JAKARTA - Pandemi COVID-19 selama lebih dari dua tahun, perang Rusia Ukraina yang hingga saat ini tak kunjung selesai, perubahan iklim global yang tidak menentu, berdampak buruk terhadap penduduk dunia. Dampak yang dirasakan langsung oleh masyarakat, salah satunya ancaman krisis pangan.
Sejak awal tahun, Organisasi Pangan Dunia (FAO) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah mewanti-wanti agar seluruh negara bersiap menghadapi krisis pangan. Indikatornya sudah terlihat jelas saat ini. Sejumlah negara produsen beras dan gandum mengalami penurunan produksi bahkan gagal panen akibat hujan ekstrem.
Data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) menyebut pasokan gandum global pada 2022/2023 diperkirakan akan turun hingga 1,1 juta ton.
Begitupun beras, prospek beras global 2022/2023 untuk pasokan, konsumsi, dan stok lebih rendah. Pasokan diproyeksi berkurang 1,3 juta ton menjadi 701,4 juta ton karena stok awal yang lebih rendah di India dan Pakistan. Ditambah dengan pengurangan produksi dari UE dan Amerika Serikat. Produksi UE diperkirakan pada tingkat terendah sejak 1995/1996 karena kekeringan parah di Italia dan Spanyol, dua negara penghasil beras terbesar di UE.
"Ini sudah kelihatan, harga-harga pangan dunia semuanya naik. Oleh sebab itu, harus ada rencana besar, harus ada plan negara kita menghadapi ancaman krisis pangan itu," kata Presiden Jokowi usai melakukan kegiatan menanam bibit dan meninjau panen sorgum di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kamis (2/6), dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden.
Menurut Jokowi, ada banyak pilihan bahan pangan yang bisa dikembangkan di Indonesia sehingga ketergantungan terhadap beras bisa dikurangi. Antara lain dengan pengembangan sorgum.
“Di Sumba Timur, sudah terbilang berhasil. Dalam 1 hektar lahan, bisa menghasilkan 4 ton per bulan,” kata Presiden Jokowi.
Selain sebagai solusi food security menurut Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal Moeldoko, sorgum pun memiliki potensi besar sebagai nilai industri.
“Selama ini masih dikelola tradisional hanya untuk kebutuhan rumahan saja. Kalau dikelola dengan benar, sorgum punya added value besar,” kata Jenderal Moeldoko lewat siaran pers pada 6 Juni 2022.
Sorgum Tanaman Nirlimbah
Manfaatnya bisa sebagai sumber pangan, pakan, energi, serat, bahan farmasi, pupuk organik, dan manfaat lain yang menyenangkan seperti bahan kerajinan tangan. Dari sisi karbohidrat, kata profesor dari Institut Pertanian Bogor Supriyanto, sorgum lebih baik dari beras. “Sorgum per 100 gram hanya 73 gram dan 332 kilo kalori, sedangkan beras 78,9 gram dan 360 kilo kalori.”
Selain itu, sorgum unggul dalam kandungan protein, per 100 gram hanya 11 gram protein, 28 mg kalsium, 44 mg zat besi, dan 287 mg posfor. Begitupun kandungan gula, sorgum lebih banyak fruktosa dibanding glukosa.
“Jadi, cocok untuk penderita diabetes,” katanya.
Profesor Supriyanto sudah melakukan penelitian sorgum sejak 2011. Menurut dia, sorgum sejak lama sudah menjadi satu di antara lima makanan pokok masyarakat dunia. Merupakan komoditas alternatif untuk pangan, pakan ternak, bioenergi, dan industri farmasi maupun kimia, yang tidak mudah terpengaruh hama. Di dalamnya juga terkandung lignin, serat tinggi hingga senyawa flavonoid yang merupakan bagian dari antioksidan.
Akademisi Jurusan Bioteknologi Universitas Indonesia, Kaseno pun sependapat. Sorgum adalah produk pertanian yang nirlimbah. Setiap bagian dari sorgum bisa dimanfaatkan.
“Bijinya bisa diolah menjadi beras dan diolah menjadi tepung. Batangnya bisa diolah menjadi gula cari, gula kristal, atau bioetanol. Setelah semua proses itu, sisa batang, daun dan akarnya bisa diolah jadi pupuk pertanian dan pakan ternak,” ucapnya dikutip dari Tribunnews.
Sayangnya, tanaman yang di Pulau Jawa dikenal dengan sebutan cantel ini, tidak sepopuler beras. Padahal, proses budidayanya tidaklah terlalu sulit karena sorgum termasuk tanaman ‘bandel’. Bisa hidup di lahan kering sekalipun. Cocok untuk iklim tropis seperti di Indonesia.
Menurut Program Manager Indonesia Berseru, Ida Pardosi ada beberapa faktor yang membuat pangan alternatif khususnya sorgum sulit hidup di Indonesia. Antara lain, kebijakan pangan nasional masih menempatkan beras sebagai pangan utama. Sehingga, mayoritas lahan mulai tergerus oleh tanaman pangan lain. Kalau tidak sawah jadi kebun sawit, misal di Riau dan Papua.”
“Faktor lain, pola konsumsi masyarakat yang sudah mulai berubah akibat promosi besar-besaran beras, roti, dan mi instan,” ucap Ida seperti yang sudah diberitakan VOI pada 2020.
Komitmen Pengembangan Sorgum
Namun, berbeda saat ini. Jenderal Moeldoko berkomitmen akan lebih mempopulerkan sorgum menjadi alternatif pangan di Indonesia. “Kami sudah kumpulkan para pakar teknologi pangan untuk membicarakan prospek sorgum ke depan, baik dari sisi budidaya berdasar riset maupun dari sisi industrialisasi.”
Institusi riset tenaga nuklir di bawah naungan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pun sudah mengembangkan tiga varietas benih sorgum unggulan, yakni Pahat (Pangan sehat Samurai 1 dan Samurai 2). Hasil penelitiannya bahkan sudah banyak digunakan oleh petani di Afrika.
“Ada hasil penelitian yang bisa meningkatkan usia produktivitas sorgum dari biasanya dipanen setelah 90 hari menjadi bisa dipanen setelah 70 hari, bahkan hasil panen yang biasanya 3 ton per hektar dengan teknologi bisa dikembangkan menjadi 7-8 ton per hektar,” lanjutnya.
"Saat ini harus dipikirkan bagaimana membangun industri sorgum agar petani semangat untuk menanam. Petani sorgum harus bertani untuk kehidupan. Ini kuncinya," tandas pria yang dikenal dengan sebutan Bapak Sorgum Indonesia.
Sebutan ini familiar karena upaya Jenderal Moeldoko yang konsisten mempopulerkan sorgum sebagai alternatif pangan untuk masyarakat Indonesia.