Bagikan:

JAKARTA - Tagline ‘Anak Terlindungi, Indonesia Maju’ pada Hari Anak Nasional 2022 yang jatuh pada 23 Juli menjadi komitmen pemerintah dalam memberikan perlindungan, dan pemenuhan hak anak sebagai generasi penerus bangsa. Ini, kata Erlinda, Tenaga Ahli Kedeputian 2 Staf Presiden, sesuai dengan komitmen Presiden Jokowi yang ingin anak-anak Indonesia menjadi generasi emas.

Aksi simbolis sudah dilakukan dengan menyimpan tujuh impian anak-anak Indonesia dalam Monumen Kapsul Waktu di Merauke, Papua pada 2018. Tujuh impian itu yakni keunggulan sumber daya manusia Indonesia mengungguli bangsa lain di dunia, masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi pluralisme, budaya religius dan nilai-nilai etika, Indonesia sebagai pusat pendidikan teknologi dan peradaban.

Lalu, masyarakat dan aparatur bebas dari perilaku korupsi, membangun infrastruktur yang merata di seluruh Indonesia, Indonesia sebagai negara yang mendiri dan negara berpengaruh di Asia Pasifik, serta Indonesia harus jadi barometer pertumbuhan ekonomi dunia.

“Nanti pada 2085 akan dibuka oleh generasi mendatang, apakah tujuh mimpi itu bisa terwujud atau tidak,” ucap Erlinda saat dihubungi VOI, Jumat (22/6).

Logo Hari Anak Nasional 2022. (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak)

Presiden, saat ini, sudah membuat sistem lewat Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak. Aturan berisi strategi dalam upaya pemenuhan hak anak yang dijabarkan dalam lima klaster: hak anak, hak sipil dan kebebasan, lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif, kesehatan dasar dan kesejahteraan, pendidikan, serta, klaster perlindungan khusus.

“Ini menjadi acuan bagi kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah dalam mempercepat terwujudnya Indonesia layak anak. Penjabarannya detail di Perpres 25, poin-poin apa saja yang menjadi sasaran, evaluasi, target, dan lainnya,” ucap Erlinda.

Kendati begitu, Erlinda tidak memungkiri masih banyak kendala dan tantangan yang harus dihadapi. Terutama terkait dengan sinergitas dan kolaborasi antar semua elemen. Ego sektoral masih mendominasi  hampir di semua lini, bahkan hingga di tatanan pemerintahan yang paling rendah.

Padahal, sinergitas dan kolaborasi adalah poin penting guna mengatasi atau paling tidak meminimalisasi permasalahan yang muncul.

“Misal yang terjadi di klaster pendidikan. Perpres sudah jelas, Kemendikbud juga sudah punya aturan, tapi masih ada saja kasus-kasus kekerasan terhadap anak, atau perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah. Bila ada sinergi dan komitmen, kasus-kasus  ini bisa diatasi dengan baik,” ujar Erlinda.

Ilustrasi perundungan siber yang sering dialami anak-anak. (Unsplash)

“Apalagi saat ini, kita berada dalam peradaban baru. Internet, khususnya media sosial bisa berpengaruh buruk terhadap anak. Anak lebih senang mencontoh apa yang dia lihat. Lalu, tayangan-tayangan televisi. Ketika kita belum dibekali dengan kemampuan filter informasi, ini bisa menjadi sangat bahaya,” terangnya.

Jika terjadi pembiaran, perundungan-perundungan yang sering diperlihatkan akan menjadi hal biasa. Tak pelak, semua elemen harus bisa berfungsi maksimal, termasuk guru dan orang tua.

“Misal, Kominfo kita dorong agar vendor aplikasi media sosial bisa memfilter atau memproteksi postingan-postingan yang mengarah ke ujaran kebencian, penghinaan, praktek bullying, dan hal negatif lainnya. Sudah ada beberapa negara yang punya komitmen ini. Lalu, pihak sekolah dan orangtua, aware gak dengan kondisi saat ini,” tutur Erlinda lagi.

Cacat Sinergitas

Saat ini, kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia masih menjadi sorotan. Berdasar data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ada 2.982 laporan. Terbesar adalah kekerasan fisik dan psikis sebanyak  1.138 laporan. Lalu, korban kejahatan seksual  859 laporan, korban pornografi media daring 345 laporan, korban penelantaran 175 laporan, korban eksploitasi 147 laporan, dan berhadapan dengan hukum 126 laporan.

Data itu menjadi bukti tidak adanya sinergi dan kolaborasi antar pihak, baik lembaga sekolah, lingkungan masyarakat, dan keluarga. Faktor penyebabnya beragam.

“Mulai dari pengaruh negatif teknologi dan informasi, permisifitas lingkungan sosial-budaya, lemahnya kualitas pengasuhan, kemiskinan keluarga, tingginya angka pengangguran, hingga kondisi perumahan atau tempat tinggal yang tidak ramah anak,” kata Komisioner KPAI, Retno Listyarti saat dihubungi VOI, Jumat (22/7).

Lazimnya, terjadi karena pembiaran. Berawal dari verbal dengan mencaci atau memaki. Lalu, meningkat kemudian dipukul, meningkat lagi kemudian dipalak diambil uang jajannya, dan seterusnya.

“Jadi, sebenarnya karena didiamkan maka kemudian terjadi peningkatan. Diam mungkin korban takut bicara, atau pernah lapor tapi gurunya tidak pernah menyelesaikan, pernah lapor orangtua tapi orangtuanya juga tidak bertindak menyelesaikan akhirnya jadi meningkat,” terangnya.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti. (Instagram@retnolistyarti_official)

Tengok kasus seorang siswa Madrasah Tsanawiyah berusia 13 tahun di Kotamobagu, Sulawesi Utara meninggal dunia akibat dirundung teman-teman sekolahnya.

Kasus penganiayaan terjadi saat korban hendak shalat di mushala. Tiba-tiba dia dibekap dan dibanting ke lantai. Wajahnya ditutup dengan sajadah dan tubuhnya ditendang. Sesampainya di rumah, korban bercerita ke ibunya sambil mengeluh sakit di perut. Orangtua lantas membawa korban ke rumah sakit. Meski sudah mendapat penanganan medis, nyawa korban tidak tertolong dan dinyatakan meninggal pada Minggu 12 Juni 2022.

Lalu kasus di salah satu desa di Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat. Seorang anak berusia 11 tahun mengalami depresi hingga meninggal akibat perundungan yang dilakukan oleh teman-temannya.

Selain dipukuli, korban sampai dipaksa menyetubuhi kucing, sambil diolok-olok dan direkam oleh para pelaku lewat ponsel. Saat rekaman video tersebar, korban semakin merasa malu hingga depresi, tak mau makan sampai harus dibawa ke rumah sakit dan meninggal saat perawatan pada Minggu (18/7).

“Saat peningkatan terjadi, anak mengalami kecemasan, takut datang ke sekolah, tidur tidak nyenyak, yang akhirnya dia bisa sakit secara fisik. Jadi dimulai dari psikisnya dulu, orang yang cemas sulit tidur kan imun tubuhnya turun akhirnya jadi sering sakit. Nah kalau sering sakit  ya lama-lama bisa parah kalau didiamkan,” lanjut Retno.

“Terkait itu, orangtua harus bisa mengajarkan anak untuk berbicara segala hal yang dia alami di sekolah. Kalau anak tidak berani bicara, orangtuanya harus bantu nanganin, menyelesaikan dengan pihak sekolah atau dengan cara apa ya tergantung kasusnya,” katanya.

Selain itu, lanjut Retno, orang tua juga harus bisa menciptakan sistem pengasuhan yang baik dalam keluarga.

“Biasanya anak-anak pembuli, anak-anak itu juga mendapat kekerasan dari sistem pengasuhan yang dia terima. Dia gak berani melawan orang di rumah, makanya dia kemudian melakukannya kepada orang lain ke anak yang lebih lemah dari dia, ya berarti harus diubah pengasuhan keluarga,” kata Retno lagi.

Mangkir Aturan

Menurut Retno, Permendikbud 82 Tahun 2015 sudah menjabarkan upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan. Dalam aturan ini, sekolah harus membuat satgas anti kekerasan yang anggotanya tidak hanya dari dalam dalam sekolah, tetapi juga melibatkan masyarakat sekitar. Seperti RT, RW, babinsa, dan kelurahan.

“Sayangnya, jarang sekolah yang punya satgas. Hampir tidak ada,” ucapnya.

Lalu, sambung Retno, Permendikbud memerintahkan lembaga pendidikan membuat sistem pengaduan yang tidak tunggal. “Artinya kalau pelakunya adalah pimpinan sekolah, lalu ngadunya ke guru, memang gurunya berani sama pimpinan sekolah. Jadi harus diadukan ke yang lebih tinggi.”

Kemendikbud pun sudah menyarankan ke dinas-dinas pendidikan membuka kanal pengaduan.

“Cantumkan saja nomor-nomor pengaduan. Bisa ngadu ke KPAI atau ke lainnya,” kata Retno.

Bila terbukti terjadi pelanggaran harus ada sanksi.

Tenaga Ahli Kedeputian 2 Kantor Staf Presiden, Erlinda. (Antara/Muhammad Iqbal)

”Pelakunya siapa, kalau anak dengan anak ada cara mengatasinya. Kalau guru dengan anak, itu ada sudah diatur cara penanganannya. Kalau memang oknum guru dan terbukti di di pengadilan, kemendikbud mencabut sertifikat mendidik. Dia tidak bisa jadi guru lagi,” papar Retno.

“Sedangkan kalau terjadi karena sistem sekolah sebagai lembaga pendidikan, misalnya menutup-nutupi, lapor tapi demi citra sekolah malah ditutup-tutupin, tidak diselesaikan, sistemnya yang salah maka itu akan dihukum sekolahnya. Semisal, dengan mencabut dana bos, dan lainnya. Itu yang dilakukan Kemendikbud ada sistem pencegahan ada sistem penanganan,” lanjut Retno

Retno mengakui menumbuhkan budaya perlindungan anak tentu banyak tantangan, namun bagi KPAI ini menjadi energi terbesar untuk mengubah tantangan menjadi peluang dalam menghasilkan terobosan baru sebagai upaya memajukan perlindungan anak di Indonesia. 

Erlinda pun berharap, “Tagline ‘Anak Terlindungi, Indonesia Maju’ tidak sekadar menjadi jargon, tetapi menjadi penyemangat kita bersama, sama-sama berkolaborasi, sama-sama bersinergi demi mewujudkan Indonesia layak anak.”

Selamat Hari Anak Nasional!