Bagikan:

JAKARTA - Kekhawatiran mengenai ancaman ketahanan pangan menjadi perhatian dunia. Apalagi, ada peringatan Food and Agriculture Organization (FAO) soal ancaman krisis, sehingga negara-negara sudah melakukan kebijakan larangan ekspor pangan.

Associate Center of Reform on Economics (CORE), Dwi Andreas angkat bicara mengenai isu global ini. Ia meyakini, jika krisis pangan dunia belum akan terjadi saat ini meski wabah pandemi COVID-19 tak kunjung selesai.

Pada tahun 2007 dan 2008, penurunan produksi pangan dunia pernah terjadi dan pada saat itu diiringi dengan harga pangan yang melonjak tinggi. Keadaan tersebut, kata Andreas, kembali terulang pada 2011 saat Arab Spring terjadi.

"Tapi kondisi pangan global kali ini agak berbeda. Tahun 2019, produksi pangan justru mencapai titik tertingginya. Lalu terkait dengan harga, price index pangan justru turun," katanya dalam diskusi virtual, Selasa, 21 Juli.

Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) mengatakan, ada dua fakta utama yang menjadi indikator krisis pangan. Pertama penurunan produksi pertanian global. Kedua, peningkatan harga pangan global.

Lebih lanjut, kata Andreas, dua faktor tersebut pada saat ini tidak ada sama sekali. Menurut dia, justru kebalikan semua. Bahkan nisbah back-to-use di bulan Maret mencapai 30,9 persen menjadi salah satu yang tertinggi selama ini.

"Karena biasanya hanya berkisar 15 sampai 25 persen. Jadi krisis pangan dunia itu tidak akan terjadi," ucapnya.

Ketahanan Pangan Indonesia Meningkat

Andreas mengatakan, Indonesia tercatat mengalami perbaikan dalam beberapa tahun terakhir. Berkaca dari data Global Food Security Index, ketahanan pangan Indonesia berada di peringkat 62 pada 2019, dari peringkat 65 pada 2018.

Lebih lanjut, Andreas mengatakan, perbaikan peringkat tersebut terbantu oleh impor pangan yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir dari 21,9 juta ton impor di tahun 2014, menjadi 27,6 juta ton impor pada 2018.

Tercatat, peringkat ketahanan pangan tertinggi ditempati oleh Singapura yang hampir 100 persen pangannya berasal dari impor. Melihat contoh tersebut, Andreas berpendapat tidak ada korelasi antara ketahanan pangan dan upaya untuk meningkatkan produksi pangan.

"Impor saja selesai untuk ketahanan pangan. Tapi ingat, apa yang terjadi di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara, ketika terjadi lonjakan harga pangan, hancur juga mereka," ujarnya.

Andreas mengatakan, negara seperti Indonesia akan cukup berisiko jika menggantungkan ketahanan pangannya ke impor.

"Setelah Presiden Jokowi mengatakan tekan impor, baru turun sedikit. Jadi ini masalahnya, ternyata ketahanan pangan kita itu ditentukan oleh impor pangan," katanya.

Seperti diketahui, Kepala Ekonomi dan Asisten Direktur Departemen Ekonomi dan Pembangunan Sosial Badan Pangan dan Pertanian Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO), Maximo Torero Cullen pertengahan April lalu menyebut ada potensi terjadinya krisis pangan dunia karena penerapan karantina wilayah atau lockdown untuk memerangi COVID-19.

Indonesia akan menghadapi beberapa tantangan dalam sektor pangan. BMKG memprediksi bahwa 30 persen wilayah Indonesia akan mengalami kemarau yang lebih kering dari biasanya. Menurut laporan yang diterima Presiden Joko Widodo dari para menterinya, sederet bahan pangan masih defisit di beberapa provinsi.