Pejabat KLHK Berang dalam Diskusi Taman Nasional Komodo: Puncak Gunung Es Fenomena Pemangku Kebijakan yang Alergi Kritik
Tangkap Layar Twitter

Bagikan:

JAKARTA - Pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), mencak-mencak dalam webinar yang bertajuk Taman Nasional Komodo & Jurassic Park "Konservasi atau Investasi?'. Ia berang tatkala ada slide yang menyudutkan lembaganya. Bahkan ia sempat menyebut kritikan yang dibuat oleh aktivis lingkungan sebagai hoaks. Pertanyaannya mengapa banyak pejabat kerap emosi ketika dikritik bahkan tak sedikit yang menuding kritikan tersebut adalah berita bohong belaka?

Dalam potongan video webinar yang viral di media sosial, Moko, staf KLHK berang ketika melihat slide salah satu pemateri dari peneliti Sunspirit for Justice and Peace Venan Haryanto. Moko mengatakan tulisan di dalam slide itu membuat pihaknya tersinggung.

"Selamatkan Taman Nasional Komodo dari kejahatan lingkungan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Maksudnya apa ini!" kata Moko dikutip VOI dari unggahan akun Twitter Kawan Baik Komodo.

"Memangnya kami penjahat!" ujarnya. "Di sini disebutkan ada relokasi penduduk. Jangan begini dong. Kita enggak penjahat wey. Satu-satu!"

Peserta diskusi lain lantas turut menimpali. "Harus ada kesopanan dalam membuat slide kepada KLHK," ujar salah satu peserta. "Ini kan hoaks ini sudah dijawab sama bapak dirjen tadi informasinya," timpal yang lainnya.

"Saya hanya ingin menyampaikan mohon kita sama-sama menghargai posisi masing-masing. Hindari narasi-narasi yang provokatif. Dan mungkin audien tidak cukup waktu untuk memahami berbagai perspektif pemikiran." kata Moko.

"Apalagi kalau penjelasannya kan penduduk komodo terancam direlokasi dan aktivitas ekonominya dibatasi. Seperti ini kan saya enggak tahu ini informasi yang sangat tidak fair," tambahnya.

Geramnya pejabat KLHK ini secuil contoh dari banyaknya pemangku kebijakan yang "alergi" terhadap kritik. Lantas mengapa hal ini bisa terjadi? Untuk menjawab hal ini, kami menghubungi Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah.

Fenomena alergi kritik

Kepada VOI Trubus menjelaskan menurutnya alasan banyak pejabat terkesan alergi pada kritik lantaran untuk menutupi kinerjanya yang rendah. "Pada akhirnya banyak pejabat, sebenarnya itu menutupi kinerjanya yang rendah."

Selama pandemi COVID-19 ini, kata Trubus, banyak pejabat yang menjadi tumpul dalam memahami persoalan. "Banyak pejabat menikmati masa-masa seperti pandemi ini. Dengan tunjangan besar - gaji mencukupi, tapi enggak ada yang dikerjakan. Atau yang dikerjakan hanya formalitas belaka. Itu banyak kejadian begitu."

Kejadian pejabat marah-marah kala dikritik seperti dalam webinar Taman Nasional Komodo, Trubus kerap mengalaminya sendiri. Tak jarang juga kritik-kritik yang dia lontarkan dilabeli hoaks.

"Kritik-kritik saya sering kali disebut hoaks. Padahal kita menyampaikan sesuatu dengan data. Saya akademisi menyampaikan dengan data, peneliti Sunspirit juga by data. Tapi terus dikatakan hoaks, mereka memusuhi. Seperti alergi terhadap kritikan," ujar Trubus.

Waktu bicara mengenai sekian juta vaksin yang kadaluwarsa misalnya, Trubus mengaku pernah dimarahi karena mengkritik hal tersebut. "Soal bansos juga pernah, dengan Gubernur Jawa Barat, Gubernur Jawa Tengah pernah. Mereka awalnya setuju, tapi tiba-tiba terus marah pada sesi berikutnya."

Pada persoalan bansos, Trubus mengkritik soal akurasi data. Menurut dia seringkali daerah menyampaikan data tak sesuai dengan fakta.

"Saya mengkritik banyak warga yang dulunya tak mendukung si kepala daerah, kemudian akhirnya dimarjinalisasi. Terus yang milih, meskipun dia mampu, bisa dianggap sebagai yang berhak padahal ia tidak berhak. Itu marah mereka," jelas Trubus.

Dan menurut Trubus akar masalah dari banyaknya pejabat yang geram kala dikritik adalah karena mereka takut reputasinya sebagai pejabat terancam. "Karena kritik itu mungkin dianggap merongrong jabatannya. Merusak citranya si pejabat, reputasinya terancam."

"Jadi mereka yang marah ketika dikritik itu sebetulnya seperti panik. Mungkin karena ada tuntutan lebih di tengah pandemi, jadi ketika dia tidak mampu maka marah. Seperti ketakutan kalau dia itu dipermalukan," tambah Trubus.

Kritik yang disebut hoaks

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johny G. Plate sempat menjadi sorotan karena pernyataannya di acara Mata Najwa pada 14 Oktober 2020.

Dalam acara itu Johnny menyebut isu yang beredar bahwa pesangon dihapus dan cuti pekerja dihapus lewat UU Cipta Kerja adalah hoaks. Menurut Johnny pemerintah yang paling mengetahui substansi UU Cipta Kerja karena mengikuti pengambilan keputusan tingkat I bersama DPR.

“Kalau Pemerintah bilang itu hoaks versi pemerintah, ya, berarti hoaks. Kenapa membantah lagi?," ujar Johnny ketika klaimnya dibantah oleh Ketua YLBHI Asfinawati dan Ketua BEM SI Remy Hastian yang juga menjadi narasumber dalam acara itu.

Sebelumnya, Presiden KSPI Said Iqbal menjelaskan, aturan mengenai cuti misalnya, memang tidak secara gamblang disebut dihapus dalam UU Cipta Kerja. Kendati demikian, ujar Said, faktanya cuti panjang bukan lagi kewajiban yang harus diberikan pengusaha, sehingga berpotensi hilang.

Dalam UU 13 tahun 2003 Pasal 79 Ayat (2) huruf d diatur secara tegas, bahwa pengusaha harus memberikan hak cuti panjang selama dua bulan kepada buruh yang sudah bekerja selama enam tahun. "Sedangkan dalam omnibus law, pasal yang mengatur mengenai cuti panjang diubah, sehingga cuti panjang bukan lagi kewajiban pengusaha," ujar Said lewat keterangan tertulis, Jumat, 9 Oktober 2020.

Melihat dan merasakan langsung banyaknya pejabat yang marah-marah kala dikritik membuat Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah lumrah. Dan ia yakin apa yang terjadi di acara webinar tentang Taman Nasional Komodo adalah secuil contoh dari fenomena tersebut.

"Saya rasa yang terjadi di kasus Taman Nasional Komodo juga sama itu. Jadi KLHKnya marah. Padahal ini harusnya dianggap sebagai satu masukan, harus dievaluasi. Tapi dia malah marah karena takut terdengar menteri, nanti jabatannya ilang," kata Trubus.

Bukan tanpa dasar

Seyogyanya pejabat pemerintahan lebih arif dalam menerima kritikan. Tidak buru-buru naik darah dan kemudian sekonyong-konyong menyebutnya hoaks. Padahal kritikan yang disampaikan Venan --peneliti Sunsprit yang slidenya dipersoalkan staf dan pejabat KLHK--  bukan tanpa dasar.

Ilustrasi (Sumber: Wikimedia Commons)

Diketahui, UNESCO meminta pemerintah Indonesia menghentikan sementara semua proyek infrastruktur di dalam dan sekitar Taman Nasional Komodo yang berpotensi berdampak pada nilai universal luar biasa atau Outstanding Universal Value (OUV). "Mendesak Negara Pihak untuk menghentikan semua proyek infrastruktur pariwisata di dalam dan sekitar properti yang berpotensi berdampak pada nilai universal luar biasanya hingga AMDAL yang direvisi diajukan dan ditinjau oleh IUCN," tertulis dalam dokumen Komite Warisan Dunia UNESCO Nomor 44 COM 7B.9.

OUV (Outstanding Universal Value) adalah salah satu kriteria penilaian UNESCO untuk penetapan warisan dunia. Seperti dikutip laman Sunspirit, UNESCO kemudian meminta Indonesia menyerahkan revisi AMDAL proyek itu yang selanjutnya akan ditinjau kembali oleh Uni Internasional untuk Konservasi Alam (International Union for Conservation of Nature, IUCN).

Mereka juga memberikan catatan supaya Indonesia memberikan informasi rinci dari rencana induk pariwisata terpadu yang menunjukkan bagaimana properti OUV akan dilindungi, dan bagaimana rencana mewujudkan pariwisata massal itu dapat memastikan perlindungan OUV. Laporan ini memunculkan tanggapan beragam. Sebagian pegiat lingkungan menyebut peringatan itu “terlambat”, namun sebagian lagi menyebutnya sebagai “kemenangan besar bagi konservasi.”

Sebaliknya, seorang pejabat kementerian terkait mengatakan UNESCO semestinya “melakukan pengecekan” kepada pemerintah sebelum membuat penilaian.

*Baca Informasi lain soal POLITIK atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya