Bagikan:

JAKARTA - Kebakaran Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang mengangkat fakta betapa banyak persoalan soal lapas. Pada sisi hulu, kebijakan politik hukum berorientasi pemenjaraan kembali disoroti. Di bagian hilir, pengelolaan lapas-lapas tak kalah bermasalah. Semua diakui Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, yang menyebutnya sebagai problematika klasik. Jika klasik kenapa tak kunjung terselesaikan? Mungkin ini waktunya Yasonna mundur.

Satu kebakaran. Menewaskan 44 orang. Mengangkat sederet persoalan lapas ke permukaan. Terakhir polisi mengumumkan hasil penyelidikan awal. Puslabfor Polri telah berhasil menemukan titik awal kemunculan api. Dugaan korsleting listrik makin menguat. Satuan reserse kriminal umum dari Polda dan Polres pun dilibatkan untuk mendalami temuan sejumlah bukti dalam olah TKP yang mengarah pada dugaan tindak pidana di balik kebakaran.

"Hal yang lain karena diduga terjadinya tindak pidana maka kita mengumpulkan alat bukti," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat.

Alat bukti yang dimaksud, antara lain kabel dan beberapa bagian instalasi listrik. Selain memeriksa alat bukti polisi juga mendalami keterangan sejumlah saksi. Mereka terdiri dari petugas jaga, warga sekitar, dan para narapidana. "Saat ini kita sedang melakukan (pemeriksaan) 20 orang saksi ... (Saksi) Piket penjaga tadi malam. Kemudian yang kedua adalah (warga) di sekitaran dan yang ketiga adalah penghuni di blok tersebut yang masih bisa dimintai keterangan," kata Tubagus.

Tindak pidana yang dimaksud belum dirinci. Namun kemungkinan besar terkait unsur kelalaian atau kesengajaan. Terkait kemunculan dan meluasnya jilatan api, polisi menjelaskan api muncul di bagian plafon di blok C2. Api menjalar dan membesar cepat karena plafon yang terbuat dari mudah terbakar, triplek. "Dari hasil TKP titik api bersumber dari satu titik, dan terjadi di atas, di balik plafon," tutur Tubagus.

Masalah pengelolaan lapas

Kebakaran Lapas Tangerang (Sumber: Wikimedia Commons)

Sebelumnya, dalam konferensi pers kemarin, Rabu, 8 September, Menkum HAM Yasonna Laoly menyebut tak pernah ada pembenahan instalasi listrik di Lapas Tangerang sejak didirikan pada 1972. Adapun aktivitas terkait kelistrikan hanya sebatas penambahan daya.

"Sudah 49 tahun sejak itu kita tidak memperbaiki instalasi listriknya. Ada penambahan daya, tapi instalasi listriknya masih tetap," kata Yasonna dalam kesempatan itu.

Yasonna mengatakan dirinya telah memerintahkan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Reynhard Silitonga untuk mengecek kondisi lapas-lapas lain. Kebakaran akibat korsleting, menurut Yasonna kerap terjadi di lapas-lapas lain.

"Beberapa sudah kejadian kita. Hanya beberapa sampel kecil karena kerusuhan. Tetapi pada umumnya lapas-lapas lama kayak di sini. Instalasi listriknya saya minta Pak Dirjen, Pak Sesditjen harus memeriksa. Saya tidak mau terulang lagi seperti ini."

Fakta lain yang terungkap dari peristiwa kebakaran ini adalah keterlambatan petugas lapas mengevakuasi warga binaan. Menurut Yasonna petugas tak sempat mengevakuasi seluruh napi di Blok C karena api yang cepat meluas. Saat api membakar, beberapa penghuni masih terkunci di dalam kamar. "Tentu kalian bertanya kenapa dikunci. Karena memang protap lapas itu harus dikunci. Kalau tidak dikunci maka melanggar protap," tutur Yasonna.

Kebakaran Lapas Tangerang (Sumber: Istimewa)

Pakar Kebakaran Universitas Indonesia (UI), Fatma Lestari menyoroti perihal ini. Melihat banyaknya korban, Fatma menduga ada masalah dalam prosedur evakuasi dan organisasi keadaan darurat dalam Lapas Tangerang.

Pertanyaan ini harus dikejar. Bagaimana sistem kedaruratan dan prosedur evakuasi di dalam lapas? Berjalankah? Fatma membagi sistem kedaruratan kebakaran jadi dua: aktif dan pasif. Dalam kebakaran aktif, ketersediaan alat pemadam api ringan, sprinkler, serta hydrant harus dipastikan tersedia dan berfungsi.

Dalam konteks kebakaran pasif, prosedur evakuasi, termasuk jalur penyelamatan dan zona aman juga wajib ada. Selain itu, sebagai prosedur standar, dibutuhkan tim kedaruratan yang terlatih untuk menangani kebakaran dalam tahap dini.

"Adakah prosedurnya untuk melakukan evakuasi agar napi ini tidak terperangkap?" Fatma, dalam program Breaking News di Metro TV. Kami telah berulang kali berupaya menghubungi pihak Ditjen Pemasyarakat Kemenkum HAM untuk menjawab persoalan ini. Namun hingga artikel tayang, tak ada tanggapan.

Kebakaran ini menyebabkan 44 napi meninggal dunia. Menurut penjelasan Yasonna, 40 tewas di tempat. Satu orang lagi wafat di rumah sakit. Dan per Kamis siang, 9 September, tiga korban hilang nyawa bertambah dalam perawatan di rumah sakit.

Overkapasitas

Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Lainnya, persoalan overkapasitas, yang diakui Menkumham Yasonna Laoly sebagai masalah klasik. Menurut informasi, Blok C2 yang terbakar dihuni 122 napi. Sementara secara keseluruhan Lapas Tangerang diisi oleh 2.072 narapidana.

Menurut Yasonna jumlah itu melampaui kapasitas hingga 245 persen. Kapasitas Lapas Tangerang idealnya hanya bisa dihuni oleh 600 napi. Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut kondisi ini mengkhawatirkan.

Bukan hanya karena kondisi aktualnya tapi juga melihat sikap pemerintah yang tak kunjung sampai pada penyelesaian. Padahal, ini persoalan lama, yang lagi-lagi kami jelaskan telah diakui oleh Yasonna sendiri. Maka, ini bukan kebakaran biasa melainkan pelanggaran HAM.

“Semua tahanan berhak diperlakukan secara manusiawi dan bermartabat. Tempat penahanan harus menyediakan ruang, penerangan, udara, dan ventilasi yang memadai. Kejadian seperti ini tidak boleh terjadi lagi. Kapasitas penjara yang terbatas dengan jumlah penghuni yang berlebihan adalah akar masalah serius dalam system peradilan pidana di Indonesia,” kata Usman kepada VOI, Rabu, 8 September.

Februari lalu, Koalisi untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) merilis data overkapasitas di seluruh lapas Indonesia. KuPP adalah koalisi yang terdiri dari lima lembaga, yaitu Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Ombudsman RI, yang bekerja sama dengan Ditjen PAS.

Menurut data yang dirilis Ditjen PAS saat itu, ada 252.384 warga binaan di seluruh Indonesia. Sementara kapasitas lapas dan rutan hanya 135.704. Direktur Teknologi Informasi dan Kerja Sama Ditjen PAS Dodot Adikoeswanto mengatakan kondisi itu menyebabkan kompleksitas permasalahan di dalam lapas.

Setop orientasi pemenjaraan

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan salah satu langkah yang harus segera diambil pemerintah adalah dengan mengubah orientasi politik kebijakan penanganan kejahatan ringan, termasuk untuk kasus penggunaan narkotika dan UU ITE. "Bebaskan mereka yang seharusnya tidak pernah ditahan, termasuk tahanan hati nurani dan orang-orang yang ditahan atas dasar pasal-pasal karet dalam UU ITE."

Penahanan dan pemenjaraan orang dengan pidana ringan, narkoba, dan UU ITE, kata Usman hanya menambah beban tak perlu di lapas. Overkapasitas juga dipandang Usman menyebabkan kegagalan terpenuhinya Aturan Minimum Standar tentang Penanganan Tahanan yang diadopsi oleh PBB. Dalam aturan itu disebut:

Seluruh akomodasi yang disediakan untuk dipergunakan oleh tahanan, terutama seluruh akomodasi tidur, memenuhi seluruh persyaratan kesehatan dengan memperhitungkan secara semestinya kondisi iklim dan, terutama, kandungan udara dalam ruangan, luas lantai minimum, pencahayaan, penghangat ruangan, dan ventilasi.

Dengan segala kondisi itu, Usman menyebut ini sebagai waktu yang tepat untuk Yasonna mundur dari jabatan Menkum HAM. Tak cuma Yasonna, berbagai bukti kegagalan ini juga menuntut Dirjen PAS Reynhard Silitonga mundur. "Ini masalah serius hak asasi manusia banyak orang, terutama mereka yang menjadi Korban dan juga yang kini masih berada dalam penjara yang sesak.”

*Baca Informasi lain soal LAPAS atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya