JAKARTA – Menjelang Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada 10 Juli mendatang, Indonesia dihebohkan dengan kemunculan penyakit pada ternak berkuku belah yang sebenarnya sudah lama menghilang dari Bumi Pertiwi, yaitu Penyakit Mulut dan Kuku atau yang disingkat PMK. Penyakit ini menjadi bahaya laten bagi peternakan, bahkan diperlukan waktu hingga 100 tahun bagi sebuah negara untuk benar-benar memberantasnya.
PMK di Indonesia kali ini mulai muncul pada awal Mei 2022. Diawali dari empat kabupaten di Jawa Timur, yaitu Lamongan, Sidoarjo, Gresik, dan Mojokerto. Masyarakat pun geger dengan kemunculan penyakit berbahaya yang disebabkan oleh virus tersebut.
"Kami telah mencegah masuknya ternak baru dan keluarnya ternak yang sakit, saya harap masyarakat tetap tenang dan tidak panic selling, InsyaAllah semua akan baik-baik saja," kata Yuhronur Efendi, Bupati Lamongan dalam pernyataannya di Lamongan, Selasa 10 Mei.
PMK cepat menyebar. Setelah Jawa Timur, kasus ternak yang mengalami gejala PMK dilaporkan ada di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Aceh, Jawa Tengah, DIY, Bangka Belitung, dan banyak lagi.
Potensi Kerugian
Menurut Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, dalam rapat dengan Komisi IV DPR RI pada 23 Mei lalu, penularan PMK terhadap hewan ternak di Indonesia sudah mencakup 15 provinsi.
“Data pelaporan sampai dengan 17 Mei telah terdeteksi PMK di 15 provinsi dan 52 kabupaten kota. Dengan total populasi ternak di 15 provinsi itu adalah 13,8 juta ekor, jumlah ternak yang terdampak adalah 3,9 juta ekor,” ujar Syahrul seperti dikutip Antara.
Menteri Pertanian yang juga mantan Gubernur Sulawesi Selatan itu menambahkan, bahwa jika tidak ditangani secara serius PMK akan menyebabkan kerugian besar.
“Potensi kerugiannya bisa mencapai Rp9,9 triliun per tahun, sebagai akibat dari penurunan produksi, kematian ternak, serta pelarangan dan pembatasan ekspor produk ternak dan turunannya,” ujar Syahril lagi.
Syahril juga menambahkan bahwa PMK hanya menyerang ternak sapi, domba, kambing, kerbau, dan babi. Penyakit ini sangat menular dengan persebaran cepat karena virus ditularkan melalui udara. Belum ada obat PMK, hanya saja pencegahan dapat dilakukan melalui vaksinasi.
“Namun demikian ternak yang terkena PMK tidak menular kepada manusia dan daging ternak yang tertular tetap dapat dikonsumsi oleh manusia dengan cara pemotongan yang ketat di RPH, dan organ terinfeksi harus dimusnahkan sesuai protocol kesehatan hewan yang ada,” kata Syahrul lagi.
Perlu 100 Tahun untuk Bebas PMK
Dikutip dari situs Perkumpulan Insinyur dan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), PMK merupakan penyakit hewan yang paling ditakuti di dunia. Sebab itu PMK dikelompokkan sebagai Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS). Beberapa jenis penyakit yang dikelompokkan ke dalam PHMS, antara lain: PMK, Antraks, Rabies, Salmonelosis, Bruselosis, Flu Burung, Flu Babi, dan Leptospirosis.
Rochadi Tawaf, Anggota Dewan Pakar ISPI dalam tulisannya 17 Mei 2022 memberikan contoh kerugian yang diderita dunia peternakan di Ingggris, saat wabah PMK melanda negeri tersebut pada 2001. Kerugian sektor peternakan mencapai 71 persen, bisnis hotel dan restoran 52 persen, pertanian 58 persen, perdagangan 47 persen, industri manufaktur 42 persen, transportasi 42 persen, bidang jasa 55 persen, finansial 23 persen, konstruksi 49 persen.
Tidak melulu kerugian ekonomi. Kerugian sosial juga diderita kalangan peternakan di Indonesia akibat PMK tahun ini. Melalui sebaran hoaks di media sosial, setelah kasus PMK ditemukan di Jawa Timur langsung beredar isu bahwa daging dan susu hewan ternak yang terinfeksi PMK tidak layak dikonsumsi. Rumor tersebut jelas bertentangan dengan yang disampaikan Menteri Pertanian di hadapan DPR RI.
“Berkaitan dengan outbreak PMK yang terjadi di Jawa Timur pada awal Mei 2022, pupuslah harapan Indonesia untuk meraih swasembada daging sapi 2026 dan menjadi lumbung ternak Asia 2045. Pasalnya berdasarkan analisis tersebut di atas dan pengalaman yang terjadi, untuk terbebas dari PMK membutuhkan waktu yang panjang (100 tahun),” tulis Rochadi.
Dipicu Perubahan Aturan
PMK mulai dikenal di Indonesia pada 1887, dengan kasus pertama di Malang, Jawa Timur. Setelah itu penyakit mematikan bagi hewan ternak ini menyebar ke seluruh Indonesia. Wabah terbesar PMK terjadi pada 1983, juga dimulai dari Jawa Timur seperti yang ada saat ini. Perlu waktu tiga tahun untuk mengendalikan wabah PMK tahun 1983, hingga pada 1986 dideklarasikan bahwa Indonesia bebas PMK.
Melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 260/Kpts/TN.510/5/1986, deklarasi bahwa Indonesia bebas PMK digaungkan. Dunia pun mengakui bahwa Indonesia bebas PMK tanpa perlu vaksinasi pada 1990, lewat Resolusi Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) Nomor XI Tahun 1990.
Hingga saat ini diketahui terdapat tujuh tipe PMK, yaitu: Oise (O), Allemagne (A), German (G), South African territories 1 (SAT 1), SAT 2, SAT 3, dan Asia 1. Dikutip dari artikel Tim Satgas Pengendalian PMK Universitas Diponegoro, dari ketujuh varian PMK tersebut masing-masing berbeda secara imunologis. Wabah PMK 1983 di Indonesia hanya disebabkan oleh varian O. PMK yang berkembang saat ini belum diketahui dari varian apa.
Secara umum, virus PMK berukuran rata-rata sekitar 20 milimikron dan tidak memiliki lapisan lemak. Sebab itu virus penyebab PMK sangat sulit dibasmi dengan disinfektan yang bekerja dengan cara melarutkan lemak.
“Sesungguhnya seluruh analisis prediksi dampak kerugian yang akan terjadi tersebut, jauh-jauh hari sudah diingatkan para tokoh senior peternakan dan asosiasi peternak rakyat pada saat perubahan UU PKH No.6/1967 menjadi UU No.18/2009. Konsep dasar mengenai sekuriti maksimum (country based) perlindungan terhadap kemungkinan masuknya penyakit hewan ke negeri ini yang dibah menjadi zona wilayah (zone based),” tulis Rochadi.
Silang pendapat lantas terjadi hingga dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). MK lewat surat keputusan Nomor 137/PUU-VII/2009 akhirnya menetapkan bahwa perlindungan terhadap penularan penyakit hewan ke Indonesia tetap menganut pada country based atau berdasarkan negara, bukan berdasarkan zona.
Tetapi perubahan kembali terjadi pada 2014 ketika Pemerintah Indonesia dan DPR memberlakukan UU No.18/2009 yang memakai dasar zonasi untuk perlindungan penyakit hewan ternak, bukan dasar negara. Perubahan aturan ini didukung oleh MK dengan surat keputusan Nomor 129/PUU-XIII/2015, yang melegalkan impor ternak dan produk turunannya dari negara lain yang menganut dasar zonasi.
Perubahan aturan inilah yang menurut Rochadi menyebabkan Indonesia boleh mengimpor ternak dan produk turunannya dari India pada 2016. Padahal India adalah negara yang belum dinyatakan bebas dari PMK oleh OIE. Dari kebijakan pelonggaran impor ternak dan produk turunannya inilah, PMK kembali muncul di Indonesia setelah dinyatakan bebas sejak 1986.
Kini status Indonesia oleh OIE bukan lagi dikategorikan sebagai negara yang bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) tanpa vaksinasi. Konsekuensi yang harus ditanggung tentu keruwetan jika Indonesia harus melakukan perdagangan ternak dan produk turunannya dengan negara lain.
BACA JUGA:
Namun pendapat bahwa impor daging dari India adalah pemicu kemunculan kembali Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di Indonesia dibantah oleh Direktur Utama Bulog, Budi Waseso.
"PMK tidak ada kaitannya dengan daging kerbau impor. Karena daging tersebut begitu sampai di Indonesia tidak bisa langsung jual karena ada pemeriksaan laboratorium, begitu layak konsumsi baru diedarkan," kata Budi Waseso dalam konferensi pers yang dihadiri VOI, di Kantor Pusat Perum Bulog, Selasa, 10 Mei.
Pastinya saat silang pendapat terus terjadi, Penyakit Mulut dan Kuku atau PMK kembali mewabah di Indonesia. Masyarakat sudah terlanjur rugi.