Bagikan:

JAKARTA - Apa yang terjadi dengan ACT? Benarkah ada penyelewengan dana? Benarkah terjadi kudeta kepemimpinan? Apakah ini hanya konflik internal yang sengaja dibesar-besarkan? Atau hanya upaya ‘pemakzulan’ partai politik tertentu? Beragam pertanyaan menyeruak. Belum lagi hasil temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait aliran dana ACT yang mengarah ke organisasi-organisasi teroris.

Semua memang masih sebatas dugaan. Masih memerlukan kajian dan pendalaman lebih lanjut. Namun, sedikit-banyaknya, isu itu telah mencederai hati para dermawan dan menimbulkan pro-kontra di ranah publik.

Tagar JanganPercayaACT dan KamiPercayaACT bahkan sempat menjadi tren di twitter dalam beberapa hari terakhir. Mereka yang kecewa menganggap ACT hanya lembaga yang menjual agama hanya untuk memperkaya diri sendiri dan golongan. “Bubarkan ACT Aksi Cepat Tancap, jualan atas nama Agama demi kepentingan kantong elitnya,” kicau @gante_nasar, Senin (4/7).

“Aksi cepat tilep ini mah, WTP 14tahun ??? Penghasilan & kendaraan pengurusnya sejenis Alphard, CRV, Pajero yang nyumbang bawaaannya Honda Beat, Yamaha Mio, Jaklingko. Pagii dunia tipu-tipu,” tambah @bobby_risakotta pada hari yang sama.

Tak sedikit pula akun twitter centang biru yang turut berkicau. Semisal, @GunRomli pada Rabu (6/7), “ACT: Aksi CUma Tipu. Dapat dana ratusan juta, yg diserahkan cuma 3 juta. Tega sekali memanfaatkan musibah & kesakitan orang tapi untuk kepentingan sendiri. Hidup paling hina, memotong dana sumbangan dgn memanfaatkan penderitaan orang lain.”

Serta, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas lewat akun pribadinya @YaqutCQoumas yang berkata, “Jika memang dana kemanusiaan diselewengkan untuk kepentingan di luar kemanusiaan atau bahkan untuk mendukung kegiatan-kegiatan terorisme, ACT harus dicabut ijinnya!”

Kupon untuk program yang diusung ACT, Operasi Makan Gratis. (Dok. ACT)

Adapun mereka yang mendukung menganggap kasus ACT terlalu bermuatan politik. Terjadi sudah sejak kepengurusan sebelumnya, tapi kenapa baru viral saat pengurus baru?

Mereka juga membandingkan kasus ACT dengan kasus-kasus korupsi di lembaga-lembaga pemerintah. Sebut saja yang terjadi di Kemensos dan dugaan korupsi dana bantuan pesantren senilai Rp 2,5 triliun di Kementerian Agama. “Kemenag itu paham tupoksi atau memang gagal #nalar? Dugaan korupsi 2,5T di Kemenag yang dia pimpin, sudah 30 hari lebih tidak ada komentar satupun? (JIKA MEMANG)#ACT baru 3 hari langsung galak! *ambigubinabsurd,” kicau @ZAEffendy, Kamis (7/7).

“DI BUMN juga banyak dengan masalah Kasus2 Korupsinya, Tapi tidak ada yang teriak2 bahwa BUMN harus dibekukan dan dibubarkan. Maka begitu juga di ACT, kalau di ACT ada Maling / Koruptor, Maka Potong Tangannya, jangan ACT-nya yang dibubarkan. Situ Waras?” kata @abu_waras, Selasa (5/7).

Penyelewengan dana selalu menjadi isu sensitif bagi masyarakat Indonesia. Terlebih, bila terjadi di lembaga-lembaga populer. Tak dapat dipungkiri, ACT memang telah menjadi lembaga filantropi teratas di Indonesia. Sejak berdiri pada 2005, keberadaannya terus berkembang hingga bisa bertransformasi menjadi lembaga kemanusiaan global dengan jangkauan lebih luas.

Situs act.id menyebut, jangkauan aktivitas program global ACT sudah sampai ke puluhan negara dunia. Besaran dana yang dihimpun juga bisa mencapai ratusan miliar rupiah per tahun.

Tengok data laporan keuangan periode 2010-2020 Yayasan Aksi Cepat Tanggap. Besaran dana kemanusiaan yang dikelola ACT terus meningkat. Dari hanya Rp25 miliar pada 2010 hingga lebih dari Rp500 miliar pada 2020.

Semakin tinggi pohon menjulang, semakin kencang angin menerpa. Di tengah popularitasnya, muncul temuan-temuan mengejutkan. Mulai dari daftar gaji petinggi ACT dengan besaran fantastis yang mencapai ratusan juta rupiah, pendiri Rp250 juta, Senior Vice President Rp150 juta, Vice President Rp80 juta, dan Direktur Eksekutif Rp50 juta. Hingga, temuan aliran dana ACT ke negara-negara berisiko tinggi dalam hal pendanaan terorisme.

PPATK langsung melakukan audit. Ternyata, tak hanya secara lembaga, ada beberapa individu dalam ACT yang diduga secara sendiri-sendiri melakukan transaksi ke beberapa negara dan ke beberapa pihak untuk kepentingan yang masih diteliti lebih lanjut.

“Misalnya, salah satu pengurus melakukan transaksi pengiriman dana periode 2018-2019 hampir senilai Rp500 juta ke beberapa negara, seperti ke Turki, Bosnia, Albania, dan India. Beberapa transaksi dilakukan secara individual oleh para pengurus,” terang Ivan Yustiavandana Kepala PPATK dalam jumpa pers, Rabu (6/7).

Selama periode tersebut juga ada karyawan yang melakukan transaksi pengiriman dana ke negara-negara berisiko tinggi dalam hal pendanaan terorisme. Tujuh belas kali transaksi senilai Rp1,7 miliar. Antara Rp10 juta-Rp552 juta.

Antara lain, menuju salah satu dari 19 orang yang ditangkap pemerintah Turki karena dugaan anggota Al Qaeda. "Ini masih diduga ya, patut diduga terindikasi pihak, yang bersangkutan pernah ditangkap, menjadi salah satu dari 19 orang yang ditangkap oleh kepolisian di Turki karena terkait dengan Al Qaeda," tutur Ivan.

Temuan lain, PPATK juga mensinyalir adanya pengelolaan dana dengan sistem business to business sebelum disalurkan kepada penerima bantuan. Sehingga, dana yang disalurkan tidak lagi real, melainkan hasil keuntungan bisnis.

“Ada indikasi transaksi keuangan yang melibatkan entitas perusahaan dengan Yayasan ACT senilai Rp30 miliar. Namun, saat ditelusuri, perusahaan tersebut masih dalam ruang lingkup pendiri ACT. Ternyata transaksi itu berputar antara pemilik perusahaan yang notabene juga salah satu pendiri Yayasan ACT,” tambah Ivan.

Atas dasar itulah, PPATK bertindak tegas memblokir 60 rekening atas nama entitas yayasan ACT yang tersebar di 33 bank. Semata hanya langkah cepat meredakan polemik di masyarakat. Bahkan, pada Kamis (7/7), PPATK telah melakukan penghentian sementara transaksi di 141 CIF di lebih dari 300 rekening yang dimiliki oleh ACT yang tersebar di 41 penyedia jasa keuangan.

Dukungan ACT untuk penanganan pandemi COVID-19 di Pulau Galang pada 13 April 2020. (ACTNews/Eko Ramdani)

Penelusuran PPATK dari 2014 sampai Juli 2022, ACT mendapatkan sumbangan dana dari luar negeri sebesar lebih dari Rp64 miliar Sedangkan tercatat ada dana keluar dari Indonesia sebesar lebih dari Rp52 miliar.

Temuan itu pula yang membuat beberapa lembaga pemerintah ‘bersiaga’. Antara lain, Densus 88 Antiteror Polri. "Densus 88 secara intensif sedang bekerja mendalami transaksi-transaksi tersebut," kata Kabagbanops Densus 88 Antiteror Polri Kombes Pol Aswin Siregar kepada wartawan, Kamis (7/7).

Bahkan, Bareskrim Mabes Polri, Jumat (8/7) telah memanggil Eks Presiden ACT Ahyudin dan Presiden ACT saat ini, Ibnu Khajar memberikan keterangan terkait kasus dugaan penyelewengan dana donasi umat yang dikumpulkan ACT.

Lalu, Kemensos yang langsung bertindak cepat dengan mencabut izin Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang (PUB). Tertuang dalam Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 133/HUK/2022 tanggal 5 Juli 2022 yang ditandatangani oleh Menteri Sosial Ad Interim Muhadjir Effendi.

Ini, kata Muhadjir, karena ada indikasi pelanggaran dalam aturan Kemensos terkait pembiayaan usaha dari pengumpulan dana sumbangan yang seharusnya 10 persen. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan Pasal 6 ayat 1. Sedangkan ACT menggunakan rata-rata 13,7 persen dari dana hasil pengumpulan uang untuk pembiayaan operasionalnya.

ACT Membela Diri

Presiden ACT Ibnu Khajar langsung buka suara menanggapi beragam isu negatif terhadap lembaga yang dipimpinnya. Sedikitnya, ada enam poin klarifikasi.

Pertama, terkait kondisi keuangan ACT. Hingga saat ini, kata Ibnu, dalam kondisi baik. Selalu konsisten sejak berdiri pada 2005 dan selalu mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari hasil audit lembaga disiplin yang dilakukan setiap tahun.

“Ini menjadi poin penting sekaligus menunjukkan bahwa tata kelola keuangan kami berjalan dengan baik. Hasilnya juga kami publikasikan di website act.id sebagai transparansi ACT kepada publik,” tegas Ibnu dalam keterangan pers di Gedung ACT, Menara 165, Jakarta, Senin (4/6).

Kedua, mengenai SDM lembaga yang saat ini pun dalam kondisi baik dengan wujud kerja yang luar biasa. “Pada awal 2021, kami memiliki 1688 SDM. Kemudian, berkurang pada Juli 2022, tinggal 1128 SDM,” tambah Ibnu.

Ketiga, terkait isu kudeta. Ibnu menegaskan tidak benar. Memang ada sejumlah permasalahan yang terjadi. Terutama, soal kebijakan-kebijakan lembaga. Banyak pimpinan cabang dan daerah yang berbeda pendapat dengan presiden saat itu, Ahyudin yang memiliki gaya kepemimpinan one man show dan cenderung otoriter.

Namun, itu bisa diselesaikan dengan cara baik. Ada kesadaran kolektif dari semua elemen pemimpin ACT untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada di lembaga.

Ibnu menjabarkan kronologisnya, “Pada 11 Januari, semua leader lembaga datang ke Jakarta memberikan nasihat dan masukan kepada pemimpin sebelumnya atas beberapa kondisi. Kita bersyukur dengan lapang dada, pemimpin sebelumnya menandatangani surat pengunduran diri. Jadi bila ada isu mengenai kata-kata kasar, menunjuk-nunjuk, kami sampaikan tidak terjadi di forum itu.”

Suasana dapur food truck milik ACT. (Dok. ACT)

Setelah ada surat pengunduran diri, kemudian pada 20 Januari 2022, digelar rapat pembina untuk perubahan struktur pengurus dan akte yayasan. “Kami undang Bapak Ahyudin. Tapi kebetulan beliau sedang di luar kota. Lewat WA (Whatsapp), beliau sampaikan memberikan kuasa kepada kita semua untuk melanjutkan prosesnya dengan baik.”

Keempat, mengenai fasilitas dan gaji. ACT, sebelumnya, memang memiliki kendaraan operasional berupa mobil Alphard dan Pajero. Alphard penggunaannya sebagai fasilitas pelayanan tamu-tamu penting. Sedangkan Pajero untuk trek-trek berat mengingat aksi-aksi kemanusiaan ACT tak jarang di pedalaman dengan akses kurang ideal. Sehingga, butuh kendaraan yang bertenaga.

“Namun, sejak pengurusan baru, tepatnya pada Februari 2022, mobil sudah kami jual untuk menutupi tanggung jawab lembaga. Sejak Januari, kami telah menurunkan semua fasilitas operasional. Level ketua yayasan, Innova. Ini pun sewaan. Beberapa direktur (vice president) kami berikan operasional kerja berupa Avanza atau Expander. Sebagian besar masih sewa,” terang Ibnu.

Begitupun soal gaji. Telah dilakukan penyesuaian, menurun 50-70 persen dari sebelumnya. Terkait informasi angka gaji fantastis petinggi ACT yang beredar di masyarakat, Ibnu menegaskan tidak tepat.

“Angka yang beredar itu baru rencana yang akan dijalankan pada 2021. Itu pun baru satu bulan dijalankan pada Januari. Setelah itu, terjadi banyak perubahan, struktur gaji kami menyesuaikan dengan dana silaturahmi yang kami himpun. Jadi, data yang beredar itu, belum sepenuhnya jalan dan tidak berlaku permanen. Kalaupun memang terjadi penyelewengan, tidak mungkin kami mendapat predikat WTP terus,” sambung Ibnu.

Yang berlaku saat ini, gaji presidisium ACT tidak lebih dari Rp100 juta untuk lembaga yang mengelola 1.200 karyawan.

Kelima, terkait dana operasional lembaga. Pada periode 2017-2021, penggunaan dana operasional lembaga hanya 13,7 persen. Seberapa banyak kepatutan lembaga mengambil dana operasional? Ibnu mengatakan dalam konteks lembaga zakat, secara syariat adalah 1/8 atau 12,5 persen. “Kenapa 13,7 persen? Karena yang kami kelola bukanlah lembaga zakat, melainkan juga donasi umum.”

Persentase itupun diperoleh dari hasil pertimbangan bersama Dewan Syariat. “Kami memiliki 78 cabang di Indonesia dan kami juga sudah berkiprah di 47 negara dunia. Tentu butuh, dana operasional yang lebih banyak saat melakukan aksi kemanusiaan. Bila lebih, kami ambil sebagian dari dana non zakat. Pada 2020 saja kami sudah melakukan 281 ribu aksi kepada 8,5 juta jiwa sebagai penerima manfaat,” lanjut Ibnu.

Kendati begitu, ACT tetap berupaya meminimalisasi penggunaan dana operasional, sehingga manfaatnya akan lebih terasa untuk mereka yang membutuhkan.

Ibnu pun menyayangkan terbitnya keputusan Menteri Sosial No 133/HUK/2022 tentang Pencabutan Izin Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan kepada Yayasan ACT di Jakarta Selatan pada Rabu (6/7/2022). Ini terlalu reaktif

Padahal, satu hari sebelumnya, beberapa perwakilan ACT sudah bersikap kooperatif memenuhi panggilan Kemensos dan menjelaskan secara rinci kondisi yang terjadi. “Kami juga sudah menyiapkan apa saja yang diminta oleh pihak kemensos, terkait dengan pengelolaan keuangan,” ujarnya.

Bila berkaca kepada Peraturan Menteri Sosial RI No 8/2021 tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang atau Barang (PUB) pasal 27, proses pencabutan izin seharusnya dilakukan secara bertahap. Tim legal Yayasan ACT Andri TK merinci, pertama teguran tertulis. Harus diberikan kepada penyelenggara PUB paling banyak tiga kali dengan tenggang waktu paling lama tujuh hari antara teguran yang satu dengan teguran lainnya. Lalu penangguhan izin, kemudian baru pencabutan izin.

“Di sinilah kami menjadi heran, mengapa begitu cepat keputusan pencabutan izin itu dilakukan,” kata Andri seperti dilansir dari situs resmi ACT.

Ibnu mengakui polemik terkait pengelolaan dana ACT ini sesungguhnya hasil dari kepemimpinan sebelumnya. Tanpa hendak melempar tanggung jawab, ia menegaskan pihaknya siap membuka diri dan mempersilakan semua pihak untuk mengaudit.

“Kepemimpinan yang dilakukan secara kolektif ini menjadi bukti nyata bahwa kami berusaha melakukan perbaikan, terutama dalam mengelola dana yang telah dihimpun. Semua keputusan sekarang dilakukan secara kolektif kolegial di bawah pengawasan Dewan Pengawas,” ujarnya.

Keenam, aliran dana ke teroris. Ibnu menegaskan, ACT tidak ada sangkut-paut dengan organisasi-organisasi teroris. ACT tidak pernah melihat bendera, agama, suku, atau apapun ketika melakukan aksi. Semua hanya atas dasar kemanusiaan.

“Kami tidak pernah berurusan dengan teroris. Kemanusiaan tidak boleh menanyakan siapa yang dibantu. Seperti di Suriah, kami tidak pernah bertanya mereka syiah atau ISIS,” tuturnya.

Ibnu mengakui isu yang mencuat ke publik tidak semuanya salah. “Beberapa yang disampaikan benar, tapi tidak semua benar.”

Memang ada beberapa permasalahan dalam lembaga. Namun, yang terpenting adalah spirit dan komitmen ACT saat ini melakukan perbaikan. “Kami menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat. Mungkin ada beberapa masyarakat yang sempat membaca berita dan kurang nyaman, kami sampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya.”

Kepatutan 13,7 Persen

Penggunaan dana operasional ACT yang mencapai 13,7 persen pada periode 2017-2021 menyita perhatian publik lebih besar. Sebab, persentase inilah yang mengarah ke dugaan penyelewengan dana. Sebelum menelisik lebih jauh, publik harus memahami terlebih dahulu ACT terdaftar sebagai lembaga apa.

Bila terdaftar sebagai lembaga zakat, pedomannya adalah peraturan Badan Amil Zakat Nasional. Namun, meskipun memiliki sejumlah program sosial berbasis spiritual seperti kurban, zakat, dan wakaf, ACT bukanlah lembaga zakat dan tidak terdaftar di Baznas.

Bila mengacu dari Peraturan Badan Amil Zakat Nasional Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan Badan Amil Zakat Nasional, Badan Amil Zakat Nasional Provinsi, dan Badan Amil Zakat Nasional Kabupaten/Kota, besaran tersebut tidak menyalahi aturan.

Bab IV Besaran Hak Amil Pasal 8 (1) Penerimaan Hak Amil dari dana Zakat paling banyak 12,5 persen dari penerimaan dana Zakat. (2) Dalam hal penerimaan hak amil dari dana Zakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mencukupi, biaya operasional dapat menggunakan alokasi dari dana infak/sedekah dan DSKL paling banyak 20 persen dari penerimaan dana infak/sedekah dan DSKL. (3) Penerimaan Hak Amil atau dana operasional dari Dana CSR disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun, berdasar act.id ACT adalah yayasan yang bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan. Disahkan oleh Kemenkum HAM lewat Surat Keputusan Nomor C-1714.HT.01.02.TH 2005 Tanggal 1 November 2005.

Serta mendapat izin beroperasi dari dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui surat nomor 155/F.3/31.74.04.1003/-1.848/e/2019 yang berlaku sampai dengan 25 Februari 2024.

ACT juga telah memiliki izin PUB (Pengumpulan Uang dan Barang) dari Kementerian Sosial melalui Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 239/HUK-UND/2020 untuk kategori umum dan nomor 241/HUK-UND/2020 untuk kategori Bencana, izin tersebut selalu diperbaharui setiap 3 (tiga) bulan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia.

Peluncuran Program Makan Gratis ACT di saat pandemi COVID-19. (ACTNews/Gina Mardani)

Alhasil, pedomannya antara lain mengacu ke aturan Kementerian Sosial. Jelas, dalam aturan Kemensos besaran 13,7 persen menyalahi aturan.

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan Pasal 6 (1) Pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10 persen dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan.

Pasal (2) Hasil pendapatan pengumpulan sumbangan tersebut dalam Pasal 5 demikian pula dengan jumlah uang yang disumbangkan, dengan izin Menteri Keuangan dapat dibebaskan dari pajak dan pungutan-pungutan lainnya.

Pasal (3) Pelaksanaan ketentuan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.

Sebagai yayasan, ACT juga terikat dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.

“Pasal 5 (1) Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas.

(2) Pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan: a. bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas; dan b. melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh.

(3) Penentuan mengenai gaji, upah, atau honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan oleh Pembina sesuai dengan kemampuan kekayaan Yayasan.

Pelanggaran terhadap UU tersebut dapat dijerat dengan sanksi pidana berupa penjara paling lama 5 tahun. Organ yayasan yang melanggar juga dapat dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang, atau kekayaan yayasan yang dialihkan dan dibagikan (Pasal 70 UU Yayasan).

Apapun keputusannya nanti, benar atau salahnya jangan sampai kasus ini menimbulkan public distrust terhadap lembaga-lembaga filantropi lain. Jangan sampai juga kasus ini mengarah ke agama. Hanya karena ulah oknum, kepercayaan orang terhadap agama luntur.