Bagikan:

JAKARTA - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, ada 176 temuan diduga menyelewengkan dana serupa Aksi Cepat Tanggap (ACT).

Temuan tersebut sudah dilaporkan ke Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini dalam bentuk dokumen. PPATK juga menyerahkan dokumen terkait kepada Badan Reserse Kriminal (Bareskrim).

Menanggapi hal itu, Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PKB MF Nurhuda Yusro, menyebut kasus ACT seperti fenomena gunung es.

"Sejak awal, PKB katakan, kasus ACT seperti gunung es. Di mana kelihatan besar, namun sebetulnya ada begitu banyak yang tak terungkap," kata Nurhuda, Jumat, 5 Agustus.

Menurutnya, langkah Kementerian Sosial (Kemensos) untuk menggandeng PPATK untuk mengawasi lembaga filantropi sudah tepat. Kata dia, seharusnya Kemensos bukan sekadar memberi izin, tapi harus punya kewenangan melakukan pengecekan.

"Harus ada kerja sama dengan pihak lainnya. Kemitraan dengan PPATK menjadi bagian penting untuk dilakukan karena harus dicek, apakah Kemensos menjadi lembaga yang cukup pemberi izin tanpa punya kewenangan menyelidiki detail? Kalau mereka nggak punya kewenangan kan menjadi lambat," katanya.

Sementara, Anggota Komisi VIII DPR Fraksi PDIP Diah Pitaloka mengatakan masalah serupa ACT sudah terjadi sebalik Risma menjabat, bahkan sudah sejak 10 tahun lalu.

"Ini bukan hanya masalah Kemensos, tapi sudah panjang. Jadi bukan saat zaman Bu Risma (Mensos Tri Rismaharini), sebelumnya juga. Jadi terakumulasi, mungkin lebih dari 10 tahun," ujar Diah Pitaloka kepada wartawan, Jumat, 5 Agustus.

Menurut politikus PDIP itu, Kementerian Sosial (Kemensos) harus membangun sistem pengawasan baru terhadap lembaga filantropi. Sebab kata Diah, sistem yang ada saat ini sudah harus dievaluasi.

"Itu dimonitor nggak? Sekretariatnya, penyaluran ke mana, harusnya ada membangun mekanisme audit dan ada sanksi kalau misal ditemukan persoalan. Lembaga ini harus dibangun sistem monitoring," katanya.

Diah juga mengingatkan, lembaga filantropi harus transparan. Menurutnya, jumlah uang yang dikumpulkan dan penyalurannya harus diketahui publik.

"Pertama akuntabilitas, dibikin transparan. Kedua publik harus tahu disalurkan ke mana, kalau terbuka itu bisa monitor. Kemensos bisa menentukan lembaga ini kredibel dan tidak, dari laporan terbukanya kepada publik," ucapnya.

Diah pun menyarankan agar Kemensos membuat divisi khusus untuk mengawasi lembaga filantropi. Namun, dia mengingatkan agar tak ada praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pengawasan lembaga filantropi itu.

"Kita berharap Kemensos bangun satu divisi untuk monitor, memang orang takut karena menjadi lembaga super power. Hasil monitor dilaporkan ke publik. Penyakit orang kita kalau monitor, KKN lagi. Jangan sampai terjadi lagi," tandasnya.