Jangan Apa-Apa Presiden, Kata Jokowi soal TWK: Kalau Luhut yang Bilang Begini Mungkin Lebih Masuk Akal
Presiden Joko Widodo (Instagram/@jokowi)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) merespons pemecatan 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang gagal tes wawasan kebangsaan (TWK). Jokowi tak ingin dikaitkan. Dia bilang jangan apa-apa presiden. Apa iya selama ini begitu?

Jadi, kemarin, Rabu, 15 September, KPK mengumumkan pemecatan secara terhormat 57 pegawai. Mereka adalah 51 orang yang sebelumnya dinyatakan tak lolos TWK dan lima orang yang melewatkan diklat bela negara. Pada 30 September mendatang mereka harus meninggalkan Gedung Merah Putih.

Lewat surat, mereka memertanyakan kenapa Jokowi tak tergerak dengan dinamika yang mengancam pemberantasan korupsi. Lembar-lembar surat itu ditulis para pegawai dan dimasukkan ke kotak yang bakal diserahkan kepada Sang Presiden. Pengumpulan surat dilakukan di tengah aksi di Gedung KPK C1. Selain 57 pegawai, aksi itu dihadiri pegiat antikorupsi.

"Pak Presiden kami yang baik, TWK di KPK sangat bermasalah dan melukai kami sebagai rakyat. Namun entah kenapa Pak Presiden belum tergerak untuk menuntaskan masalah ini," tertulis dalam penggalan surat.

Jokowi, dalam kesempatan lain menjawab desakan publik untuk mengambil intervensi soal TWK yang dianggap bermasalah. Jokowi menyebut alasannya tak banyak berkomentar soal karier 57 pegawai dan nasib pemberantasan korupsi di KPK adalah karena menghormati keputusan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkama Konstitusi (MK).

Jokowi juga menegaskan dirinya tak ingin dikaitkan dengan persoalan ini. Pertanggungjawaban, kata Jokowi ada di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). "Jangan apa-apa ditarik ke Presiden. Ini adalah sopan-santun ketatanegaraan. Saya harus hormati proses hukum yang sedang berjalan," Jokowi.

Apa-apa ke Presiden, apa iya?

Apa-apa ke presiden, kata Jokowi. Bukankah segala-galanya Luhut Binsar Pandjaitan? Lagipula tak sulit kok mengingat betapa minor peran Jokowi dalam pengelolaan negara, yang bahkan untuk menjawab pertanyaan sederhana di forum internasional saja Jokowi melempar ke menteri.

Kewenangan presiden tentu saja untuk mendelegasikan tugas kepada para pembantunya. Tapi ketika hari ini dia berucap seakan-akan semua hal dilakukan olehnya, tidakkah sedikit menggelitik? Soal COVID-19. Setidaknya Indonesia mengalami dua kali gelombang COVID-19. Dua kejadian itu memaksa pemerintah mengambil langkah-langkah strategis.

Bukan Jokowi. Luhut, Sang Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Menkomarves) yang saat itu pegang komando. Kali pertama Luhut memegang komando penanganan COVID-19 adalah September 2020. Luhut bersama Kepala Satgas COVID-19 saat itu, Doni Monardo bertanggung jawab memimpin penanganan pandemi di delapan provinsi.

Dalam dua pekan Luhut menerapkan strategi pengendalian pandemi berbasis lokal di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Papua. Luhut melibatkan TNI dan Polri. Pembatasan dilakukan dalam lingkup kecil di 83 ribu desa ataupun RT/RW. Saat gelombang kedua menghantam Juni lalu Luhut kembali pegang komando.

Menkomarves Luhut Binsar Panjaitan (Instagram/@luhutpandjaitan)

Analis kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah memandang ada masalah kepemimpinan dalam rezim ini. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya miskoordinasi dan tumpang tindih peran lembaga/kementerian. Semua terjadi karena Jokowi tak memainkan peran sebagai pemimpin dalam pemerintahan. Dalam konteks penanganan COVID-19, semuanya terang.

Tak hanya fakta bahwa Luhut jadi yang paling menonjol. Kita dapat melihat banyak masalah koordinasi dan tumpang tindih dalam kebijakan COVID-19. Misalnya, di mana peran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam penanganan COVID-19? Bukankah Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan mengamanatkan peran pada Kemenkes?

"Yang tenggelam justru Kemenkesnya. Itu kan karantina kesehatan harusnya kan Kemenkes. Ternyata bukan Kemenkes. Itu yang menonjol kementerian lain, termasuk Kemendagri. PPKM saja pakainya inmendagri," kata Trubus, dihubungi VOI, Kamis, 16 September.

Atau tak perlu soal kepemimpinan dalam pengambilan kebijakan. Dalam sebuah forum di Brookings Institution Amerika, Jokowi ditanya oleh salah satu peserta forum soal bagaimana langkah yang diambil Indonesia untuk mempermudah investor asing menanamkan modalnya. Alih-alih menjelaskan, Jokowi melempar kepada Menteri Perdagangan saat itu Thomas Lembong.

"I want to test my minister (saya ingin uji pengetahuan menteri saya). Please answer the question (silakan ditanggapi Pak Menteri)," ucap Jokowi dengan senyumnya yang khas sembari menunjuk Thomas Lembong.

"But don't speak longer than my speech (tapi jangan lebih panjang dari pidato saya)," sambung Jokowi. Thomas Lembong pun langsung memberi respons dan menjawab pertanyaan tersebut dengan menggunakan bahasa Inggris. "Thank you Mr President," kata Thomas, dikutip dari pemberitaan Sindonews.

Mural sindiran untuk Jokowi (Sumber: Istimewa)

Minornya kepemimpinan Jokowi ini sudah jadi keresahan lama bagi Trubus. Dari kacamata Trubus, begitu sering ia melihat kebijakan-kebijakan publik yang dilahirkan rezim ini absen dari peran Jokowi. "Kalau saya melihat pengambilan kebijakan yang dilakukan Jokowi ini lebih banyak ditentukan sekelompok orang. Kelihatan sekali kan. Bisa kita sebut oligarki," kata Trubus.

Dan soal TWK, kekisruhan ini menurut Trubus terjadi karena ketidaktegasan Jokowi. Tapi agak membingungkan juga, memang. Absen dalam pengambilan kebijakan, tapi Sang Presiden sangat aktif di ranah eksekusi. Bagi-bagi bansos, misalnya.

Jokowi kerap turun langsung memberikan bantuan kepada masyarakat. Tak cuma soal Jokowi. Trubus bilang pemerintahan tak terkendali ini juga tak lepas dari absennya peran Wakil Presiden Maruf Amin. "Kepemimpinan Jokowi dulu dan sekarang beda banget."

"Dulu peran Pak JK (Jusuf Kalla) masih banyak koordinasinya, relatif oke. Lagipula dulu oposisi juga masih ada. Sekarang enggak ada karena peran wapresnya yang kurang dan peran oposisi yang enggak ada. Oligarki ini yang ambil alih," tutur Trubus.

*Baca Informasi lain soal BERITA NASIONAL atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya

[see-also]

- https://voi.id/bernas/85299/andai-kita-seperti-santri-yang-tahu-ada-waktunya-tutup-telinga-mungkin-kita-tak-termakan-lip-service-jokow

- https://voi.id/bernas/85511/sejauh-mana-kemiripan-gibran-dan-jokowi-dari-pengusaha-gabung-pdip-sampai-jadi-kepala-daerah

- https://voi.id/bernas/82494/pedofil-bukan-bisnis-yang-bagus-di-balik-cancel-culture-saipul-jamil

- https://voi.id/bernas/85439/menelusuri-kutipan-soekarno-lebih-suka-pemuda-ngopi-daripada-kutu-buku-yang-tak-jelas-dari-mana

- https://voi.id/bernas/84650/kekayaan-pejabat-naik-poster-minta-tolong-rakyat-miskin-ditarik-turun

[/see_also]