatim untuk menjalani proses penyerahan tahap kedua dari penyidik Polda Jatim ke Kejati Jatim. Namun, dia mangkir. Polda Jatim pun akhirnya memasukkan dirinya ke dalam daftar pencarian orang (DPO) atau buronan. Dia akhirnya menyerahkan diri pada Kamis (7/7) malam dan ditahan di Rutan Medaeng, Sidoarjo.

Rentetan kasus tersebut tentu menciptakan tanda tanya besar terkait kredibilitas pesantren dan lembaga pendidikan berbasis agama lainnya. Pesantren yang seharusnya menjadi tempat mencetak generasi-generasi berkarakter agamis seolah malah menjadi sarang predator seksual. Sebenarnya apa yang salah?

Moral dan Benturan Kebudayaan

Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi menilai kasus-kasus itu sebagai permasalahan moral, bukan permasalahan sistem pendidikan atau kompetensi tenaga pendidik. Moral baik tidak selalu muncul dari orang beragama. Moral lahir dari human nature. Orang tidak beragama pun bisa bermoral baik sepanjang dia mampu menghargai harkat dan martabat orang lain tanpa melihat latar belakang baik agama, suku, kondisi ekonomi atau apapun.

“Kalau ada pendidik agama yang melakukan pencabulan terhadap murid-muridnya itu bukan dalam konteks agamanya, kejahatan itu dibuat dalam konteks perilaku manusianya. Karena memang tidak ada agama yang menganjurkan kejahatan-kejahatan seksual. Ini yang harus kita lihat secara logika terbalik. Kejahatan bisa dilakukan oleh siapapun, moral baik bisa dilakukan oleh siapapun,” kata Islah saat dihubungi VOI, Kamis (14/7).

Perilaku manusia-manusia yang menunggangi agama dan menggunakan jubah-jubah agama supaya terkesan saleh, terkesan suci inilah yang menjadi pangkal persoalan.

“Kalau kita ingin menyelamatkan nama baik agama, kalau kita merasa ingin membela agama maka kita harus bisa mengalahkan potensi-potensi kejahatan dalam diri kita sendiri. Nah, praktisi lembaga-lembaga pendidikan, ustaz, guru yang kemudian melakukan pencabulan terhadap muridnya, ini harus menyadari dia membawa identifikasi agama. Dia membawa identifikasi pendidikan dalam dirinya yang harus memberi contoh kepada orang lain. Itu sebabnya, dia harus bisa menjaga perilakunya,” ungkapnya.

Mas Bechi, tersangka kasus pelecehan seksual di Ponpes Shiddiqiyah, Jombang saat digelandang petugas Rutan Surabaya di Medaeng, Sidoarjo, Jawa Timur. (Antara/Marul)

Selain moral dan perilaku, penyebabnya juga karena benturan kebudayaan atau yang dikenal sebagai civil of civilizations. Berbeda dengan sebelumnya, pada era digital, para tenaga pendidik bisa mudah mengakses informasi apapun.

“Bisa saja saat ini dia sedang di pojokan kamar menonton konten-konten pornografi yang tanpa disadari menstimulasi pikirannya untuk melakukan kejahatan seksual. Sekarang, orang tidak perlu berkerumun, tidak perlu influent dari orang lain untuk melakukan kejahatan,” lanjut Islah.

“Manusia adalah manusia yang tidak memiliki sifat maksum. Kita harus hati-hati dalam melihat simbol-simbol agama, bukan berarti kita tidak boleh takzim atau taklim kepada orang-orang yang berilmu, tetapi kita juga harus bisa memisahkan antara keilmuan seseorang dengan moral seseorang . Semua ilmu filsafat, semua ilmu agama sudah secara jelas menyatakan bahwa moral baik berpotensi dilakukan oleh manusia apapun, beragama apapun, termasuk oleh orang yang tidak beragama sekalipun,” kata Islah memaparkan.

Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Ni’am Sholeh mengingatkan kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi jangan sampai membuat orang tua takut menyekolahkan anak-anaknya ke pesantren. Bagaimanapun, pondok pesantren adalah pilihan terbaik untuk pendidikan karakter. Mengintegrasikan pendidikan formal, informal, dan nonformal dengan pendekatan keteladanan serta pengasuhan yang terintegrasi dengan agama.

Yang menjadi catatan, selektiflah dalam memilih pesantren. "Sebelum menempatkan anak, orang tua harus memahami dan mengetahui kondisi faktual pesantren, mulai dari siapa saja pengasuhnya, mata pelajaran yang diajarkan, serta aktivitas kesehariannya," kata Ni'am.