Bagikan:

JAKARTA - Ketahanan pangan menjadi isu utama dalam beberapa bulan terakhir, setidaknya pasca Rusia menginvasi Ukraina pada Februari lalu. Pengenaan sanksi ekonomi dari berbagai negara terhadap Rusia yang notabene terbilang negara produsen memberikan dampak besar.

Semisal sanksi pemblokiran bank Rusia dari sistem Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) yang pada akhirnya menghambat transaksi ekspor Rusia. Padahal, Rusia merupakan pemasok gandum utama dengan produksi sebesar 75,5 juta ton berdasar data Statista. Rusia pun produsen utama pupuk yang mengandung kalium, fosfat, dan nitrogen yang mencukupi 13 persen kebutuhan dunia.

Sama hal dengan seterunya, Ukraina pun produsen gandum terbesar dunia. Serta menguasai ekspor minyak biji bunga matahari. Katadata menyebut ekspor minyak biji bunga matahari Ukraina mencapai US$4,71 miliar pada 2020 atau mencakup 54,4 persen dari total ekspor dunia.

Selain perang, faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah cuaca. Perubahan iklim yang tidak menentu, hujan ekstrem, bencana alam mengakibatkan banyak lahan tanam mengalami penurunan produksi, bahkan gagal panen.

Presiden Jokowi bertemu Presiden Vladimir Putin di Moskow, Rusia pada 30 Juni 2022, salah satunya untuk membahas ancaman kiris pangan dunia akibat Perang Rusia-Ukraina. (Biro Pers Sekretariat Presiden/Laily Rachev)

Kondisi ini sudah terjadi di beberapa negara. Seperti gandum, berdasar data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) yang dilansir CNBC Indonesia, pasokan gandum global pada 2022/2023 diperkirakan akan turun 1,1 juta ton menjadi 1.051,7 juta ton.

Produksi di Uni Eropa (UE), Ukraina, dan Argentina kemungkinan lebih rendah. Produksi UE turun 2 juta ton menjadi 134,1 juta ton karena cuaca kering yang berkelanjutan yang berdampak ke Spanyol, Italia, dan Jerman. Produksi Ukraina juga turun 2 juta ton menjadi 19,5 juta ton karena pengurangan luas panen.

Begitupun beras. Prospek beras global 2022/2023 untuk pasokan, konsumsi, dan stok lebih rendah. Pasokan diproyeksi berkurang 1,3 juta ton menjadi 701,4 juta ton karena stok awal yang lebih rendah di India dan Pakistan. Ditambah dengan pengurangan produksi dari UE dan Amerika Serikat. Produksi UE diperkirakan pada tingkat terendah sejak 1995/1996 karena kekeringan parah di Italia dan Spanyol, dua negara penghasil beras terbesar di UE.

Indikasi-indikasi itulah yang membuat banyak kalangan meyakini ancaman krisis pangan sudah di depan mata.

Jokowi Ajak Negara G7 dan G20 Mencari Cara Efektif

Dalam konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 sesi II pada Juni 2022, Presiden Joko Widodo menyerukan agar negara G7 dan G20 bahu-membahu mengatasi krisis pangan yang saat ini mengancam rakyat, terutama negara-negara berkembang.

Dia meminta negara G7 mereintegrasi ekspor gandum Ukraina dan ekspor komoditas pangan dan pupuk rusia dalam rantai pasok global. Realisasinya dengan memfasilitasi ekspor gandum Ukraina agar dapat segera berjalan dan komunikasi proaktif kepada publok dunia bahwa komoditas pangan dan pupuk dari Rusia tidak terkena sanksi.

“Khusus untuk pupuk, jika kita gagal menanganinya, maka krisis beras yang menyangkut dua milyar manusia terutama di negara berkembang dapat terjadi. G7 dan G20 memiliki tanggung jawab besar untuk atasi krisis pangan ini," ungkap Presiden Jokowi, dilansir dari situs resmi Kementerian Luar Negeri RI.

Presiden Jokowi bersama Presiden Emmanuel Macron dari Prancis dan Presiden AS, Joe Biden dalam KTT G7 di Krun, Jerman pada 26-28 Juni 2022. (Dok. Kemenlu)

Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam pertemuan ketiga Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) G20 di Nusa Dua Bali pada Jumat (15/7), kembali menekankan ancaman kerawanan pangan akut dan mengajak para peserta G20 mencari cara bersama mengatasinya.

Perlu ada kebijakan dari negara-negara dunia bisa menghindari kenaikan harga pangan.

"Ini adalah urgensi, krisis pangan harus ditangani. Pengerahan semua mekanisme pembiayaan yang tersedia segera diperlukan untuk menyelamatkan nyawa, serta memperkuat stabilitas keuangan dan sosial," jelasnya seperti yang sudah diberitakan kompas.com.

Kemandirian Indonesia

Pengamat pertanian Jaka Widada menilai menjalin kerjasama pangan dengan negara-negara lain memang sangat penting guna mengatasi krisis pangan. Namun, ada baiknya pula diimbangi dengan upaya dari dalam. Terutama, terkait upaya menghadapi perubahan iklim, pengembangan varietas yang adaptif, dan persoalan pupuk.

Perubahan iklim menjadi poin penting karena dampaknya bisa menurunkan hasil produksi, bahkan gagal produksi. Pemanasan global yang menjadikan suhu lebih panas dan CO2 lebih tinggi tidak bagus untuk tanaman. Lalu, terkait juga dengan air. Jika masyarakat, saat ini, mengandalkan air tanah sebagai sumber pengairan maka dikhawatirkan 10 tahun ke depan sumber-sumber air habis dan akan memunculkan kekeringan permanen di sejumlah daerah.

“Karenanya apa yang dilakukan PUPR dalam membangun sejumlah embung sudah benar meski terkadang belum pas karena dilakukan dengan tidak memperhatikan posisi strategis embung sebagai daerah tampungan air," ucapnya dilansir dari ugm.ac.id.

Selanjutnya terkait pengembangan varietas-varietas tanaman yang adaptif terhadap perubahan iklim. Contoh, pengembangan varietas Gama Gaora yang lebih membutuhkan sedikit air.

Diperlukan kreativitas dan kemandirian Indonesia agar mampu mengatasi krisis pangan yang menjadi ancaman nyata di dunia saat ini. (Antara)

“Varietas-varietas yang ada saat ini untuk produktivitas 1 kg beras masih memerlukan sekitar 2.500 liter air, kita berharap hal itu bisa diturunkan di bawah 100 atau 50 liter untuk per kilo beras. Jadi harapannya kesana mampu mengembangkan varietas-varietas adaptif terhadap perubahan iklim," ungkap Jaka Widada.

Begitu pun soal pupuk. Perlu mengembangkan budi daya teknik pertanian yang bisa menghemat pupuk. Atau bisa, membuat pupuk mandiri.

“Seperti teknologi-teknologi yang didistribusikan dari Aceh hingga ke Riau, dimana orang bisa membuat pupuk nitrogen sendiri dengan sangat murah dan bisa menggantikan 50 persen dari pupuk yang harus digunakan. Sayangnya petani Indonesia secara umum belum memperhatikan hal-hal seperti itu," ungkapnya.

Logika sederhana, agar kelaparan tidak terjadi harus ada peningkatan produksi pangan dunia. Apalagi, Food and Agriculture Organization of The United Nations (FAO) memperkirakan penduduk dunia mencapai 10 miliar pada 2050.