Menyoroti Isu Taman Nasional Komodo: Mulai Kritik UNESCO Hingga Harga Tiket Mahal
Kadal Komodo (Varanus komodoensis) di Taman Nasional Komodo yang pertama kali ditemukan oleh penjelajah Belanda, Steyn van Hensbroek pada tahun 1910. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur menjadi habitat komodo. Jumlah kadal raksasa endemik di kawasan ini, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2021, mencapai lebih dari 3.000 ekor. Habitatnya tersebar mayoritas di tiga pulau: Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Pulau Padar.

Komodo merupakan kadal purba yang pernah hidup di seluruh Indonesia dan Australia. Keberadaannya tidak dijumpai di tempat lain. Tak heran, bila Taman Nasional Komodo mendapat predikat situs warisan dunia dari UNESCO sejak 1991.

Saat ini, pembangunan infrastruktur guna menyulap kawasan tersebut menjadi obyek wisata premium di Indonesia sedang berjalan. Namun, dalam prosesnya, UNESCO menilai masih ada beberapa hal yang justru akan mengancam predikat tersebut.

Chief Natural Heritage Unit UNESCO, Guy Debonnet menganggap Pemerintah Indonesia tidak transparan soal kajian proyek wisata. UNESCO khawatir akan berdampak negatif terhadap lingkungan dan habitat komodo di area tersebut.

"Ini jelas merupakan proyek yang menjadi perhatian, karena kami merasa bahwa dampaknya terhadap nilai universal (taman nasional) belum dievaluasi dengan baik," katanya dikutip dari Associated Press.

Presiden Jokowi saat meresmikan perluasan Bandara Komodo di Labuan Bajo, Kebupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur pada 21 Juli 2022. (Antara/Fransiska Mariana Nuka) 

Dalam rekomendasi UNESCO yang disampaikan pada sidang Komite Warisan Dunia ke-44 yang berlangsung di Fuzhou, China pada 16-31 Juli 2021, UNESCO mendesak Indonesia menghentikan proyek-proyek infrastruktur pariwisata di dalam dan sekitar lokasi Taman Nasional Komodo. Dengan alasan, proyek memiliki potensi dampak nilai Outstanding Universal Value (OUV).

OUV adalah salah satu kriteria penilaian UNESCO untuk penetapan warisan dunia. UNESCO juga meminta Indonesia menyerahkan revisi amdal proyek yang selanjutkan akan ditinjau kembali oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN). Dokumen harus berisi juga penjabaran terkait rencana induk pariwisata terpadu yang menunjukkan bagaimana properti UOV tetap terlindungi.

Dirjen Konservasi SDA dan Ekosistem KLHK, Wiratno menyampaikan proses perbaikan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) untuk menyesuaikan dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh IUCN sedang dilakukan. Target untuk menyampaikan keseluruhan dokumen Environmental Impact Assessment (EIA) kepada World Heritage Centre adalah akhir Agustus atau awal September 2021. Agar bisa direview oleh IUCN dan WHC sebelum Sidang WHC ke-45 tahun 2022.

"Tapi sebelum [dokumen EIA] diperiksa, [UNESCO] sudah buat decision [berupa dokumen peringatan kepada Indonesia], dan kita tidak punya hak untuk menjelaskan. Seharusnya, UNESCO bertanya kepada pemerintah Indonesia untuk mencek ulang data yang dia dapatkan dari pihak lain," kata Wiratno dikutip dari bbc.com.

UNESCO dan IUCN Beri Catatan

Untuk memastikan, UNESCO dan IUCN sempat meninjau langsung ke Taman Nasional Komodo pada 3-6 Maret 2022. Menurut Wiratno, ada beberapa lokasi yang dikunjungi antara lain, Resort Loh Buaya di Pulau Rinca, resort di Padar Selatan di Pulau Padar, dan resort Loh Liang di Pulau Komodo.

"Tim UNESCO dan IUCN berkesempatan mengobservasi langsung penataan infrastruktur wisata alam yang dikerjakan oleh Kementerian PUPR di Resort Loh Buaya. Tim UNESCO dan IUCN menyatakan bahwa sebelumnya tidak memahami terminologi “Resort” yang digunakan untuk menggambarkan pos jaga para ranger," ujar Wiratno dikutip dari liputan6.com.

"Tim ahli EIA menyampaikan tidak ada dampak kerusakan lingkungan signifikan baik pada ekosistem daratan maupun perairan seperti yang dituduhkan oleh pihak ketiga. Tim UNESCO dan IUCN bahkan menyampaikan apresiasi mengenai kualitas dokumen Environmental Impact Assessment (EIA) dan Environmental Management Plan (EMP) yang disusun oleh tim ahli EIA secara terstruktur dan berbasiskan data ilmiah merujuk kepada IUCN Guidelines," sambung Wiratno.

Presiden Jokowi menyaksikan satwa komodo di Pulau Rinca dalam kunjungan ke Taman Nasional Komodo pada 11 Juli 2019. (Tangkapan Layar Youtube Sekretariat Presiden)

Namun, menurut situs resmi Kementerian Lingkungan Hidup, ada beberapa catatan. TIM IUCN dan UNESCO menyarankan agar perencanaan pengusahaan pariwisata alam di Taman Nasional Komodo ditambahkan dalam dokumen Integragted Tourism Master Plan (ITMP) agar menjadi satu kesatuan perencanaan yang saling melengkapi satu sama lain.

Sejatinya, Pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk melestarikan nilai-nilai OUV dari Taman Nasional Komodo melalui berbagai pelaksanaan program dan kebijakan di tingkat lapangan.

“Ini dituangkan dalam Rencana Pengelolaan Taman sebagai kawasan konservasi nasional dan Situs Warisan Alam Dunia UNESCO. Rencana pengelolaan ini beroperasi di bawah lima prinsip konservasi, yaitu berbasis peraturan, berbasis sains, berbasis bukti, berdasarkan pengalaman, dan berbasis prinsip kehati-hatian,” papar Wiratno.

Protes Berlanjut

Setelah UNESCO, sejumlah kalangan dari pegiat lingkungan dan konservasi, serta masyarakat setempat juga memprotes pembangunan obyek wisata premium di Taman Nasional Komodo. Terlebih, saat Presiden Jokowi menyampaikan harga tiket masuk naik dari paling besar Rp200.000 menjadi Rp3,75 juta per 1 Agustus 2022.

"Kami memohon Bapak Jokowi membatalkan rencana kenaikan harga tiket masuk Taman Nasional Komodo yang rencananya mulai diberlakukan per 1 Agustus 2022," ujar Ketua Astindo Labuan Bajo, Ignasius Suradin dikutip dari Kompas.com, Jumat (22/7).

Suradin juga meminta agar pengelolaan Taman Nasional Komodo tidak diserahkan ke pihak ketiga. “Cabut semua izin perusahaan swasta yang sudah mengkapling-kaplingkan Taman Nasional Komodo.”

Ketua Astindo Labuan Bajo, Ignasius Suradin (kiri) meminta agar kenaikan harga tiket masuk Taman Nasional Komodo yang mencapai Rp3,75 juta per orang dibatalkan. (Dok. Astindo)

Sedikitnya ada dua perusahaan yang tercatat memperoleh izin. Pertama, PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) mendapat konsesi lahan 426,7 hektar di Pulau Padar dan Pulau Komodo lewat SK Menteri Kehutanan 796/MENHUT-II/2014 yang dikeluarkan pada 29 September 2014.

Kedua, PT Segara Komodo Lestari (SKL) mendapatkan izin pengelolaan lahan 22,1 hektar di Pulau Rinca berdasarkan surat BKBKPM nomor 7/1/IUPSWA/PMDN/2015 dan SK Balai Taman Nasional Komodo nomor 169/T.17/TU/KSA/04/2018.

“SK terakhir, berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), merupakan Izin Penyediaan Sarana Wisata Alam dengan masa kontrak 52 tahun,” tulis CNN Indonesia.

Kemudian pada 2019, KLHK menerbitkan Permen baru nomor P.8/MENLHK/Setjen/KUM.1/3/2019 tentang izin pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Lewat regulasi ini, seluruh proses perizinan IPPA melalui sistem online single submission (OSS). Selain itu, KLHK berbagi otoritas dengan Kementerian Maritim dan Investasi, Kementerian Pariwisata dan Pemerintah NTT menata Pulau Komodo jadi destinasi wisata eksklusif.

Iksan, warga Desa Komodo juga menganggap harga tiket masuk ke Pulau Komodo terlalu mahal. Hanya terjangkau untuk masyarakat menengah ke atas. Dia pun tak setuju dengan pernyataan Pemprov NTT bahwa telah terjadi penurunan nilai jasa ekosistem di Pulau Komodo dan Padar, sehingga harus membatasi pengunjung, hanya 200.000 per tahun.

Penduduk Desa Komodo di Pulau Komodo merasa dirugikan dengan kenaikan tiket masuk Taman Nasional Komodo, yang bekal mengurangi pendapatan mereka dari sektor pariwisata. Infrastruktur di desa ini sudah dibenahi lewat bantuan Bank Rakyat Indonesia pada 2021, demi mendongkrak kunjungan wisatawan. (Dok. BRI) 

“Kebijakan tersebut sangat merugikan ekonomi masyarakat Komodo yang notabene 90 persen adalah pelaku pariwisata," jelas Iksan saat berorasi di Halaman Kantor Balai Taman Nasional Komodo dikutip dari kompas.com, Senin (18/7).

Direktur WALHI Nasional, Nur Hidayati dalam keterangan tertulis di walhi.or.id, menilai seharusnya pemerintah memfasilitasi bukan justru membunuh penghidupan masyarakat lokal saat ini yang sudah rela beralih dari nelayan menjadi pelaku pariwisata. Adalah suatu keharusan bagi Pemerintah untuk melibatkan masyarakat sebagai aktor utama, khususnya masyarakat Ata Modo yang sangat memahami situasi kawasan konservasi tersebut dan memiliki penghormatan terhadap komodo beserta keseluruhan ekosistemnya.

Dibutuhkan manajemen atau pengaturan agar pariwisata bisa sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta tidak menganggu ekosistem komodo.

“Pengaturan tersebut juga harus melibatkan masyarakat setempat yang selama ini sudah menjadi pelaku pariwisata, bukan kemudian berpihak pada pengusaha skala besar yang akan menimbulkan dampak sosial kepada masyarakat,” katanya.

Berbasis Data

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno pun ingin pengembangan destinasi superprioritas Taman Nasional Komodo melibatkan komunitas lokal.

“Mengedepankan konservasi dengan tetap membuka peluang ekonomi berkearifan lokal. Ini yang kami dorong dalam konsep pariwisata berkualitas dan berkelanjutan,” kata Sandiaga Uno dalam Weekly Press Briefing (WPB) Kemenparekraf pada Senin, 18 Juli 2022 dikutip dari Tempo.co

Adapun terkait harga tiket Rp3,75 juta, ini hanya untuk area konservasi. Sedangkan pulau untuk tujuan wisata tetap sama. Melansir dari katadata.com, angka Rp3,75 disebut sebagai Biaya Kontribusi Konservasi (BKK). Mengacu dari perhitungan 20 faktor jasa ekosistem dengan memperhatikan juga antara konservasi Pulau Komodo dan sisi ekonomi masyarakat sekitar.

“Nilai BKK yang ditetapkan berlaku bagi wisnus maupun wisman. Wisatawan hanya perlu membayar BKK sebanyak satu kali per tahun dan bisa kembali ke TNK berulang kali untuk mengunjungi Pulau Komodo dan Pulau Padar. Namun, tetap harus daftar dan cek kuota lewat aplikasi,” kata Koordinator Pelaksana Program Penguatan Fungsi TNK, Carolina Noge pada 11 Juli lalu.

Pulau Padar yang akan dijadikan kawasan konservasi selain Pulau Komodo di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. (Wikimedia Commons)

Sebab, ada pembatasan jumlah pengunjung untuk area konservasi. Jika tidak ingin mengeluarkan BKK, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur mengarahkan wisatawan untuk berkunjung ke Pulau Rinca dan Pulau Kelor.

Pembatasan pengunjung mengacu dari hasil kajian Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) berbasis jasa ekosistem di Pulau Komodo dan Pulau Padar yang dilakukan oleh  Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK melalui Balai Taman Nasional Komodo (BTNK).

Jumlah pengunjung ideal per tahun hanya 219.000 wisatawan ke Pulau Komodo dan 39.420 wisatawan ke Pulau Padar atau sekitar 100 orang per waktu kunjungan.

“Hasil kajian tersebut menunjukan jumlah yang hampir sama dengan tingkat kunjungan pada tahun 2019 (yaitu 221.000 orang) untuk di Pulau Komodo, sedangkan di Pulau Padar selama ini Balai Taman Nasional Komodo telah menerapkan kebijakan kunjungan 100 orang per waktu kunjungan, di mana dalam 1 hari terdapat 3 waktu kunjungan,” Wakil Menteri LHK, Alue Dohong dalam siaran persnya pada 26 Juni 2022.

Jumlah kunjungan di Pulau Padar dapat lebih hingga 2–2,5 kali lipat dengan mempertimbangkan beberapa hal terkait penyesuaian daya dukung berupa infrastruktur, seperti penambahan jumlah pos di area trekking, sarana sanitasi dan MCK, safety trekking seperti tali, jumlah ranger serta tenaga medis dan ruang khusus untuk kesehatan.

Pulau Rinca tetap menjadi kawasan wisata di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur. (Wikimedia Commons)

"Pengaturan pengunjung dengan sistem pembatasan pengunjung atau kuota pengunjung ini tentunya dimaksudkan untuk meminimalisir dampak negatif kegiatan wisata alam terhadap kelestarian populasi biawak Komodo dan satwa liar lainnya, mempertahankan kelestarian ekosistem di Pulau Komodo dan Pulau Padar pada khususnya, serta untuk menjaga kenyamanan dan keamanan pengunjung serta petugas selama beraktivitas di Taman Nasional Komodo," jelas Wakil Menteri LHK.

Hasil monitoring intensif para ranger Balai Taman Nasional Komodo dan para peneliti di Yayasan Komodo Survival Program menyebut, terjadi perbedaan perilaku komodo yang berada di kawasan wisata dan nonwisata.

Komodo yang berada di kawasan wisata cenderung dekat dengan manusia. Bobot tubuhnya pun bisa mencapai 100 kg. Berbeda dengan komodo yang ada di area nonwisata, paling besar hanya 79 kg. Bobot tubuh ini tentu mempengaruhi kemampuan komodo bertahan hidup di alam liar. Semakin berat, semakin sulit memburu mangsa. Bobot ini pun mempengaruhi daya jelajah komodo.

“Di sinilah kenapa kita harus menjaga kestabilan, tak hanya ekosistem, termasuk komodonya sendiri dan perilaku asli komodonya,” kata Kepala Balai Taman Nasional Komodo, Lukita Awang dikutip dari mediaindonesia.com.

Tim Ahli Kajian Daya Dukung Daya Tampung Berbasis Jasa Ekosistem TNK,  memproyeksikan jumlah wisatawan ke TNK dapat mencapai 283.686 pada 2030 atau naik lebih dari lima kali lipat dibandingkan realisasi 2020 sebanyak 49.719 orang. Angka tersebut diperkirakan kembali naik 68,93 persen pada 2045 menjadi 479.240.

Kunjungan wisatawan selama empat tahun terakhir, dari 2017-2020 hanya sekitar Rp 567.253 orang atau rata-rata 100 ribuan pengunjung per tahun.

Presiden Jokowi meminta agar isu kenaikan harga tiket tidak semakin melebar. Toh, keinginan konservasi komodo juga berdasar dari masukan para ahli.

"Jadi kita ingin konservasi tapi kita juga ingin ekonomi lewat tourism, lewat wisatawan. Ini harus seimbang, Labuan Bajo ini beruntung karena komodo itu tidak hanya hidup di satu pulau, ada di Pulau Komodo, ada di Pulau Rinca di sini. Ada di Pulau Padar yang konservasi," kata Presiden Jokowi melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (21/7).