Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah menyatakan bahwa ancaman krisis pangan dan energi dunia semakin nyata sehingga perlu penguatan produk-produk pertanian di dalam negeri.

"Indonesia memiliki potensi pangan yang besar, saatnya memperkuat produksi komoditas pertanian dan pangan yang bersumber lokal," kata Asisten Staf Khusus Wakil Presiden RI Guntur Subagja Mahardika saat menjadi pembicara webinar International Conference on Indonesia and Global Affairs (ICIGA) bertajuk Ketahanan Pangan dan Industri Halal Indonesia, dikutip dari Antara, Jumat 30 September.

Guntur mengungkapkan, krisis pangan dan tingkat kelaparan di banyak negara semakin meningkat.

Salah satu penyebabnya karena pandemi COVID-19 yang berkepanjangan dan faktor geopolitik, termasuk dampak perang Rusia - Ukraina.

Menurut dia, kondisi ini dapat berdampak kepada negara-negara lainnya apabila apabila tidak melalukan langkah-langkah strategis memperkuat ketahanan pangan.

Data Organisasi Pangan Dunia (FAO) memproyeksikan pada tahun 2022 terdapat 181 juta jiwa di 41 negara yang terancam kelaparan.

Namun demikian, secara indikator ekonomi pasar pelonggaran pandemi COVID-19, Indonesia justru mampu pulih lebih cepat.

Pertumbuhan ekonomi nasional semester I 2022 di atas 5 persen dan tingkat kemiskinan yang pada saat pandemi tembus di atas 10 persen kembali turun menjadi satu digit.

"Hanya saja tingkat ketimpangan pendapatan yang ditunjukkan oleh rasio gini masih tinggi per Maret 2022 sebesar 0,384," katanya.

Ketua Center for Strategic Policy Studies (CSPS) Sekolah Kajian Strategic dan Global (SKSG) Universitas Indonesia itu menuturkan, pada masa pandemi Indonesia justru mampu mandiri beras.

Produksi padi surplus sehingga tidak melakukan impor bahkan mendapat penghargaan IRRI swasembada pangan.

Data FAO menunjukkan Indonesia sebagai 3 besar produsen padi dunia setelah China dan India, begitu pula dalam komoditas sawit dan minyak sawit di mana Indonesia sebagai produsen terbesar yang diikuti Malaysia dan Thailand.

Tantangannya adalah Indonesia masih mengimpor komoditas utama konsumsi masyarakat seperti kedelai, bahan baku tahu tempe yang 97 persen masih impor, jagung pakan sebagian impor, dan jenis kacang-kacangan bawang putih, dan lainnya juga masih tinggi impornya.

"Masyarakat harus shifting dan mengubah pola hidup dengan mengkonsumsi produk-produk lokal," katanya.