Harga Mahal Pulau Komodo di Mata Luhut Binsar Pandjaitan
Komodo (Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah terus mendorong Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi kawasan wisata premium atau kelas atas. Hal ini karena Taman Nasional Komodo (TNK) mempunyai potensi dan bernilai jual tinggi. Namun, rencana ini mendapat penolakan dari berbagai pihak.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, pemerintah akan tetap membangun dan mempromosikan proyek wisata di Pulau Komodo. Alasanya, karena Komodo hanya ada di Indonesia.

"Karena saya pikir Pulau Komodo ini cuma satu-satunya di dunia, jadi kita harus jual," katanya, dalam Rapat Koordinasi Nasional Percepatan Pengembangan Lima Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) secara virtual, Jumat, 27 November.

Maksud dari menjual yang Luhut sampaikan adalah dengan menjadikan Pulau Komodo destinasi wisata premium atau kelas atas. Namun, dia menegaskan jika pengembangan destinasi wisata tersebut akan mempertimbangkan kelestarian alam, khususnya Komodo sendiri.

Luhut menampik anggapan sejumlah kalangan yang menilai jika pembangunan Wisata Komodo ini tidak merawat habitat Komodo.

"Karena orang tidak suka atau terus terang saja, underestimate kepada kami. Waktu keputusan gubernur dikonsolidasikan itu dianggap kami malah tidak merawat, justru kami merawat maksudnya," tuturnya.

Komodo (Unsplash)

Luhut Ingin Jadikan Pulau Komodo Wisata bintang 6

Luhut mengatakan, pemerintah akan menjadikan Taman Nasional Komodo sebagai dentinasi berkelas bintang 6 dengan harga mahal. Saat ini, pemerintah masih mempertimbangkan pulau mana saja yang akan ditetapkan untuk dibangun fasilitas kelas wahid di sana.

"Kita ada Pulau Rinca dan Pulau Komodo, nanti kita putuskan pulau mana yang banyak (wisatawan), masif turis dan mana pulau yang kita bikin six stars. Kalau orang mau datang ke sana ya dia harus bayar mahal," ucapnya.

Luhut mengakui, proyek ini memang bersifat komersil. Namun, ia menegaskan, tujuan utamanya adalah untuk memberikan perawatan bagi hewan langka tersebut.

"Kita harus komersil karena kita mau rawat binatang ini, karena supaya binatang ini dia punya DNA bisa kita pelihara terus," katanya.

Dalam pembangunan pariwisata Pulau Komodo, Kemenko Marves akan mengadakan rapat terpadu dengan KLHK, Kemenparekraf, pemerintah daerah dan otoritas Labuan Bajo.

"Kita duduk, kita rumuskan dan usulan perpres itu sekaligus kita revisinya. Saya minta dalam 2 minggu ini tolong temen-teman sekalian lihat Perpres, apalagi yang kita buat supaya cover semua. Supaya jangan dunia itu anggap kita itu kaya apa ya," katanya.

Luhut juga menyarankan Gubernur NTT untuk menunjuk konsultan global yang memiliki pengalaman menata pariwisata premium untuk mengelola wisata Pulau Komodo.

"Saran saya Pak Gubernur, terserah siapa orang yang sudah ahli di dunia menata pariwisata premium seperti ini. Jadi bisa kelola Pulau Rinca, Pulau Komodo terserah saja, mungkin Pak Gubernur dan tim lebih tahu," tuturnya.

Komodo (Pixabay)

Kritik tentang Penataan Pulau Komodo

Wisata Pulau Komodo beberapa waktu lalu sempat heboh di media sosial usai foto seekor komodo menghadang laju truk di Pulau Rinca yang masuk dalam TNK. Belakangan diketahui, jika truk tersebut merupakan bagian dari pembangunan proyek Geopark atau yang disebut 'Jurassic Park' di TNK.

Berbagai elemen masyarakat angkat suara, mengkritik pembangunan Geopark tersebut. Salah satu alasan yang paling kuat dikemukakan, yakni status TNK sebagai kawasan konservasi alam. Dikhawatirkan pembangunan proyek tersebut bakal mengancam kehidupan hewan langka dengan nama latin Veranus Komodoensi tersebut.

Tagar #savekomodo juga sempat menjadi topik terpopuler di Twitter beberapa waktu lalu. Bahkan, ratusan pertisi penolakan pembangunan 'Jurassic Park' di TMK juga ramai dilayangkan.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan pembangunan pariwisata besar-besaran di Pulau Komodo bisa berdampak secara sosial, ekonomi, dan politik. Bahkan, pembangunan itu juga berpotensi menghilangkan tradisi dan budaya masyarakat setempat yang selama ini mempunyai interaksi dengan Komodo.

Dewi Kartika pun menambahkan, hubungan warga Pulau Komodo dengan komodo tak bisa dipisahkan satu sama lain. Pasalnya, menurut dia, masyarakat di sana memiliki ikatan yang kuat dengan komodo.

Senada dengan Dewi, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi mengingatkan pemerintah untuk tidak mengabaikan keselamatan dan kepentingan komodo dalam membangun 'Jurassic Park' di kawasan TNK, Kabupaten Manggarai Barat.

Ia bilang, pemerintah jangan hanya memikirkan untung dari investasi melainkan juga wajib peduli terhadap keberlangsungan hidup komodo.

"Pembangunan yang dilaksanakan tidak boleh bertentangan dengan keinginan komodo, keinginan tempatnya, keinginan alamnya, keinginan sumber pangannya, keinginan perkawinannya, keinginan bertelurnya, keinginan menetasnya, dan keinginan terus berkembangnya," tuturnya, dalam rapat Komisi IV DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 23 November.

Nama 'Jurassic Park' sendiri dicetuskan oleh Luhut pada 2019. Luhut mengatakan proyek 'Jurassic Park' itu akan dilengkapi dengan pusat penelitian hingga penginapan eksekutif. Luhut menyampaikan Pulau Komodo akan menjadi kawasan wisata terbatas dengan tarif tiket masuk 1.000 dolar AS.

Pembangunan 'Jurassic Park' di Pulau Rinca merupakan bagian dari pembangunan infrastruktur Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Labuan Bajo di Provinsi NTT. Pemerintah berencana menjadikan TNK sebagai pariwisata kelas dunia (world class tourism) dan menarik investasi.

Komodo (Pixabay)

Sejarah Pulau Komodo

Komodo yang memiliki nama lain varanus komodoensis tidak hanya hidup dan berkembang biak di Pulau Komodo, tetapi juga di Pulau Rinca, Gli Motang, dan beberapa pulau kecil lainnya di kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) serta daratan Pulau Flores.

Satu-satunya hewan langka di dunia ini pertama kali ditemukan di pulau Komodo oleh penjelajah Belanda JKH Van Steyn sekitar tahun 1910. Van Steyn mengunggah dan menyebarkan keberadaan pulau 'buaya' ke seluruh dunia melalui fotonya.

Kabar tersebut sampai ke Kepala Museum Zoologi Bogor di PA Owens. Pada tahun 1912, Owens mempublikasikan karya ilmiah tentang dokumentasi komodo yang disebarluaskan oleh penjelajah tersebut.

Hingga akhirnya, jurnal ilmiah bertajuk 'On a Large Varanus Species from an Island of Komodo' terbit. Jurnal itu menjadi bagian dari perpustakaan New York Botanical Garden.

Melalui jurnal ilmiah PA Ownes, keberadaan komodo semakin mendunia. Pada 1926 seorang penjelajah bernama W Douglas Burden melakukan ekspedisi untuk menemukan pulau "buaya" tersebut.

Dari hasil penjelajahannya, W Douglas Burden membawa 12 ekor komodo yang diawetkan dan dua lainnya masih dalam keadaan hidup. Tiga dari 12 komodo yang diawetkan akhirnya dipamerkan di Museum Sejarah Alam Amerika. Douglas adalah sosok yang mempopulerkan sebutan Komodo Dragon untuk komodo.

Pada 1960 ekspedisi jangka panjang kembali direncanakan. Kali ini dilakukan oleh keluarga Auffenberg. Keluarga tersebut tinggal di Pulau Komodo selama 11 bulan. Selama ekspedisi, Walter Auffenberg bersama asistennya menangkap dan menandai lebih dari 50 komodo.

Hasil ekspedisi Auffenberg dinilai sangat berpengaruh dalam meningkatkan populasi komodo di penangkaran. Auffenberg melakukan penelitian dengan dibantu ahli biologi bernama Claudio Ciofi dan berhasil menjelaskan sifat dari komodo.

Penelitian itu menyebutkan, perkembangan evolusi komodo dimulai dari 40 juta tahun yang lalu. Satwa liar tersebut konon memang berasal dari Asia dan bermigrasi ke Australia.

Untuk melindungi spesies hewan endemik itu, Indonesia kemudian mendirikan Taman Nasional Komodo (TNK) pada 1980. Pada 1991, TNK diterima sebagai situs warisan dunia oleh United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO).

Lalu, pada 11 November 2011, TNK akhirnya ditetapkan sebagai salah satu dari 7 keajaiban dunia bersama dengan Hutan Amazon, Halong Bay, Air Terjun Iguazu, Pulau Jeju, Sungai Bawah Tanah Puerto Princesa, dan Table Mountain.