Bagikan:

JAKARTA – Ketidakpastian ekonomi termasuk salah satu isu yang paling sering dibahas sejak tahun lalu. Akibat ketidakpastian ini, muncul gerakan No Buy Challenge yang pertama kali menggemar di akhir tahun lalu.

Kampanye No Buy Challenge 2025 melanda TikTok dan merambat ke media sosial lainnya. Tanda pagar #NoBuyChallange juga telah digunakan selama hampir 50 juta kali di TikTok.

Gelombang kampanye No Buy Challenge 2025 dilatarbelakangi ketidakpastian ekonomi akibat sejumlah kebijakan pemerintah, mulai dari pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM), asuransi wajib kendaraan bermotor, kenaikan tarif KRL berbasis KTP, pungutan tabungan perumahan rakyat (Tapera) dan lainnya.

Kampanye No Buy Challenge 2025 hadir salah satunya karena adanya ketidakpastian ekonomi. (Unsplash)

Belum lagi soal rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, meski pada akhirnya batal baik dan hanya dikhususkan barang mewah. Para ekonom meramalkan kondisi ekonomi yang tidak pasti ini akan membuat kelas pekerja berada di ujung tanduk, diiringi dengan melonjaknya angka orang miskin baru.

Dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet mengatakan tren No Buy Challenge menjadi cermin aspek sosial, ekonomi, dan psikologis masyarakat Indonesia.

Membeli dengan Bijak

No Buy Challenge 2025 adalah sebuah tantangan yang berkomitmen untuk tidak membeli barang-barang non-esensial sepanjang tahun ini. Atau sederhananya, No Buy Challenge mengajak masyarakat untuk tidak mudah mengeluarkan uang untuk membeli barang-barang yang tidak benar-benar dibutuhkan.

Kampanye seperti ini sebenarnya bukan hal baru, karena pada era pandemi COVID-19 kampanye serupa juga sempat viral. Waktu itu kampanye ini lebih banyak digunakan warganet di luar negeri. Tujuan gerakan ini adalah penghematan di tengah ekonomi yang lesu. Warganet memperjualbelikan pakaian bekas dan produk perawatan kulit yang tidak terpakai atau masih tersisa.

Meski pandemi telah berlalu, namun kampanye No Buy Challenge dinilai masih relevan digaungkan saat ini. Gerakan ini menantang individu untuk mengurangi konsumsi berlebihan, menghemat uang, dan mempromosikan gaya hidup minimalis.

Selain itu, kampanye No Buy Challenge membantu untuk berpikir lebih bijak sebelum membeli. Dengan membeli lebih sedikit barang baru, No Buy Challenge 2025 tidak hanya berdampak pada ekonomu, tapi juga mengurangi sampah dan jejak karbon yang dihasilkan dari proses produksi dan pengiriman barang.

Calon konsumen melilih makanan dalam kemasan di sebuah pusat perbelanjaan di Cikutra, Bandung, Jawa Barat, Selasa (3/9/2024). (ANTARA/Raisan Al Farisi/tom)

Salah satu orang yang aktif mengampanyekan No Buy Challenge 2025 adalah Cempaka Asriani, di akun Instagram @Casriani. Di salah satu unggahannya, ia menyebutkan beberapa daftar barang yang tidak perlu dibeli, atau setidaknya dikurangi, selama 2025.

"Makeup atau skincare sebelum habis nggak usah beli. Jadi benar-benar sampai empty (kosong). Benar-benar dibuka jar-nya, bersihin korek-korek, kalau habis baru beli lagi," kata Cempaka.

Namun pada dasarnya setiap individu memiliki daftar berbeda terkait daftar barang apa saja yang sebaiknya tidak dibeli atau dikurangi di tahun ini. Selain makeup dan produk perawatan kulit seperti Cempaka, barang lain yang juga masuk dalam daftar No Buy Challenge antara lain pakaian, sepatu, hingga makanan.

Alasannya juga beragam, mulai dari mendisiplinkan diri dalam belanja, lebih ramai lingkungan, hingga kekhawatiran terhadap ketidakpastian ekonomi di 2025.

Cermin Aspek Sosial, Ekonomi, dan Psikologis

Bagi sebagian kalangan, tren ini seolah melawan arus karena platform media sosial menjadi wadah iklan yang memborbardir konsumen. Makanya, sebagian warganet memutuskan tidak lagi mengikuti akun-akun toko online sebagai salah satu cara menahan diri dari godaan membeli barang secara impulsif.

Dosen sosiologi UNJ Robertus Robet menyebut beberapa hal yang melatarbelakangi kampanye No Buy Challenge yang populer belakangan ini. Ia juga menilai hal ini menjadi cermin aspek sosial, ekonomi, dan psikologis masyarakat Indonesia.

"Ini kan tren kelas menengah saja yang dampaknya ke ekonomi dan industri kapitalisme belum ada buktinya," Robertus Robet.

Kampanye ini, menurut Robertus, merupakan respons rasional kelas menengah dengan kesadaran finansial, terutama setelah menguatnya ekonomi serabutan.

Ekonomi serabutan adalah sistem ekonomi yang sedang mendunia di mana pasar kerjanya adalah tenaga kerja lepas atau kontrak jangka pendek.

"Orang jadi lebih menekankan perhitungan pengeluaran finansial untuk berhemat karena menghadapi situasi kerja yang tak pasti," kata Robertus.

“Dalam konteks ekonomi yang makin sulit atau ketidakpastian finansial, tantangan ini bisa menjadi cara bagi individu untuk menghadapi tekanan ekonomi, seperti inflasi atau kenaikan biaya hidup,

Selain itu, kampante No Buy Challenge 2025 bisa dianggap sebagai kritik moderat terhadap budaya konsumerisme. Masyarakat kian sadar dengan krisis lingkungan yang sering dibicarakan beberapa tahun ke belakang.