Jangan Isi Mobil Anda dengan BBM Bersubsidi Hanya untuk Alasan Berhemat
Ilustrasi stasiun pompa bahan bakar umum (SPBU) yang menyediakan bbm bersubsidi maupun tidak bersubsidi. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Masalah BBM bersubsidi kembali mengemuka setelah ada pernyataan dari Sekjen Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto pada 30 Mei 2022 soal regulasi baru pemerintah tentang BBM berharga murah tersebut. Regulasi baru pemerintah berupa Peraturan Presiden (Perpres) itu nantinya akan mengatur kenaikan harga minyak dunia dan peralihan konsumen dari BBM non subsidi ke bersubsidi akibat disparitas harga.

Saat ini dua jenis BBM yang beredar di masyarakat dengan subsidi Pemerintah Indonesia adalah Pertalite dan Bio solar. Pertalite saat ini dijual seharga Rp7650/liter, sementara Bio Solar Rp5150/liter.

"Di dalam Perpres tersebut tidak hanya BBM jenis Pertalite yang akan disempurnakan, satu lagi yang lebih krusial BBM jenis solar karena solar masih disubsidi meskipun subsidi per liter, tetapi harganya masih sangat murah kalau dibandingkan dengan solar nonsubsidi," ujar Djoko dikutip Antara, Senin 30 Mei.

Kenaikan harga BBM non subsidi yang meroket memang memicu migrasi konsumen. Pengguna Pertamax misalnya, yang semula ada di kisaran Rp9700 tiba-tiba melonjak ke Rp12500. Otomatis pengguna Pertamax berbondong-bondong pindah ke Pertalite, meskipun nama terakhir berkualitas lebih rendah.

Ilustrasi sebuah sedan mewah BMW yang diisi BBM bersubsidi jenis Pertalite. (rockomotif.com)

Atau pengguna mobil bertenaga diesel modern yang dituntut untuk diisi BBM minimal sekualitas Dexlite yang semula seharga Pertamax, namun melonjak hingga Rp13000. Mereka juga beramai-ramai pindah ke Bio Solar, yang jauh lebih murah.

Kondisi migrasi pengguna Pertamax ke Pertalite atau Dexlite ke Bio Solar itu membuat beban keuangan Pertamina semakin berat. Perusahaan terpaksa meningkatkan impor bensin dengan harga tinggi hingga 50 persen, sementara harga jual produk tidak sesuai dengan harga perekonomian.

Djoko mengatakan bahwa Bio Solar adalah prioritas utama yang akan diatur pemerintah lewat Perpres baru. Alasannya, karena BBM jenis ini tidak hanya dipakai kendaraan bermotor namun juga industri manufaktur, pertambangan, perkebunan, hingga perkapalan.

Tidak Mudah Mengubah Mental

Migrasi besar-besaran dari Pertamax ke Pertalite atau Dexlite ke Bio Solar sudah diprediksi sebelum pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM non subsidi pada April lalu. Kuota BBM bersubsidi akan melonjak, mengakibatkan beban APBN pun membengkak.

Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri pernah menyarankan pada Maret lalu bahwa pemerintah sebaiknya memberikan subsidi tepat sasaran, yaitu masyarakat kurang mampu. Memberikan subsidi kepada barang bagi Chatib bukan pilihan tepat.

Aturan baru boleh diterbitkan, namun memaksa masyarakat untuk mematuhinya tidak  ikut semudah membalikkan telapak tangan. Melarang pemilik mobil mewah mengisi kendaraannya dengan BBM bersubsidi bukan perkara mudah.

Sudah jamak terlihat di SPBU mobil-mobil keluaran terbaru dengan kapasitas silinder di atas 2000 cc, ikut mengantre Pertalite atau Bio Solar bersama kendaraan angkutan umum. Padahal imbauan agar masyarakat golongan mampu tidak ikut-ikutan mengantre BBM bersubdisi berkali-kali diserukan. Toh tidak ada perubahan signifikan pada perilaku konsumen BBM di Indonesia. Apapun risikonya, yang penting murah.

Bukan Pilihan Tepat Berhemat

Pada mobil-mobil keluaran terbaru selalu dituliskan kadar oktan yang disarankan dalam BBM. Umumnya kadar oktan yang dianjurkan adalah 92, yang mengacu pada Pertamax. Namun tetap saja orang nekat mengisi tanki dengan bensin beroktan 90 atau Pertalite, bahkan ada yang dengan oktan 89 atau sekelas Premium.

Jika konsumen memilih menurunkan kualitas BBM yang diisikan ke dalam tanki mobilnya dengan alasan penghematan uang, justru yang terjadi sebaliknya.

Mungkin saat ini 90 persen mobil di Indonesia bisa berjalan dengan bensin beroktan 90 atau kurang. Namun mengisi tanki bensin mobil-mobil berteknologi terbaru dengan bensin sekelas Pertalite adalah kekeliruan.

“Pabrikan sebenarnya sudah merekomendasikan minimal oktan bahan bakar yang bisa digunakan. Misal jika oktan disarankan 92 namun malah diisi 90, nantinya akan menimbulkan efek pada mesin. Efek yang umum dijumpai tentu saja yang biasa disebut mesin ngelitik,” kata Dicky Setiawan, mantan pebalap motor nasional kepada VOI, Senin 30 Mei.

Mobil dinas pemerintah bakal dilarang untuk diisi dengan jenis BBM bersubsidi. (Antara)

Mesin-mesin mobil modern sudah dilengkapi sensor ngelitik. Ketika mobil diisi bensin dengan oktan lebih lebih rendah dari saran pabrik, maka sensor akan memundurkan waktu pengapian. Saat sensor memundurkan pengapian, maka pembakaran di dalam mesin pun menjadi tidak sempurna.

Pengapian yang tidak sempurna akan mengakibatkan penumpukan kerak karbon. Jika semakin lama gejala ngelitik dibiarkan, maka akan mempercepat keausan mesin mobil. Migrasi dari Pertamax ke Pertalite juga mengakibatkan penggunaan BBM menjadi lebih boros, karena pengemudi akan cenderung menekan gas lebih sering dan dalam demi mendapatkan tenaga yang diharapkan.

Secara keseluruhan, migrasi ke BBM bersubsidi yang dilakukan masyarakat golongan ekonomi mampu adalah merugikan. Selain merugikan diri sendiri dengan mobil yang lebih cepat rusak, juga menyebabkan negara rugi karena pembengkakan APBN untuk subsidi yang tidak tepat sasaran.