JAKARTA - Remaja belasan tahun asal Citayam, Bojonggede, hingga Depok yang kerap lalu-lalang di kawasan Sudirman dan Dukuh Atas, Jakarta Pusat menjadi fenomena tersendiri. Terutama saat weekend, mereka datang dengan outfit nyentrik ala street style Hollywood.
Hingga muncul istilah Citayam Fashion Week dari para pegiat media sosial. Roy Citayam dan Jeje Slebew bisa dibilang sebagai maskot. Saking viralnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bahkan sampai memunculkan sebutan SCBD yang berarti Sudirman Citayam Bojonggede Depok.
Fenomena tersebut bukan terjadi kali ini saja. Sebelumnya, juga banyak remaja tanggung Depok hingga Citayam yang selalu mencari tempat hangout di Jakarta. Tujuan lazimnya ke area-area publik yang hits Ibu Kota, seperti Monas, Taman Senopati, area Blok M, area Bundaran HI sampai Sudirman.
“Dulu, saat fixie jadi tren, ada komunitas Fixie Depok. Kita gowes biasanya malam. Kadang pagi kalau Sabtu Minggu. Cuma buat nongkrong aja, di Tebet, Blok M, ya paling jauh ke Bundaran HI. Pernah sekali sampai Kota Tua. Bedanya sekarang, tim SCBD ke blow up medsos aja,” ucap Aco, mantan pegiat sepeda fixie yang tinggal di Depok.
Apakah fenomena tersebut menjadi sinyal bahwa seharusnya Kota Depok gabung ke Jakarta?
Bila melihat data, Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kota Depok sempat menyatakan 60 persen warga Depok adalah commuter yang bekerja di Jakarta.
Kegiatan commuter tentunya memberikan dampak terhadap pembangunan daerah asal mapun daerah commuter. Ini berarti, secara tidak langsung warga Kota Depok memiliki andil besar dalam membangun Kota Jakarta. Data itu pun menyiratkan, mayoritas warga Depok lebih akrab dengan Jakarta dibanding dengan kotanya sendiri.
Konsep Megapolitan ala Bang Yos
Gagasan awal Kota Depok gabung ke Jakarta sudah digelontorkan sejak era Sutiyoso menjabat Gubernur DKI Jakarta. Saat itu, Sutiyoso menelurkan konsep Megapolitan yang menggabungkan DKI dengan kota-kota mitranya hanya terkait dengan tata ruang.
Satu daerah harus fokus dalam satu bidang, seperti industri, pendidikan, serta perkantoran. Sehingga, pembangunan nantinya tidak hanya terfokus ke Jakarta saja, melainkan bergeser ke daerah-daerah mitra, contoh penyatuan pembangunan transportasi massal. Sehingga, warga kota mitra yang melakukan aktivitasnya di Jakarta akan lebih mudah dan efisien.
“Konsep itu sebenarnya yang kita bangun adalah sebuah kawasan atau tata ruang yang sinergis jadi antara kota inti Jakarta dan daerah sekitarnya itu tata ruangnya dikemas bersama-sama jadi secara sinergis menguntungkan," tambah Bang Yos, sapaan akrab Sutiyoso, dilansir dari Antara.
Menurut dia, konsep megapolitan sebenarnya pertumbuhan alami dan sudah terjadi di berbagai negara. Dari kota mikro kemudian menjadi metro dan terus berkembang sebagai kota inti lalu berkembang bersama-sama dengan daerah sekitarnya menjadi megapolitan.
“Lihat Bangkok, Kuala Lumpur yaitu Putera Jaya, itu kan dulunya kayak kota satelit. Juga di negara-negara bagian Amerika Serikat, jadi itu proses alami,” katanya.
Sayangnya, konsep Megapolitan kurang mendapat respon baik. Masih ada sejumlah kalangan yang menganggap konsep itu hanya wacana reaktif dari ketidakmampuan Pemprov DKI dalam mengatasi permasalahan banjir dan sampah.
Padahal, kata Bang Yos, ini hanya menyangkut tata ruang. “Wilayah Bekasi, Depok, Bogor dan Tangerang tidak masuk ke dalam wilayah administrasi Jakarta. Kota mitra tetap masuk dalam wilayah Jawa Barat. Tapi tata ruang kita tata bersama," jelasnya.
Integrasi Penyelesaian Masalah
Bak hilang tertiup angin, Wali Kota Depok Mohammad Idris tiba-tiba kembali mencuatkan wacana tersebut. Terlebih, pasca istilah SCBD viral di media sosial. Dia menyampaikan keinginannya lepas dari Jawa Barat dan bergabung dengan Jakarta Raya.
Selama 15 tahun berkecimpung di pemerintahan, Idris menilai masih ada sejumlah persoalan yang tak bisa diselesaikan tanpa campur tangan pemerintah provinsi lain. Permasalahan ini pun terjadi hampir setiap tahun dan acapkali terjadi kesalahpahaman yang berujung saling menyalahkan di antara kepala daerah.
“Wah ini banjir karena Depok, tapi Depok bilang banjir karena Bogor. Bogor bilang enggak karena memang di hulunya seperti itu. Nah ini bisa selesai menurut saya itu tadi, kalau memang disatukan,” kata Idris dikutip dari Kompas.com.
Kota-kota penyangga, seperti Depok, Bekasi, Bogor, dan Tangerang harus satu komando. “Kalau sekarang kan lima komando. Misalnya Pak Gubernur DKI mau gini, tapi saya dan Bekasi kan gak boleh dong melampaui batas kewenangan gubernur saya,” ungkapnya.
Alasan lain mengapa Pemkot Depok ‘ngotot’ ingin bergabung ke Jakarta adalah wilayah yang berhimpitan, struktur budaya yang tidak jauh berbeda, yakni Betawi, dan koordinasi keamanan yang masih di bawah naungan Polda Metro Jaya dan Kodam Jaya.
“Coba tanya warga Kota Depok, pasti banyak yang mau gabung ke Jakarta, termasuk masalah sekolah SMPN dan SMAN pasti lebih banyak dan lebih mudah mengakomodasi kebutuhan pendidikan berkualitas,” tambah Wakil Wali Kota Depok, Imam Budi Hartono.
Apalagi, berdasar Badan Pusat Statistik seperti yang dilansir dari Kata Data menyebut mayoritas penduduk Kota Depok berusia produktif (15-64 tahun). Mencapai 1,46 juta jiwa atau 70,81 persen dari jumlah total penduduk. Besarnya penduduk usia produktif di suatu daerah akan menjadi modal penting dalam pembangunan.
Pengamat tata kota, Nirwono Yoga berpendapat dengan potensi jumlah penduduk produktif tentu bergabungnya Depok menjadi bagian dari Jakarta akan lebih memperkuat posisi Jakarta bersaing dengan kota-kota besar lain dunia.
“Sedianya Depok secara tak langsung sudah menjadi bagian dari Jakarta. Mayoritas warga Depok beraktivitas di Jakarta, anak-anak remajanya hangout ke Jakarta. Tinggal bagaimana pemangku-pemangku kekuasaan dan kepentingan melihat peluang itu (penggabungan wilayah),” ucapnya saat dihubungi, Sabtu (16/7).