Kasus Perundungan Anak Setubuhi Kucing di Tasikmalaya Jadi Bukti Ekosistem Pendidikan di Indonesia Masih Rentan
Ilustrasi perundungan siber, seperti yang dialami seorang anak berusia 11 tahun berinisial F di Tasikmalaya yang dilecehkan teman-temannya hingga meninggal. (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - "Sepekan sebelum meninggal dunia, rekaman itu menyebar dan (dia) di-bully teman-temannya semakin menjadi-jadi. Anak saya jadi malu, tak mau makan minum, melamun terus sampai dibawa ke rumah sakit dan meninggal saat perawatan."

Pernyataan T (39) kepada awak media menguak haru. Anak keduanya yang masih berusia 11 tahun berinisial F mengalami depresi hingga meninggal akibat perundungan yang dilakukan oleh teman-temannya.

Selain dipukuli, F sampai dipaksa menyetubuhi kucing, sambil diolok-olok dan direkam oleh para pelaku lewat ponsel. Rekaman berdurasi 50 detik itu menyebar, F semakin malu dan mengalami depresi hingga tak mau makan dan minum sampai harus dilarikan ke rumah sakit. F akhirnya meninggal dunia pada Minggu (18/7).

T mengetahui rekaman tersebut dari tetangganya sepekan sebelum meninggal. F tidak pernah mau bercerita siapa yang memaksanya. Namun, dari video ada suara yang dikenali. Pelakunya tak lain teman-teman mainnya di desa yang sama, di Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Usai kejadian, keluarga para pelaku datang ke rumah meminta maaf. Nasi sudah menjadi bubur, T sudah ikhlas dengan kepergian anaknya. “Saya minta jangan lagi ke anak lainnya,” ucapnya dikutip dari Kompas.com.

Perundungan siber harus dicegah dan dihentikan. (Amazon)

Kasus tersebut sampai membuat Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil marah.

“Saya mengutuk keras kejadian di Tasikmalaya. Kepala sekolah, para guru, harus bertanggung jawab penuh karena orangtua menitipkan anaknya ke sekolah untuk diedukasi,” tegas Kang Emil, sapaan akrab gubernur kepada wartawan, Kamis (21/7).

Dia meminta pihak berwenang memberikan sanksi bagi para pelaku perundungan agar ada efek jera dan meminimalisasi kejadian serupa terulang.

“Konsekuensi kepada yang melakukan walaupun masih di bawah umur tentu dengan azas kepatutan tapi tetap harus ada pelajaran bagi mereka yang melakukan,” tambahnya.

Kang Emil pun mengingatkan para orangtua agar senantiasa menanamkan nilai tata krama kepada anak-anaknya. “Di rumah, orangtua adalah guru. Di sekolah, guru adalah orangtua.”

Peran Guru dan Orangtua Masih Lemah

Angka kasus perundungan anak yang disertai kekerasan fisik dan psikis di Indonesia masih tinggi. Data KPAI mencatat terjadi 1.138 kasus pada periode 2021 yang meliputi penganiayaan, pembunuhan, dan korban tawuran. Para pelaku umumnya orang yang dikenal oleh korban seperti teman, tetangga, guru, bahkan orang tua.

Itu menjadi bukti bahwa peran guru di sekolah, orangtua di rumah, dan lingkungan masih dalam menciptakan ekosistem pendidikan masih lemah.

Bagaimanapun, kata Pengamat pendidikan Dian N. Paramaartha, perundungan menjadi tanggung jawab seluruh stake holders pendidikan. “Guru dan kepala sekolah, peserta didik, orang tua perlu bergandeng tangan, bekerjasama hentikan dan cegah.” 

Terlebih saat ini, motif perundungan semakin melebar lewat keberadaan perangkat digital seperti handphone. Menurut praktisi media sosial dari Komunikonten, Hariqo Wibawa Satria, orangtua harus memahami konsekuensi memberikan handphone kepada anak-anak, terlebih anak di bawah 13 tahun.

Kasus F menjadi pelajaran bahwa cyber bullying dapat menjatuhkan mental hingga muncul trauma psikologis.

"Kita memiliki tanggung jawab melindungi anak-anak dari tindak kekerasan atau perundungan. Di masa digital ini, memberikan pemahaman dan contoh bagaimana menggunakan media sosial secara bijak dan menghargai sesama adalah penting," katanya dikutip dari Kompas.com, Kamis (21/7).

Pentingnya Pendidikan Moral

Di sisi lain, kurangnya pendidikan empati juga harus menjadi perhatian guru dan orangtua. Ini tentu terkait pemahaman moral. Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma, Ratno Lukito dalam tulisannya di Media Indonesia menilai pendidikan moral harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses pendidikan, di mana pun dan dalam tingkat apa pun.

Nilai-nilai moralitas merupakan Conditio Sine Qua Non dari subjek pendidikan dalam bidang apa pun, baik sains dan teknologi maupun sosial humaniora.

Makna esensial pendidikan moral pada dasarnya adalah  pendidikan etika agar peserta didik mampu mengikuti prinsip-prinsip yang baik dalam kehidupan.

“Konten dari pendidikan ini berupa prinsip-prinsip utama yang dibutuhkan untuk mendukung kelanggengan kehidupan, seperti kejujuran, kebenaran, simpati terhadap kebaikan, dan lain sebagainya,” katanya.

Ketua KPAID Tasikmalaya, Ato Rinanto, bersama anggota Polsek Singaparna Polres Tasikmalaya mengunjungi rumah korban perundungan bocah 11 tahun yang dipaksa menyetubuhi kucing oleh teman-temannya di Tasikmalaya, Rabu (20/7/2022). (Dok. KPAID Tasikmalaya)

Sebagai salah satu agen perubahan, sekolah tentu saja memiliki peran yang sangat esensial bagi pembangunan nilai moralitas. Melalui sistem kurikulum dan metode pembelajaran yang baik, pendidikan moral yang dilaksanakan dalam lembaga pendidikan dapat menjadi pintu yang sangat kokoh bagi peserta didik mengembangkan kemampuan kecerdasan moralitasnya.

Saat masyarakat disesaki dengan berbagai macam bentuk kejahatan, kekerasan, terorisme, hoaks dan ujaran kebencian, pendidikan moral akan mampu menolong peserta didik menghadapi berbagai bentuk kesulitan tanpa harus melepaskan diri dari nilai-nilai kebaikan dan kebajikan.

“Tidak ayal lagi bahwa fondasi terkuat dari bangunan masyarakat adalah individu yang berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moralitas yang baik. Semakin kuat nilai-nilai moral seseorang, akan beresonansi kepada bangunan masyarakat yang semakin kuat juga,” tandasnya.