Permasalahan yang Mengiringi Pengesahan Pemekaran Provinsi Papua Harus Segera Dibereskan
Wajah-wajah ceria anak-anak di Papua. (Unsplash/Vika Chartier)

Bagikan:

JAKARTA – DPR RI akhirnya menyepakati penambahan tiga provinsi baru di Papua. Dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-26 masa sidang V Tahun Sidang 2021-2022 di Gedung DPR RI Senayan pada Kamis 30 Juni lalu, Rencana Undang-Undang (RUU) pemekaran Papua disetujui. Ketiga provinsi baru tersebut adalah Papua Tengah, Papua Pegunungan Tengah, dan Papua Selatan.

Dikutip dari situs DPR RI, pemekaran daerah di Papua didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 106 Tahun 2021 Pasal 93 tentang kewenangan dan kelembagaan pelaksanaan kebijakan Otonomi Khusus Papua. Ditujukan untuk mempercepat pemerataan pembangunan, mempercepat pelayanan publik, serta mempercepat kesejahteraan masyarakat dan mengangkat harkat Orang Asli Papua.

Aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial budaya, kesiapan SDM, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang dan aspirasi masyarakat Papua adalah hal yang akan sangat diperhatikan.

Papua Tengah direncanakan beribu kota di Timika, Papua Pegunungan Tengah di Wamena, sedangkan Papua Selatan memiliki ibu kota Merauke.

Jayapura, ibu kota Provinsi Papua saat ini dilihat dari ketinggian Bukit Jayapura City Tower. (Unsplash)

“Pemekaran adalah salah satu upaya untuk memberikan pelayanan lebih dekat kepada masyarakat. Artinya kalau dibagi wilayahnya, pelayanannya, koordinasinya lebih dekat dengan masyarakat. Ini tujuannya untuk lebih mudah melayani masyarakat dalam rangka menyejahterakan. Kalau pelayanannya terlalu jauh dalam satu provinsi, itu pelayanannya kurang optimal,” ujar Wapres Ma’ruf Amin seperti dikutip Antara, saat melakukan kunjungan kerja ke Mataram, NTB pada 30 Juni.

Papua Tengah yang memiliki nama lokal Meepago, dengan ibu kota Timika nantinya akan meliputi enam kabupaten. Keenam kabupaten tersebut adalah Mimika, Paniai, Dogiyai, Deyiai, Intan Jaya, dan Puncak.

Papua Pegunungan Tengah yang memiliki nama lokal Lapago dengan ibu kota Wamena, melingkupi delapan kabupaten. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah Nduga, Jayawijaya, Puncak Jaya, Memberamo Tengah, Lanny Jaya, Tolikara, Yahukimo, dan Yalimo.

Terakhir Papua Selatan yang mempunyai nama lokal Anim Ha dengan ibu kota Merauke, meliputi empat kabupaten. Keempat kabupaten yang nantinya masuk Papua Selatan adalah Boven Digoel, Merauke, Mappi, dan Asmat.

Keragaman Suku dan Potensi Kerusuhan

Rencana pemekaran Papua dengan tambahan tiga provinsi sudah mengemuka sejak awal 2000. Pada tahun 2007 rencana terealisasi sebagian, ditandai dengan kelahiran Provinsi Papua Barat dengan ibu kota Manokwari pada 18 April tahun tersebut.

“Secara ide dan gagasan pemekaran tiga daerah Papua ini cukup lama. Kita sudah memperjungkan pemekaran di selatan itu sejak 2002. Artinya sudah 20 tahun yang lalu. Dari dokumen yang kita baca, sebenarnya aspirasi pemekaran ini muncul dari beberapa kepala daerah termasuk Pak Gubernur Lukas Enembe yang pernah menjadi Ketua Asosiasi Kepala Daerah. Dia pernah menyampaikan aspirasi pemekaran Papua,” ujar Ahmad Doli Kurnia, Ketua Komisi II DPR RI pada 28 Juni 2022, seperti dikutip dari situs DPR RI.

Meskipun disebut-sebut sebagai hasil aspirasi rakyat Papua, rencana pemekaran menjadi tiga provinsi bukan tidak mendapatkan tentangan. Di Papua setidaknya ada 255 suku. Masing-masing suku memiliki bahasa dan kebudayaan masing-masing. Jadi dapat dibayangkan kesulitan yang harus dihadapi untuk menyatukan ke-255 suku tersebut dalam satu kultur Papua.

Beberapa suku besar di Papua yang dikenal adalah Asmat, Dani, Amungme, dan Muyu. Selain keempat suku besar yang sudah dikenal luas tersebut, masih ada Kamoro, Moskona, Nafri, Empur, Ayamaru, Biak, Hatam, dan banyak lagi.

Masyarakat Papua dalam busana dan aksesori tradisional mereka. (Unsplash)

Menentukan ibu kota ketiga provinsi baru di Papua saja sudah tidak mudah. Soal ibu kota Papua Tengah misalnya, masih ada pertentangan antara memilih Timika atau Nabire. Timika saat ini adalah ibu kota Kabupaten Mimika, sedangkan Nabire ibu kota Kabupaten Nabire.

“Mimika adalah dapur dunia, mendatangkan pendapatan terbesar bagi NKRI. Mengapa kami selalu dianak tirikan? Bapak Presiden harus paham itu. Kekayaan Mimika cukup banyak, layak untuk menjadi ibu kota,” kata Yohanes Kum, tokoh dari Suku Amungme dalam orasi di DPRD Mimika pada 30 Juni lalu, seperti dikutip Timika Express.

Sebelumnya Nabire yang pertama direncanakan menjadi ibu kota Provinsi Papua Tengah. Namun penunjukkan wilayah yang memiliki dua suku terbesar Yerisyam dan Wate itu ditentang Mimika, yang punya dua suku besar Amungme dan Kamoro. Bahkan ada ancaman penutupan Freeport jika Timika tidak dijadikan ibu kota Provinsi Papua Tengah.

Bukan kali saja pertentangan soal Timika atau Nabire terjadi. Pada 2003 ketika wacana pemekaran Papua mengemuka, demonstrasi di Timika sampai memakan tujuh korban jiwa.

Masalah Partisipasi Masyarakat

Pembentukan tiga provinsi Papua bagi beberapa pihak juga dipandang masih memiliki ganjalan berkaitan dengan partisipasi masyarakat. Seperti yang diungkapkan Emanuel Gobay, Direktur LBH Papua seperti dikutip Voice Of America pada 30 Juni.

“Sekalipun sudah disahkan, tapi sampai hari ini jelas tidak ada aspirasi dari masyarakat yang diambil oleh legislative dalam perumusan itu. Kemarin kami lihat ketika DPR RI ke Papua, melakukan jaring pendapat di Merauke dan Jayapura yang bertemu hanya kepala daerah dan DPRD, sementara masyarakat tidak ada,” ujar Gobay.

Menurut Gobay, perumusan soal pemekaran Papua terkesan hanya dilakukan oleh segelintir elite kekuasaan. Dalam pandangannya, prinsip Indonesia sebagai negara hukum seakan tidak diterapkan di Papua.

“Terkesan dirumuskan secara sepihak oleh pusat, dan disahkan pula secara sepihak oleh pusat. Dan itu dilakukan tidak sesuai dengan mekanisme perumusan perundang-undangan, dan juga pada saat kondisi hukum atributifnya masih proses di MK, dan belum ada kebijakan pencabutan moratorium DOB di Indonesia,” ujar Gobay menambahkan.

Demonstrasi penolakan pemekaran Provinsi Papua di Jayapura pada 8 Maret 2022. (Antara)

Jauh sebelum disahkan menjadi RUU, pada awal 2008 Barnabas Suebu yang merupakan Gubernur Papua saat itu mengatakan bahwa konsep pemekaran wilayah yang digagas dia ibaratkan sebagai dagelan yang tidak lucu.

“Kita tetap konsen bahwa yang pertama adalah grand design dulu, yaitu grand design jangka panjang sebab penduduk itu bukan batu. Dia akan berpindah,” ujar Barnabas pada 31 Januari 2008, seperti dikutip dari laman papua.go.id.

Barnabas yang pernah menjadi Dubes RI untuk Meksiko, Honduras, dan Panama menjelaskan bahwa saat pemekaran terjadi di gunung, yang terjadi bukanlah penambahan jumlah penduduk di tempat itu melainkan penurunan.

“Di Jayapura terjadi penambahan penduduk luar biasa. Kalau begitu, kita bikin kabupaten untuk siapa? Itu yang kita sebut grand design. Karena kita harus menghitung arah penduduk akan bergerak dari mana ke mana. Itu yang mengikuti pemekaran. Pemekaran mengikuti pertumbuhan ekonomi dan perkembangan penduduk,” kata Barnabas lagi, saat itu.

Di mata Barnabas yang pada 19 November 2015 divonis 4,6 tahun oleh Pengadilan Tipikor akibat korupsi PLTA Memberamo, usulan pemekaran Papua hanya demi kepentingan segelintir elite politik.

“Ini ada kepentingan elite. Bupati yang mau selesai dia bikin kabupaten di sebelah, supaya bisa pindah ke sebelah. Atau mau jadi gubernur, sehingga perjuangkan pemekaran,” katanya lagi.

Daerah Otonom Gagal

Hal lain yang dikhawatirkan masyarakat soal pemekaran Papua adalah kegagalan pengelolaan. Dikhawatirkan cita-cita menjadikan provinsi baru di Papua tersebut menjadi daerah otonom akan gagal. Dan sebaliknya, justru akan semakin membebani keuangan negara karena ketergantungan yang tinggi pada APBN.

Seperti yang diungkapkan Djohermansyah Djohan, mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri. Dalam wawancana dengan BBC Indonesia, Djohermansyah yang juga pernah menjabat sebagai Pjs Gubernur Riau 2013-2014 memandang bahwa persiapan Papua Tengah, Papua Pegunungan Tengah, dan Papua Selatan untuk menjadi daerah otonom tidaklah cukup.

Menurut Djohermansyah, untuk menjadi daerah otonom yang berhasil, ketiga provinsi baru itu harus sudah mandiri secara ekonomi. Kemandirian ekonomi itu diperlukan untuk pembiayaan pemerintahan, dan dana yang diperlukan harus diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).

“Akibatnya akan ada dana bantuan dari pemerintah pusat. Kalau enggak lancar dana bantuan dari pemerintah pusat, maka tentu saja daerah otonom itu tidak bisa berjalan dengan baik,” ujar Djohermansyah.

Salah satu Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua dari faksi pimpinan Lekagak Telenggen. (Antara)

Sarana, prasarana, dan batas-batas wilayah juga sudah harus disiapkan dengan benar, sehingga tujuan pelayanan masyarakat dapat tercapai dan tidak terjadi konflik wilayah. Jika semua syarat tersebut belum terpenuhi, maka dikhawatirkan ketiga provinsi baru di Papua itu akan menambah panjang daftar dearah otonom gagal di Indonesia.

Mengutip data Kemendagri dan Bappenas pada 2014, Djohermansyah mengatakan bahwa sebanyak 80 persen daerah otonomi baru yang dibentuk pascareformasi 1998 hingga 2004 yang berjumlah 223 daerah gagal total. Kegagalan itu disebabkan ketidaksiapan daerah otonomi baru bersangkutan, dan pembentukannya lebih dipicu kepentingan politis.

“Perlu masa persiapan setidaknya tiga tahun. Kalau langsung provinsi otonom, bisa saja nanti persiapan kurang baik. Misalnya pelayanan publik jadi menurun, karena yang tadinya provinsi induk jadi tidak bisa. Pembiayaan pemerintahannya juga jadi tidak stabil. Ujung-ujungnya jadi daerah otonom gagal,” kata Djohermansyah.

Satu lagi yang perlu diperhitungkan tentu saja aksi teror. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, atau yang sering disebut sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), sudah mengeluarkan ancaman bahwa mereka akan terus melakukan aksi kekerasan jika pemekaran Papua direalisasikan. Nah!