Menyelisik Cara Akhiri Konflik Babarsari Gotham City di Yogyakarta yang Sudah 15 Tahun Tak Teratasi
Anggota polisi melakukan olah tempat kejadian perkara kericuhan di Babarsari, Sleman, DI Yogyakarta, Senin, 4 Juli 2022. (Antara/Hendra Nurdiansyah)

Bagikan:

JAKARTA - Pihak yang bertikai di area kampus dan kafe kawasan Babarsari, Sleman, Yogyakarta pada Senin 4 Juli lalu sudah bersepakat bersama-sama menjaga kerharmonisan antar sesama dan terus berupaya mencegah agar tidak lagi terjadi gesekan.

Pernyataan bersama itu disampaikan langsung oleh perwakilan dari Forum Pemuda Nusa Tenggara Timur, Ikatan Pelajar-Mahasiswa Papua, dan Perhimpunan AMKEI DIY di Kompleks Mapolda DIY, Sleman, Kamis (7/7).

“Kepada Bapak Sultan (Gubernur DIY), Bapak Kapolda, dan seluruh masyarakat Indonesia khususnya warga Yogyakarta yang beberapa hari kemarin terganggu, kami memohon maaf sebesar-besarnya,” ucap Sekjen Forum Pemuda NTT, Talla Alor.

Kondisi saat ini memang sudah kondusif, tetapi masyarakat pesimistis tidak akan terjadi lagi kerusuhan serupa. Bukan tanpa alasan. Sudah terbilang sering kerusuhan yang melibatkan kelompok pemuda mahasiswa dari Maluku, Papua, dan NTT terjadi di sekitar Babarsari, Yogyakarta. Sudah sering juga aparat penegak hukum mendamaikannya, tetapi tetap saja terulang.

Bangkai sepeeda motor yang terbakar akibat kerusuhan di Babarsari, Yogyakarta pada 4 Juli 2022. (Facebook)

VOI menghimpun data dari berbagai sumber, bentrokan antarsuku hingga mengakibatkan pengerusakan fasilitas umum dan pribadi di Babarsari, Yogyakarta, sudah terjadi sejak 15 tahun lalu.

  • 29 Juni 2007 – Bentrok mahasiswa Kupang dan Timor Leste, 4 orang luka, kaca rumah hancur
  • 2 Juli 2007 – Bentrok kelompok Kupang dan Timor Leste kembali terulang.
  • 12 Januari 2008 – Bentrok mahasiswa Sulawesi Selatan dan Indonesia Timur di Seturan
  • 15 Januari 2008 – Keributan berlanjut, asrama mahasiswa Sulsel diserang. Sebagian bangunan rusak, 4 motor terbakar, 7 motor rusak berat.
  • 8 Mei 2012 – Bentrok warga Barbasari dan mahasiswa Timor Leste gara-gara perkara bayar parkir di Warnet. Sebanyak 24 rumah rusak, 1 motor terbakar, 4 mobil rusak
  • Juli 2012 – Mahasiswa Flores dan Kupang berkelahi saat malam syukuran wisuda, 6 orang terluka
  • 30 November 2012: Perampokan bersenjata terhadap sepasang kekasih yang tengah cekcok. Korban perempuan disekap sehari semalam di tempat kost perampok.
  • September 2013 – Bentrok mahasiswa Alor dan Sumba di sebuah kafe, 2 orang terluka
  • 31 Desember 2014– Bentrok mahasiswa Papua dan Flores. Kedua kelompok perang batu.
  • September 2015 – Bentrok mahasiswa Ambon dan Sumba terulang beberapa orang terluka
  • 9 Juni 2017 – Sejumlah mahasiswa ribut dengan 3 polisi di kedai kopi. Diduga karena peredaran miras di luar jam yang ditentukan saat bulan puasa. Satu mahasiswa meninggal.
  • 12 September 2018 – Tawuran kelompok Papua dan Maluku gara-gara gelas miras yang pecah di kafe. Satu mahasiswa terluka.
  • Maret 2020 – Bentrok massa ojek online dengan debt collector gara-gara driver ojol dianiaya, 6 orang terluka, 4 motor rusak.
  • 18 Juni 2021 – Bentrok ormas keagamaan dan sekelompok pemuda di Babarsari gara-gara penutupan tempat hiburan.
  • 21 Desember 2021 – Penusukan remaja Papua di Kompleks kantor Batan.
  • 8 Mei 2022- Bentrok antara dua kelompok bermotor gara-gara tak ada yang mau mengalah di jalan. Mereka salilng lepar batu 2 orang tewas.
  • 4 Juli 2022-Kerusuhan di ruko oleh massa Papua, imbas rekan mereka jadi korban perkelahian kelompok NTT dan Maluku, 3 orang luka, beberapa ruko rusak, 7 motor terbakar.

Dari data dapat terlihat, kerusuhan dan tindakan anarkisme seolah telah menjadi tren di Babarsari. Bisa dibilang, hampir terjadi setiap tahun. Terutama, yang melibatkan tiga kelompok: etnis NTT, Papua, dan Maluku. Padahal, mereka adalah pendatang yang seharusnya bisa mengikuti adat-istiadat yang berlaku di penduduk lokal.

Tak heran bila banyak masyarakat tidak lagi berempati, bahkan sampai menyerupakan Babarsari dengan Gotham City, kota yang digambarkan memiliki tingkat kejahatan tinggi dalam cerita fiksi super hero Batman sebagai julukan di media sosial, Babarsari Gotham City.

Faktor Utama Bukan Sentimen Suku

Dosen Universitas Muhammadiyah Prof. DR Hamka (Uhamka) Said Romadlan menilai konflik kerusuhan yang melibatkan pendatang dengan suku asli atau pendatang dengan pendatang sudah sering terjadi tidak hanya di Yogyakarta.

Faktor utama bukanlah sentimen suku. Substansi permasalahan lazimnya terkait dengan upaya mereka mencari penghidupan.

“Sentimen suku baru muncul belakangan setelah ada pemantiknya, entah karena rebutan lahan, tempat parkir, dan semacamnya. Bisa banyak faktor pemantik,” ucapnya saat dihubungi, Rabu (13/7).

Bila ingin menyatukan visi perlu komunikasi yang intens.

“Saat ini, mungkin belum tercipta komunikasi yang baik dengan tiga kelompok yang selalu bertikai di Babarsari. Sehingga, para pendatang belum bisa berbaur utuh, masih ada sentimen kedaerahan. Mereka masih membawa kultur dari daerahnya saat tinggal di Yogya,” katanya lagi.

Jl. Babarsari di wilayah Kabupaten Sleman, Yogyakarta. (portalyogya)

Said menyarankan semua pihak duduk bersama. Sultan atau perangkat daerah lain bisa melibatkan para pendatang dalam kegiatan apapun demi membangun Yogyakarta. Sehingga tercipta rasa memiliki dan saling menjaga satu dengan lainnya.

“Jadi, kalau ada konflik, tidak serta-merta merusak,” tambah Said.

Perlu juga membuat wadah yang memadai sebagai tempat berkomunikasi. Saat ini, tidak seimbang. Komunitasnya semakin banyak, wadah yang tersedia sedikit. Sehingga, rentan terjadi gesekan

“Yang terpenting harus memahami permasalahan dasarnya terlebih dahulu. Jangan hanya di permukaannya saja yang selesai. Bila dasarnya belum selesai, toh sama saja. Ada pemantik sedikit juga langsung ramai lagi,” tandasnya.

Mempopulerkan Budaya Srawung

Budayawan Yogyakarta Charis Zubir pun berharap ada upaya serius untuk mengatasi ragam permasalahan yang terjadi di Babarsari. Yogyakarta adalah kota wisata dan kota pendidikan. Sehingga, perlu juga pembinaan, pendidikan, serta srawung.

“Yogyakarta bagaimanapun juga memiliki akar kultural srawung,” katanya dikutip dari Kumparan, Rabu (13/7).

Srawung, kata Hizbullah Hanif dalam tulisannya di mahkamahnews.org, adalah produk budaya masyarakat Jawa yang berperan sentral dalam pembentukan ciri suatu masyarakat yang toleran, guyub dan memiliki tingkat kepedulian tinggi terhadap sesama.

Semakin intens interaksi yang dilakukan individu dalam masyarakat maka semakin besar pula pengaruh masyarakat terhadap individu itu. Dengan kata lain, masyarakat semakin dapat melaksanakan fungsi kontrol sosialnya.

“Budaya srawung sangat membantu menekan penyebaran paham radikalisme karena memungkinkan masyarakat menempatkan perhatian kepada setiap individu dengan baik dan selanjutnya memperbaiki atau melakukan kontrol terhadap nilai-nilai yang dianggap bertentangan dengan nilai dan norma di masyarakat itu,” kata Hanif. 

Proses Dialog Sudah Empat Tahun

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sekaligus Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamenghubowono X, seperti dikutip dari tempo.co mengatakan proses dialog dengan warga pendatang sebenarnya sudah sempat dilakukan sekitar empat tahun lalu. Sultan meminta seluruh pendatang di Yogyakarta menghargai dan menjunjung budaya setempat.

Pada dialog tersebut, Sultan Hamenghubowono X turut menggarisbawahi bahwa tindakan kekerasan fisik tidak dibenarkan di Yogyakarta. Oleh sebab itu, apabila terjadi konflik, sebaiknya diselesaikan dengan kepala dingin melalui dialog.

Sultan Yogyakarta, Hamengkubuwono X memerintahkan tindakan tegas bagi pelaku kerusuhan di wilayahnya. (Antara)

Itulah mengapa ketika mendengar Barbasari kembali rusuh, dia meminta Polda DIY menindak tegas para pelanggar.

“Jika tidak ditindak, maka tidak ada rasa takut melakukan hal serupa kedepannya. Tegakkan hukum karena sudah terjadi pelanggaran. Masyarakat kita tidak mengenal budaya kekerasan fisik seperti itu. Kalau tidak ditindak, ya tidak akan ada efek jera,” kata Sultan Yogyakarta kepada wartawan, Selasa 5 Juli 2022.