Bagikan:

JAKARTA - DPR RI menyoroti kenaikan harga tiket masuk Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi Rp3,75 juta per orang dan mulai berlaku pada 1 Agustus 2022. Anggota Komisi IV DPR RI Yohanis Fransiskus Lema, menyatakan pihaknya menolak praktik komersialisasi di Pulau Komodo dan Pulau Padar.

Menurutnya, pembatasan kuota pengunjung yang bertujuan untuk menjaga konservasi dengan menekan dampak negatif pariwisata, tidak boleh berujung pada upaya-upaya komersialisasi pariwisata oleh kelompok atau golongan tertentu.

"Mengapa pembatasan pengunjung yang katanya dilakukan untuk menjaga konservasi malah menjadi ajang komersialisasi? Ini kritik keras saya terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai penjaga konservasi di Indonesia,” ujar Yohanis Lema di Jakarta, Minggu, 17 Juli.

Yohanis mengaku mendukung pembatasan pengunjung dalam kajian Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) dilakukan oleh para ahli. Namun, kata dia, hal utama yang patut dipertanyakan dalam studi DDDTW adalah merekomendasikan pembatasan, tetapi di saat bersamaan KLHK memberikan izin salah satu perusahaan BUMD sebagai pengelola tunggal.

"Tidak benar atas nama konservasi, lalu dijawab dengan mengenakan tarif masuk yang tinggi. Memangnya negara ini hanya milik yang bayar? Di mana letak keadilan sosial? Apalagi, jika kebijakan itu diberlakukan bagi wisatawan domestik yang adalah anak bangsa sendiri," jelasnya.

Menurut Ansy, pengenaan tarif terkait wildlife and nature tourism mestinya merujuk atau memiliki referensi terkait biaya tiket yang diberlakukan di wilayah/negara lain sebagai parameter untuk wisata sejenis. Pria yang akrab disapa Ansy Lema itu pun menilai, agar dana bisa masuk secara optimal ke kas pemerintah daerah, maka penjualan tiket bisa dilakukan melalui platform digital atau e-commerce.

“Dana hasil penjualan tiket juga harus dikembalikan dan dimanfaatkan untuk pengelolaan wilayah konservasi demi keberlangsungan margasatwa di Pulau Komodo," katanya.

Ansy menambahkan, ada dua kejanggalan utama yang menjadi catatan penting. Pertama, pembatasan pengunjung tetapi membuka usulan paket wisata bernama Experimentalist Valuing Environment (EVE) ke Pulau Komodo.

Paket wisata EVE dikelola oleh salah satu BUMD dengan Rp15 juta per paket yang usulan alokasinya adalah (1) Rp2 juta Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke pemerintah, khususnya Balai TN Komodo; (2) Rp 200.000 Pendapatan Asli Daerah (PAD) ke Pemprov dan Pemkab; (3) Rp100.000 biaya asuransi; (4) Rp7,1 juta dana konservasi; (5) Rp 5,435 juta fee (upah) perusahaan BUMD tersebut; (6) Rp165.000 biaya pajak. Terlebih melihat komposisinya, lanjut Ansy, jumlah uang yang masuk ke PAD sangat kecil, dibanding upah yang masuk ke BUMD tersebut.

“Mengapa tiba-tiba ada usulan paket wisata, padahal pemerintah ingin membatasi kuota pengunjung? Di sisi lain, pemerintah pusat terkesan mengutamakan perusahaan BUMD tersebut. Tugas pemerintah adalah membuat regulasi, tetapi mengapa kemudian ingin bermain dalam ranah penyedia jasa tur ke Pulau Komodo dan Padar? Berikan kesempatan pada warga lokal untuk ikut partisipasi dalam menyediakan jasa tur," tegas Ansy.

"Jangan sampai pembatasan pengunjung dijadikan alasan untuk memberikan konsesi bisnis, bahkan monopoli bisnis kepada perusahaan tertentu,” imbuhnya.

Kedua, terkait pengenaan beban biaya konservasi kepada masyarakat awam melalui kenaikan tarif. Menurut Ansy, biaya konservasi tidak bisa sepenuhnya dibebankan kepada masyarakat, dalam hal ini adalah orang yang mau berwisata. Menurutnya, kebijakan yang diambil pemerintah di atas adalah marginalisasi atau peminggiran masyarakat kecil.

Dengan kenaikan tarif Taman Nasional Komodo (TNK) yang mencapai Rp3,75 juta per orang dan paket EVE senilai Rp15 juta, secara tidak langsung pemerintah membatasi masyarakat kecil untuk berkunjung ke Pulau Komodo dan Padar.

“Pemerintah harus memikirkan multiplier effect dari kebijakan ini. Yang bisa pergi ke Pulau Komodo dan Padar hanya orang kaya saja. Ditambah, kebijakan ini memotong peluang ekonomi masyarakat sekitar, terutama para pelaku wisata lokal,” kata Ansy.

Ansy mengingatkan, apabila hendak melakukan pembatasan pengunjung dan menjaga konservasi, cara yang dilakukan tidak bisa dari sisi kenaikan harga. Pemerintah, kata dia, bisa melakukan pembatasan dengan pengaturan lalu lintas kunjungan secara terjadwal. Oleh karena itu, dia mendesak KLHK untuk dapat melihat kebijakan terhadap Pulau Komodo dan Padar secara komprehensif.

“KLHK harus membuat kebijakan dengan dasar dan pertimbangan ilmiah yang jelas. KLHK adalah penjaga konservasi. Tidak boleh ada kepentingan-kepentingan tertentu yang menunggangi konservasi, padahal maksud tersembunyinya untuk mendapatkan keuntungan ekonomis fantastis. Bicara konservasi kok ujungnya komersialisasi melalui monopoli bisnis?” demikian Ansy.