JAKARTA - Sebuah kisah tentang 'Negeri Tutup Telinga'. Banyak yang ogah mendengar, terutama mereka pejabat negara. Sedikit yang saling memahami. Bahkan santri yang menolak musik jadi hujatan. Padahal dari para santri itu kita bisa belajar, ada waktu-waktu di mana menutup telinga jadi penting, terutama untuk lip service pemimpin negara, Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Cerita berawal dari sebuah video viral yang menampakkan sekelompok santri di sebuah ruangan tengah menunggu giliran vaksinasi. Di dalam ruangan terdengar gemuruh musik. Para santri itu duduk sembari menutup telinga mereka. Tak ada penjelasan rinci di mana lokasi peristiwa dan darimana para santri berasal. Yang jelas video itu memancing keriuhan.
"Masya Allah, santri kami sedang antre vaksin ... Qodratullah, di tempat vaksin ini diputar musik, Anda lihat jika santri-santri kami tengah menutup telinganya agar tidak mendengarkan musik ini," terdengar suara pria perekam video diduga pengajar para santri menjelaskan situasi di lokasi.
Sejumlah pihak berkomentar miring atas prinsip dan keyakinan para santri, termasuk Deddy Corbuzier. Komentar Deddy terselip di unggahan Diaz Hendropriyono, yang turut mengunggah video viral para santri itu. Diaz, dalam unggahan itu juga membandingkan bagaimana orang-orang Arab berkhafiyeh dan berjubah menari seiring alunan musik yang terdengar.
"Sementara itu... Kasihan, dari kecil sudah diberikan pendidikan yang salah. Tidak ada yang salah untuk merasakan sedikit kesenangan," tulis Diaz.
Deddy menyematkan komentar, "Mungkin mereka lagi pakai airpod. Terganggu... Ye kan."
Diaz kemudian membalas, "Pinteeeerrrr," dengan emotikon tepuk tangan.
Interaksi keduanya di ruang publik jadi sorotan warganet. Mereka mengkritik sikap tak sensitif Deddy dan Diaz terhadap prinsip dan keyakinan para santri. "Astaghfirullah, katanya toleransi, tapi julid. Harusnya kalau benar toleransi, menghargai, tidak nyinyir," tulis @bugioclothing. Banyak komentar senada yang mempertanyakan sikap Deddy dan Diaz.
Sebelum Deddy dan Diaz, pengguna media sosial dengan pengikut 1,1 juta, Denny Siregar tak absen menarasikan kenyinyirannya. Di akun Instagramnya, orang yang seakan paling toleran dan Pancasilais itu mengunggah video para santri dengan caption: Kalo gua petugasnya, langsung gua setelin mereka Metaliica. Exit light... Enter night.
Eko Kuntadhi, teman Denny, yang juga kerap bicara toleransi, Pancasila, dan 'kemerah-putihan' di dalam dirinya juga mengunggah konten video itu di akun Twitter. Dalam unggahan itu Eko menandai akun resmi milik komposer, Addie MS. "Mas @addiems pasti menitikan air mata menyaksikan video ini. Kasian anak-anak kita," tulis Eko dengan narasinya.
Lainnya memandang reaksi para santri dalam perspektif lebih jernih. Bagi mereka para santri justru menunjukkan toleransi tingkat tinggi. Alih-alih meminta penyelenggara matikan musik, mereka memilih tutup telinga. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah menegaskan sikap para santri lumrah. Jadi bukan gambaran radikalisme sebagaimana dituduhkan banyak orang.
"Anak santri ini memang dijaga betul hapalan Alqurannya, Jangan sampai mendengar hal-hal yang dapat mengganggu konsentrasi hapalan. Salah satunya musik. Suara-suara, ya, enggak hanya musik saja," tutur Wakil Sekjen MUI M Ziyad.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Suprapto turut menyoroti sikap intoleran yang ditunjukkan Deddy, Diaz, Denny, dan Eko. Bukan apa-apa. Semua figur publik itu adalah pihak yang kerap bersuara soal toleransi dan keberagaman. Tapi nyatanya mereka tak benar-benar paham apa itu toleransi. Sebaiknya mereka belajar dari para santri.
"Jika kita saling memahami, memberikan fungsi, kehidupan manusia bisa sangat nyaman. Namun tidak semua orang mau atau bisa take and give. Kita mengambil sesuatu, meratakan sesuatu dari orang lain, tetapi seharusnya juga bisa 'memberi' maksudnya memberi makna atau maklum yang dilakukan orang lain sepanjang tidak mengganggu kita," tutur Suprapto, dihubungi VOI, Selasa, 14 September.
Belajar tutup telinga dari paparan lip service Jokowi
Di tengah ramai-ramai ini, sebuah akun Twitter, @DonAdam88 mengunggah video menggelitik. Video itu menampilkan dua orang pria yang tengah duduk dan menutup telinga mereka ketika diperdengarkan pidato Jokowi di Pertemuan dengan Para Pengusaha ASEAN dan Australia di Sydney, 17 Maret 2018. "There's nothing wrong to have a lot of fun," tertulis dalam caption.
There's nothing wrong to have a lot of fun.... pic.twitter.com/spcU5zFZNN
— M. Adamsyah WH (@DonAdam68) September 14, 2021
Jokowi, pidato, dan pernyataan-pernyataannya adalah objek perhatian yang dikenal publik. Pada Juli lalu, aksi BEM Universitas Indonesia (BEM UI) mendapat perhatian luas. Dalam sebuah studi BEM UI menjuluki Jokowi sebagai King of Lip Service. Alasannya, omongan Jokowi kerap tak sesuai kenyataan. BEM UI bukan asal sebut. Mereka membuktikan lewat studi sederhana ini.
"Itu bentuk kritik bahwa banyak selama ini pernyataan-pernyataan Presiden yang kemudian tidak sesuai dengan realita atau pelaksanaannya," ujar Ketua BEM UI Leon Alvinda Putra kepada VOI, Selasa, 29 Juni.
Setidaknya ada tiga landasan yang mendasari julukan King of Lip Service. Pertama soal revisi Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Saat itu Jokowi meminta DPR untuk merevisinya. Tapi yang saat ini terjadi justru muncul pasal baru dan dianggap tak solutif.
"Terkait revisi UU ITE justru Presiden menyampaikan terkait wacana (revisi) UU ITE justru yang keluar adalah buku pedoman SKB (surat keputusan bersama). Kemudian ditambah pasal baru yang berpotensi juga untuk kemudian menambah pasal-pasal karet UU ITE yaitu (pasal) 45c," papar Leon.
Selanjutnya, BEM UI juga menyoroti pernyaataan Jokowi soal kerinduannya didemo. Padahal, yang terjadi justru mahasiswa yang menggelar aksi demonstrasi ditangkap dan mendapat kekerasan oleh pihak kepolisian.
"Kita tahu ada pernyataan Presiden yang kangen didemo. Tapi ketika mahasiswa demo misalnya pada tanggal 1 Mei mahasiswa UI hampir 30 (orang) ditangkap, dipukuli, diseret oleh polisi. Tanggal 3 Mei juga salah satu mahasiswa UI menjadi tersangka ketika jalan pulang dari aksi," tegas dia.
Terakhir, soal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). BEM UI menilai pernyataan Jokowi yang sempat menanggapi hal itu sangat tidak tegas. Saat itu, Jokowi menyebut TWK tidak menjadi dasar atau rujukan untuk memecat puluhan pegawai KPK.
Tapi, pada kenyataan yang terjadi puluhan pegawai KPK itu tetap terancam dipecat dengan alasan tidak bisa dibina. "Kami menyampaikan kritik seharusnya Presiden Jokowi tegas dengan pernyataannya. Jangan cuma menyampaikan pendapat tapi realitanya tidak sesuai," ujar Leon.
Masihkah kritik ini relevan sekarang? Soal UU ITE, hingga kini progres revisi UU ITE masih gelap. Implementasi pasal karet masih mengkhawatirkan. Kemudian mengenai kerinduan didemo. Kita tahu, Selasa, 7 September lalu seorang peternak di Blitar ditangkap.
Pria berinisial S itu diangkut polisi karena membentangkan poster bertuliskan "Pak Jokowi Bantu Peternak Beli Jagung dengan Harga Wajar." Sungguh, poster itu bahkan tak dapat dikatakan kritik. Itu adalah permintaan tolong.
"Memang banyak kebijakan pemerintahan Jokowi yang antirakyat dan berlawanan dari janjinya sendiri ... insiden itu memperlihatkan tindakan sebagian jajaran pemerintah yang antirakyat," tutur Direktur Eksekutif Amnessty International Indonesia Usman Hamid kepada VOI.
Tak berhenti di situ. Kunjungan Jokowi ke Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, Senin, 13 September juga diwarnai penangkapan mahasiswa. Mereka ditangkap polisi juga membentangkan poster berisi permintaan tolong di pinggir jalan yang dilalui Jokowi.
"Pak tolong benahi KPK."
"Tuntaskan pelanggaran HAM di masa lalu."
Presiden BEM UNS Zakky Musthofa memertanyakan sikap represif polisi. Ia yakin tak ada pelanggaran hukum yang dilakukan. Menurut Zakky ada sepuluh mahasiswa yang ditangkap. Jokowi sendiri ke UNS untuk membuka rapat Forum Rektor se-Indonesia. Ia didampingi Menteri Pendidikan Kebudayaan Ristek dan Pendidikan Tinggi Nadiem Makarim.
Sikap ini tentu harus dipertanyakan. Pertama, kebebasan berpendapat diatur oleh berbagai landasan hukum, seperti Pasal 19 dan 21 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 serta dijelaskan lebih lanjut dalam Komentar Umum Nomor 34 terkait Pasal 19 ICCPR.
Dalam hukum nasional, hak atas kebebasan berpendapat juga dijamin di dalam UUD 1945, khususnya Pasal 28E Ayat (3), dan juga Pasal 23 Ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999.
"Kebebasan berekspresi hanya dapat tunduk pada batasan-batasan seperti yang ditentukan oleh hukum dan diperlukan untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan, atau moral publik atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain," tutur Usman Hamid.
*Baca Informasi lain soal BERITA NASIONAL atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.