Konservasi Dua Juta Batu Penyusun Candi Borobudur Tidak Murah, tapi Tiket Dikatrol Supermahal Bukanlah Keputusan Tepat
Candi Borobudur difoto pada tahun 2013. Kenaikan tiket kunjungan ke situs ini yang bakal dinaikkan sangat mahal mengundang kontroversi. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Pengumuman kenaikan harga tiket Candi Borobudur oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan pada 4 Juni lalu sebesar Rp750 ribu bagi turis domestik dan 100 dolar AS untuk turis asing langsung mengundang kontroversi. Angka tersebut dinilai terlalu mahal, walaupun sebenarnya biaya konservasi bangunan cagar budaya setinggi 35,40 meter yang disusun dari dua juta potong batu di atas bukit tanah urukan tersebut juga tidak murah.

Alasan yang ditonjolkan untuk menaikkan harga tiket naik ke Candi Borobudur adalah demi konservasi. Diharapkan lewat tiket yang mahal, kerusakan Borobudur akibat kepadatan kunjungan wisatawan dapat diminimalisasi. Otomatis dengan tiket mahal, pengunjung akan terseleksi. Hanya wisatawan yang benar-benar ingin menikmati seluk beluk Borobudur, yang memiliki 10 tingkat dengan 1.460 relief cerita dan 1.212 panil dekoratif bisa naik hingga puncaknya.

“Kami juga sepakat dan berencana untuk membatasi kuota turis yang ingin naik ke Candi Borodubur sebanyak 1200 orang per hari, dengan biaya 100 dollar untuk wisman dan turis domestik sebesar 750 ribu rupiah. Khusus untuk pelajar, kami berikan biaya 5000 rupiah saja. Sedangkan untuk masuk ke Kawasan Candi akan tetap mengukuti harga yang sudah berlaku. Langkah ini semata-mata kami lakukan demi menjaga kelestarian kekayaan sejarah dan budaya nusantara,” begitu pengumuman dari Luhut, yang diunggah dalam akun Instagram @luhut.pandjaitan.

Deretan stupa Candi Borobudur dengan latar belakang Gunung Merapi. (Wikimedia Commons)

Ditambahkan juga bahwa semua turis yang naik ke Candi Borobudur harus menggunakan pemandu wisata, yang merupakan warga lokal sekitar kawasan candi. Itu demi penyerapan lapangan kerja, sekaligus menumbuhkan perasaan memiliki terhadap kawasan cagar budaya tersebut.

Penyebab Kerusakan Borobudur

Sejak ditemukan oleh Sir Thomas Stanford Raffles pada 1814, Candi Borobudur sudah dua kali dipugar. Pemugaran pertama dilakukan oleh Theodoor van Erp, tentara Belanda yang juga seorang insinyur dan sangat antusias terhadap dunia kepurbakalaan. Empat tahun diperlukan Van Erp untuk memugar reruntuhan Borobudur, yaitu pada 1907 hingga 1911.

Pemugaran kedua dilakukan atas inisitiatif Pemerintah Indonesia lewat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef. Indonesia bekerja sama dengan UNESCO memugar Borobudur selama 10 tahun, 1973-1983 hingga menampakkan bentuk yang dapat dinikmati saat ini. Pada 1991, Candi Borobudur ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia dengan nomor C.592.

Sejak terakhir dipugar pada 1983 sudah jutaan orang menaiki candi berlatar belakang Agama Budha yang dibangun pada masa Dinasti Syailendra di abad  VIII-IX Masehi itu. Hilir mudik wisatawan dalam jumlah masif, sudah pasti mengakibatkan kerusakan pada beberapa bagian Candi Borobudur.

“Terutama di bagian tangga. Sejak dipugar terakhir kali pada tahun 1983, keausan batu di tangga Candi Borobudur sudah mencapai 4 cm. Kalau dibiarkan berlarut-larut, tentu akan mengakibatkan kerusakan yang semakin parah. Pada puncak liburan, misalnya saat Lebaran jumlah pengunjung yang menaiki Borobudur bisa tercatat 55 ribu orang dalam sehari,” ujar Wiwit Kasiyati, Kepala Balai Konservasi Borobudur kepada VOI.

Candi Borobudur setelah direstorasi oleh Theodoor van Erp. Chattra atau payung susun tiga di puncak stupa utama dihilangkan saat pemugaran oleh Pemerintah Indonesia karena tidak sesuai dengan bentuk aslinya. (Wikimedia Commons) 

Daya tampung Candi Borobudur saat tidak dalam proses pemeliharaan adalah 1.391 orang sekali kunjungan. Sedangkan saat dalam pemulihan atau proses pemeliharaan hanya 128 orang. Data 2017, pengunjung Borobudur dalam setahun mencapai 3.900.677 orang.

Beberapa metode pernah diterapkan untuk meminimalisasi tingkat keausan batu-batu Borobudur sebagai akibat lalu lalang pengunjung. Misal dengan menambahkan lapisan karet pada tangga sebagai bagian yang paling mudah aus.

“Namun cara itu justru membawa masalah baru, karena celah dari lapisan karet itu membuat debu-debu yang menyelip susah dibersihkan. Memang tidak mudah untuk menjaga kelestarian Borobudur. Membatasi jumlah pengunjung memang salah satunya, namun menaikkan harga tiket dengan sangat tinggi juga bukan pilihan terbaik,” kata Wiwit menambahkan.

Tangga menjadi bagian dari Candi Borobudur yang mengalami keausan paling parah akibat dilalui banyak orang. (Wikimedia Commons)

Balai Konservasi Borobudur sebagai bagian dari Direktorat Jenderal Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbusristek) tidak memberikan usulan soal penentuan tarif naik Borobudur. Seperti dikatakan Wiwit, mengutip siaran pers yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbudristek.

“Penetapan harga tiket itu merupakan kewenangan BUMN, dalam hal ini PT Taman Wisata Candi Borobudur. Pengumuman mengenai harga tiket disampaikan oleh Menko Kemaritiman dan Investasi seusai rapat pada 4 Juni 2022 di Borobudur. Kemdikbudristek diwakili oleh Direktur Pelindungan Kebudayaan dan Kepala Balai Konservasi Borobudur. Tapi kami tidak memberikan usulan harga tiket dalam kesempatan itu,” ujar Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemdikbudristek dalam siaran pers yang diterima VOI.

Anggaran Konservasi Borobudur

Anggaran konservasi Borobudur tidak murah. Menurut Wiwit, jumlahnya memang tidak pernah tetap namun fluktuatif menurut kebutuhan. Biaya konservasi Borobudur sepenuhnya dianggarkan dari APBN.

“Besaran angkanya tidak pernah tetap, tergantung kebutuhan. Namun kisarannya Rp13 miliar per tahun, itu sudah termasuk gaji ASN, honor satpam, pegawai honorer, perbaikan rutin, dan macam-macam. Tahun ini anggaran Balai Konservasi Borobudur mendapat tambahan Rp98 miliar dari Kementerian Keuangan sehingga totalnya Rp111 miliar. Naik banyak karena ada program pembelian alat-alat baru untuk laboratorium dan revitalisasi situs-situs di Kawasan Cagar Budaya Borobudur, yaitu pembebasan lahan dan penataan,” kata Wiwit lagi.

Petugas Balai Konservasi Burubudur membersihkan abu vulkanik sisa erupsi Gunung Merapi pada 2020. (Antara/Anis Efizudin)

Tidak ada korelasi antara tiket masuk Kawasan Candi Borobudur yang dikelola PT Taman Wisata Candi Borobudur dengan biaya konservasi bangunan candi. Jadi sebenarnya alasan lonjakan harga tiket hingga Rp750 ribu dan 100 dolar AS dengan urusan konservasi nggak nyambung, karena tak ada dana yang dikucurkan untuk konservasi atau perawatan Borobudur dari tiket masuk.

“Dahulu pernah ada kucuran dana dari tiket masuk untuk konservasi Borobudur, namun saya stop saat saya menjadi Kepala Balai Konservasi Borobudur karena susah dipertanggung jawabkan dan berpotensi menjadi temuan. Biaya konservasi Borobudur murni dari APBN, sementara uang tiket seharusnya masuk pos Pendapatan Negara Bukan Pajak,” kata Marsis Sutopo, Ketua Ikatan Ahli Akeologi Indonesia (IAAI) yang pernah menjadi Kepala Balai Konservasi Borobudur 2007-2017.

Regulasi Perlindungan Borobudur

Menurut Marsis, pemberlakuan tarif khusus untuk naik Borobudur sebenarnya baik karena sebagai filter agar orang tidak sembarangan naik ke candi. Tetapi kenaikan tersebut tetap harus disesuaikan dengan kemampuan wisatawan. Saat ini sudah ada 12 regulasi yang bersifat melindungi kelestarian Candi Borobudur dan kawasan sekitarnya. Tinggal memikirkan cara yang tepat agar regulasi tersebut sepenuhnya dipatuhi.

“Menaikkan harga tiket bukan satu-satunya cara untuk membatasi pengunjung. Bagaimana dengan pengunjung yang kurang mampu namun berminat besar untuk mengetahui Borobudur secara detail, sementara tiketnya mahal? Pembatasan bisa dengan pengaturan kunjungan atau shift. Memang tidak mudah untuk membatasi kunjungan dan mendisiplinkan pengunjung, namun harus mulai dilakukan. Bagaimanapun, Borobudur memiliki keterbatasan daya tampung,” kata Marsis menjelaskan.

Keputusan penundaan kenaikan tarif naik Candi Borobudur dinilai Marsis sudah tepat. Perlu kajian lebih mendalam berkaitan dengan penentuan tarif.

“Jangan-jangan karena tarif yang sangat mahal justru tidak ada wisatawan yang datang. Kalau untuk alasan konservasi, saya lebih setuju untuk mempercepat sarana dan prasarana pelestarian candi dan kawasannya ketimbang fokus ke urusan tiket. Terlebih, Borobudur akan dijadikan destinasi superprioritas,” kata Marsis yang pernah memandu Pangeran Charles dari Kerajaan Inggris saat mengunjungi Candi Borobudur pada 2008.

Sandal upanat, salah satu upaya konservasi Candi Borobudur dengan melibatkan pemberdayaan masyarakat sekitar. (Istimewa) 

Pemakaian alas kaki yang lunak juga menjadi saran pihak yang bertanggung jawab terhadap konservasi Candi Borobudur. Alas kaki lunak akan mencegah keausan batu-batu candi akibat dilalui banyak orang.

“Kami saat ini punya program pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan candi dengan memproduksi sandal upanat, atau sandal lunak. Itu sesuai dengan apa yang dipahatkan dalam relief Karmawibhangga panel 150, yang menggambarkan persembahan berupa alas kaki atau upanat. Sandal ini merupakan upaya konservasi berbasis pemberdayaan masayarakat yang dibuat oleh para perajin di Kawasan Borobudur,” kata Wiwit menambahkan.

Tiket mahal Candi Borobudur akan menjadi ironi, jika tidak berimbas langsung terhadap keberadaan bangunan bersejarah tersebut dan kehidupan masyarakat sekitarnya. Pada kenyataannya, Kecamatan Borobudur saat ini masih tercatat di urutan ketiga wilayah termiskin di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Padahal kawasan tersebut adalah penyumbang utama pendapatan daerah lewat pariwisata dengan Candi Borobudur sebagai magnet utama.