Kasus Penembakan Shireen Abu Akleh: Itu Jelas Pembunuhan Wartawan, Bukan Kecelakaan
Shireen Abu Akleh, wartawati Al Jazeera asal Palestina yang tewas saat meliput konflik Israel Palestina di Kota Jenin pada 11 Mei 2022. (Twitter/@ShireenNasri)

Bagikan:

JAKARTA – Kasus penembakan Shireen Abu Akleh, wartawati senior stasiun televisi milik Pemerintah Qatar, Al Jazeera di Jenin, Tepi Barat wilayah Palestina pada 11 Mei 2022 menambah panjang daftar wartawan yang tewas dalam tugas liputan perang. Dan seperti yang sudah-sudah, kasus pembunuhan Shireen kemungkinan juga bakal lenyap begitu saja tanpa tindakan hukum terhadap pelaku.

Shireen tewas akibat terkena tembakan di bagian wajah saat meliput penyerbuan tentara Israel ke kamp pengungsi di Jenin. Wartawati berusia 51 tahun itu disebutkan sudah mematuhi prosedur peliputan perang, yaitu memakai rompi anti peluru bertuliskan PRESS dan mengenakan helm.

Shireen Abu Akleh saat dievakuasi ke rumah sakit dari lokasi tempat dia tertembak di Kota Jenin. (Foto: Tangkapan layar Youtube @9 News Australia)

Tetapi segala prosedur tersebut menjadi tak berarti saat sebutir peluru menembus wajah Shireen, hingga menewaskannya. Penembakan Shireen tentu bukan sebuah ketidaksengajaan. Sangat mungkin dia sengaja dibidik sebagai target, mengingat hanya satu peluru yang mengena tepat di wajah Shireen.

“Jadi jelas bahwa orang yang menembaknya bermaksud menghajar bagian tubuh yang terbuka. Ini adalah pembunuhan!” kata saksi mata bernama Shatha Hanaysha, wartawan Quds Networks yang sedang bersama Shireen saat dia ditembak, seperti dikutip Time.

Profil Shireen

Shireen Abu Akleh lahir pada 3 Januari 1971 dari sebuah keluarga Arab Palestina Kristen di Yerusalem Timur, yang kini diakui sebagai wilayah Israel. Dia punya dua kewarganegaraan, Palestina dan Amerika karena keluarga ibunya berasal dari New Jersey, Amerika Serikat.

Shireen gagal menyelesaikan pendidikan dalam bidang arsitektur di Jordan University of Science and Technology, lantaran ketertarikannya beralih ke jurnalistik. Dia pun berpindah, mengambil kuliah jurnalistik di Yarmouk University, Yordania dan menyabet gelar sarjana.

“Saya menjadi wartawan agar bisa dekat dengan masyarakat. Memang tidak mudah untuk mengubah realita, namun setidaknya saya bisa membawa suara mereka ke seluruh dunia,” ujar Shireen dalam sebuah video pendek yang dibagikan Al Jazeera.

Shireen Abu Akleh, gagal jadi arsitek dan beralih profesi sebagai wartawan. (IPI Media)

Dalam laporan The New York Post disebutkan bahwa Shireen adalah perintis jurnalisme di Palestina. Dia adalah wartawan Palestina paling terkenal, dan mencapai puncak popularitas setelah bergabung dengan Al Jazeera pada 1997.

“Kematian Shireen membeberkan fakta tentang bahaya yang harus dihadapi wartawan Palestina. Entah saat dia bertugas di wilayah Palestina, maupun Israel,” kata Dalia Hatuqa, kawan Shireen yang juga seorang wartawan Palestina.

Posisi Al Jazeera

Mengapa Shireen yang menjadi target, bukan wartawan media lain? Jawabannya bisa dikaitkan posisi media tempat Shireen bekerja, Al Jazeera, di mata Israel dan negara Arab lain.

Bagi Israel, Al Jazeera adalah musuh besar. Stasiun televisi yang menguasai 70 persen pemirsa berbahasa Arab di seluruh dunia itu dianggap berperan dalam menggelorakan semangat Antisemit masa kini. Tak hanya Israel, Al Jazeera pun dibenci Arab Saudi, Turki, dan banyak negara lain karena dianggap sebagai "kompor" yang menyulut ketidakstabilan politik di beberapa negara.

Pada 2019, stasiun televisi tersebut pernah menyiarkan video yang dicap sebagai “penyangkalan Holocaust”. Video tersebut ditayangkan di saluran AJ+, kanal Al Jazeera yang menyasar penonton usia remaja. Dalam tayangan itu disebutkan bahwa orang Yahudi sengaja membesar-besarkan soal genosida, hanya sebagai alasan untuk mendirikan Negara Israel.

Pendiri Al Jazeera, Sheikh Hamad bin Thamer Al-Thani, yang pernah menjadi Menteri Informasi dan Kebudayaan Qatar dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap kebijakan redaksional stasiun televisi itu.

“Ujaran kebencian telah menjadi landasan sejak awal Al Jazeera didirikan. Kalau ada pihak yang harus disalahkan, dia adalah Sheikh Hamad bin Thamer Al-Thani karena kanal itu ada di bawah pengelolaannya,” kata Abdellatif El-Menawy, mantan kepala pemberitaan Televisi Nasional Mesir seperti dikutip Arab News.

Studio Al Jazeera di Doha, Qatar. (Inside Arabia)

Sebuah opini di media Israel, Haaretz, berjudul “Sangat Menyenangkan untuk Membenci Al Jazeera” oleh Zvi Bar’el menuliskan bahwa: efektivitas sebuah jaringan pemberitaan diukur dari sejauh mana para pemimpin Arab dan sekarang Israel, membenci dan takut terhadap efek sebuah berita.

Sebab itu jangan heran jika kantor Al Jazeera di Gaza dihancurkan militer Israel dalam Perang Israel-Palestina 2021. Israel berargumen bahwa gedung yang disewa Al Jazeera sebagai kantor di Gaza merupakan markas militer Palestina, sehingga harus dibom.

Al Jazeera diakui membawa perubahan di dunia Arab dengan menciptakan Dialog Arab Baru. Namun di sisi lain juga menjadi inspirasi Arab Spring, yang menghasilkan revolusi dan pemberontakan di beberapa negara Arab pada awal 2010an seperti Libya, Tunisia, Yaman, Mesir, Suriah, Bahrain, Irak, dan banyak lagi.

Alat Propaganda Politik

Pastinya, kasus kematian Shireen Abu Akleh menjadi berita besar di seluruh dunia. Tragedi itu memicu kecaman dan kesedihan global, di saat ketegangan di Tepi Barat meningkat. Para politikus, terutama di Palestina dan Israel, mendapat panggung baru untuk menyuarakan kepedulian terhadap kemanusiaan.

Presiden Palestina, Mahmoud Abbas mengatakan bahwa dia akan membawa kasus pembunuhan Shireen ke Pengadilan Kriminal Internasional. Penembakan Shireen yang oleh pihak Palestina diklaim sebagai perbuatan militer Israel, disebutkan sebagai kejahatan perang.

Sebaliknya, Israel menyatakan bahwa pejuang Palestina lah yang bertanggung jawab terhadap kematian Shireen. Pernyataan dari juru bicara militer Israel, Ron Kochav, menyebutkan bahwa pihaknya harus mempertahankan diri dari rentetan tembakan yang dilepaskan dari kamp pengungsi Jenin.

“Kemungkinan yang sekarang sedang diselidiki  adalah bahwa wartawan terkena, kemungkinan karena tembakan dari milisi bersenjata Palestina,” bunyi pernyataan militer Israel.

Suasana pemakaman Shireen Abu Akleh di Yerusalem yang rusuh karena intervensi polisi Israel. (Wikipedia)

Namun jurnalis Palestina lain yang sedang bertugas bersama Shireen saat dia tertembak, mengatakan kalau saat itu tidak ada tembakan dari pihak milisi Palestina. Pihak Palestina sendiri menolak tawaran Israel untuk membentuk komite bersama penyelidikan kematian Shireen.

Kematian Shireen menambah panjang daftar wartawan yang tewas dalam tugas peliputan konflik Israel-Palestina. Dikutip dari Time, Shireen adalah wartawan ke-19 yang tewas dalam peliputan konflik Israel-Palestina sejak 1992.

Dari peristiwa kematian wartawan dalam tugas peliputan perang Israel-Palestina yang sudah-sudah, tidak satupun ditemukan pelakunya. Menemukan pelaku penembakan pun tak bisa, apalagi menyeretnya ke pengadilan dan menghukumnya.

Seperti kata Panglima Militer Israel, Aviv Kohavi, bahwa menemukan pelaku penembakan Shireen adalah sesuatu yang tidak mungkin.

“Tidak mungkin untuk menentukan siapa yang menembaknya. Kami menyatakan rasa prihatin dan duka cita atas kematiannya,” kata Kohavi.

Jasad Shireen Abu Akleh sudah dimakamkan di Pemakaman Bukit Zion, Yerusalem pada Jumat 13 Mei. Kematiannya hanya menjadi pengingat, bahwa kematian adalah risiko yang harus dihadapi seorang wartawan dalam peliputan. Isu keamanan dan perlindungan wartawan sudah dibahas UNESCO bersama Dewan Antarpemerintah dari Program Pengembangan Internasional untuk Komunikasi (IPDC) sejak 2006, namun sampai sekarang tak pernah bisa berjalan baik.