JAKARTA - Formula E 2022 seri Jakarta semakin mendekati hari H. Ajang balap mobil listrik jenis single seater open wheel itu akan digelar di Ancol pada 4 Juni mendatang. Sebuah sirkuit baru sudah dibangun, khusus untuk gelaran Formula E Jakarta, yang merupakan seri ke-9 dari seluruh seri tahun ini yang berjumlah 16.
Sebelum Jakarta, balap Formula E 2022 sudah digelar di Diriyah (Arab Saudi/2 seri), Mexico City (Meksiko), Roma (Italia/2 seri), Monako, dan Berlin (Jerman/2 seri). Usai geber-geberan di Jakarta, Formula E akan terbang ke Afrika Utara dalam seri Marrakesh (Maroko), New York (AS/2 seri), London (Inggris/2 seri), dan Seoul (Korsel/2 seri).
Formula E yang lahir dari ide crazy rich asal Spanyol berdarah Aljazair, Alejandro Agag (51 tahun), diboyong Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat berkunjung ke New York pada 13 Juni 2019. Semula, Formula E Jakarta direncanakan digelar pada 2020. Namun karena pandemi COVID-19, rencana diundurkan hingga ketemu jadwal pada 4 Juni.
Rencana pergelaran Formula E Jakarta begitu hiruk pikuk. Kupasannya dari bermacam sisi mulai ekonomi, teknologi, sampai politik yang dikaitkan dengan rumor pencalonan Anies sebagai Calon Presiden Indonesia 2024.
“Hadirnya Formula E di Jakarta sejalan dengan upaya Presiden Jokowi dalam mengurangi ketergantungan Indonesia pada energi konvensional, dan beralih pada energi ramah lingkungan," kata Anies dalam akun Instagram pribadinya, @aniesbaswedan pada Sabtu 16 Oktober 2021.
Presiden Jokowi sudah meninjau persiapan Formula E Jakarta dengan mengunjungi Jakarta International E-Prix Circuit (JIEC), sirkuit yang baru dibangun di Ancol. Jokowi didampingin Anies dalam peninjauan sirkuit tersebut.
"Saya ingin melihat persiapan Formula E seperti apa di lapangan. Untuk trek balapannya sudah siap, kemudian yang dikejar tinggal paddock dan grandstandnya. Masih ada waktu habis lebaran dan kita harapkan di awal Juni kita bisa melihat balapannya," kata Jokowi usai meninjau Sirkuit Formula E Jakarta, 25 April lalu seperti dikutip Antara.
Dari sudut pandang pembalap mobil, ajang Formula E Jakarta disambut dengan suka cita. Ajang ini diharapkan mampu mempromosikan Indonesia ke mata dunia.
“Ini salah satu event otomotif internasional yang besar di dunia. Semoga bisa mempromosikan Indonesia ke mata dunia dan memberi dampak positif terhadap kemajuan pariwisata dan ekonomi,” ujar Rio Haryanto, pembalap F1 pertama Indonesia kepada VOI pada 20 Mei.
Rio menjajal mobil balap Formula E di Valencia pada 3 Oktober 2017. Saat itu dia diundang oleh Agag, sang kreator Formula E yang pernah menjadi boss tim GP2 Addax. Ketika masih membalap di GP2, Rio pernah bergabung dengan Addax.
Sejarah Mobil Listrik
Mobil listrik sebenarnya sudah ditemukan lebih dari 200 tahun lalu. Bahkan sudah lebih awal ketimbang mobil bertenaga diesel. Seorang pastor asal Hungaria yang jenius, Anyos Jedlik, pada 1828 bereksperimen membuat mobil kecil yang ditenagai baterai. Karya Jedlik itu lah yang diakui sebagai mobil listrik pertama.
Pada awal abad 20, mobil listrik sebenarnya sudah mencapai 1/3 jumlah mobil di dunia, namun booming minyak bumi membuat produsen beralih ketertarikan. Kendaraan berbahan bakar minyak bumi dengan ongkos produksi dan operasional yang jauh lebih murah, lebih diminati. Mobil bertenaga listrik pun semakin tersingkir.
Agar mobil ide soal listrik tidak mati, beberapa produsen mobil berusaha mengembangkan konsep hibrida. Inti konsep ini mengombinasikan pemakaian listrik dan minyak untuk memberi tenaga pada mobil. Insinyur otomotif ternama asal Jerman, Ferdinand Porsche adalah pencipta konsep mobil hibrida lewat mobil Semper Vivus pada 1901.
Promosi mobil listrik yang diklaim sebagai alat transportasi masa depan ramah lingkungan memang sedang gencar saat ini. Kemunculan pabrik-pabrik mobil listrik sampai pada tingkat mengesankan, seakan-akan inilah moda transportasi masa depan yang ideal.
Tidak Sepenuhnya Ramah Lingkungan
Berkaitan dengan penyelenggaraan Formula E Jakarta, Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria mengatakan bahwa itu adalah komitmen Pemprov DKI Jakarta untuk mengimplementasikan program Jakarta Langit Biru.
“Kegiatan ini bukan hanya kegiatan lomba Formula E, tapi sesungguhnya ini bentuk komintmen kami, kita semua terhadap program Langit Biru. Jadi, kita ingin udara kita ini bersih, sehat, salah satunya nanti menggunakan mobil listrik,” kata Riza di Balai Kota DKI Jakarta, 11 Mei lalu kepada VOI.
Dikutip dari situs Engineerine.com, ada pendapat bahwa mengedepankan mobil listrik untuk kampanye ramah lingkungan sebenarnya kurang tepat. Jika soal ramah lingkungan hanya dikaitkan dengan emisi gas buang, memang benar. Mobil listrik tidak menghasilkan gas buang, namun menghasilkan polutan lain yaitu sampah baterai.
Sampah baterai menempati urutan teratas dalam problem polusi yang dihasilkan mobil listrik. Seperti halnya semua jenis suku cadang mobil, baterai atau aki perlu diganti dalam jangka waktu tertentu agar mobil listrik dapat dioperasikan.
“Sampah baterai atau aki tergolong limbah bahan berbahaya beracun, atau B3. Sebab itu setiap produsen baterai atau aki punya smelter untuk menampung limbah. Kemudian limbah tersebut didaur ulang agar limbah yang dihasilkan tidak lagi tergolong B3,” ujar Hadi, Direktur Utama PT Wacana Prima Sentosa, produsen baterai mobil atau aki Massiv kepada VOI, 20 Mei.
“Mengenai Formula E atau mobil listrik, setahu saya menggunakan baterai lithium. Penanganan sampah baterai lithium jauh lebih sulit ketimbang baterai biasa. Kalau tidak ditangani dengan benar akan sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kebakaran, dan kebakaran akibat baterai lithium yang meledak sulit dipadamkan. Penanganan sampah baterai mobil listrik harus benar-benar diperhitungkan secara matang,” kata Hadi lagi.
Ketika bicara soal mobil listrik, satu unsur yang tidak dapat dilepaskan adalah nikel. Dikutip dari Nickel Institute, bahan tambang ini merupakan unsur paling melimpah ke-24 di kerak bumi. Nikel memainkan peran penting dalam teknologi dan aplikasi yang membantu tujuan kebijakan lingkungan, seperti pengurangan emisi karbon.
Dalam konteks mobil listrik, nikel sangat diperlukan sebagai campuran baterai yang menjadi sumber daya penggerak. Bahan tambang ini adalah unsur terpenting pembuatan baterai isi ulang, yang digunakan pada mobil listrik. Proses pengambilan nikel melalui penambangan ini yang juga kerap dikritik sebagai tidak ramah lingkungan.
Sebuah penelitian berjudul The Impact of Nickel Mining on Soil Properties and Growth of Two Fast-Growing Tropical Trees Specieces yang dimuat dalam International Journal of Forestry Research, memaparkan dampak buruk penambangan nikel bagi kelestarian hutan tropis.
“Nikel merupakan salah satu produk pertambangan terpenting di dunia. Di Indonesia, nikel diproduksi dari tambang terbuka. Penambangan nikel secara terbuka merupakan proses intensif yang berdampak siginifikan pada hutan hujan tropis, mempengaruhi vegetasi asli dan kesuburan tanah,” begitu dituliskan dalam artikel penelitian tersebut, yang dipublikasikan pada 5 November 2020 .
Jelas di sini ada dua sisi yang bertentangan, seperti kisah Dr Jekyll and Mr Hyde. Dalam konteks lingkungan, mobil listrik memang mampu mengurangi emisi karbon yang menciptakan efek rumah kaca sehingga membuat bumi makin panas. Tetapi di sisi lain, mobil listrik juga menyisakan kerusakan lingkungan melalui penambangan nikel yang sangat diperlukan sebagai bahan baku baterai penggerak.
Entah karena kritik soal lingkungan yang membayangi mobil listrik, pada akhir 2021 pengelola Formula E berpikiran untuk menggunakan bahan bakar hidrogen. Penggunaan hidrogen sebagai penggerak mobil listrik akan diuji coba pada mobil generasi keempat atau Gen4, yang bakal dipakai lima tahun lagi. Tahun ini balap Formula E memakai mobil generasi ketiga atau Gen3, yang masih murni memakai baterai.
BACA JUGA:
“Mobil Gen3 sungguh hebat. Namun kami sudah memikirkan mobil Gen4 yang akan diluncurkan lima tahun mendatang. Kami harus memulai pembicaraan sekarang. Kami berencana menggunakan sel bahan bakar hidrogen untuk membangkitkan listrik yang menggerakkan mobil listrik. Semoga saja kami tidak kehabisan uang, sehingga harus menarik diri,” kata Agag, seperti dikutip Motorsport.com, 22 Desember 2021.
Kontrak Formula E dengan Federasi Otomotif Internasional (FIA) berlaku selama 25 tahun. Dalam kontrak tersebut tidak disebutkan soal batasan inovasi yang boleh dilakukan pengelola Formula E. Bukan mustahil suatu ketika ada balap Formula E yang tidak lagi murni memakai baterai, namun dikombinasikan dengan bahan bakar hidrogen.