Bagikan:

JAKARTA - Fenomena Citayam Fashion Week kerap dikaitkan dengan Harajuku di kawasan Shibuya, Tokyo, Jepang. Tak heran, bila ada yang mengistilahkan dengan sebutan Haradukuh. Menggabungkan nama Harajuku dengan nama tempat yang dijadikan ajang Citayam Fashion Week, yakni Dukuh Atas.

Bila melihat dari asal-usulnya, Citayam Fashion Week dan Harajuku hampir serupa. Harajuku sebagai pusat fesyen anak muda Jepang berawal dari keberadaan sejumlah butik yang ada di sana, sekiranya pada 1965. Butik-butik ini berhasil menggaet pasarnya, yakni kalangan muda yang antusias dengan fesyen.

Sejak itulah, banyak anak muda Jepang mengunjungi wilayah itu dengan outfit trendi yang mengacu ke media mode setempat. Sedangkan Citayam Fashion Week lahir dengan sendirinya sebagai dampak peradaban baru dunia digital.

“Kemunculannya adalah sebuah komunitas cair yang tidak terstruktur yang terkonstruksi secara spontan,” kata sosiolog dari Universitas Indonesia, Hari Nugroho, Minggu (24/7) dikutip dari Kompas.com.

Jasmine Laticia alias Jeje Slebew atau Jeje SCBD, salah satu penggagas Citayam Fashion Week yang kini populer. (Instagram@jejelinces)

Muncul dari naluri alami kaum remaja yang ingin mengaktualisasi diri lewat kreativitas sebagai konten kreator. Kaum remaja ini terus mencari tempat-tempat yang hits untuk berpose dan berakting di sosial media.

Kawasan Dukuh Atas menjadi pilihan karena wilayah ini mudah diakses, dekat dengan stasiun. Juga, instagramable. Banyak spot-spot foto menarik dengan nuansa tengah kota. Dua dasawarsa terakhir, kawasan Dukuh Atas hingga Bundaran HI memang kerap menjadi obyek foto para fotografer.

"Jadi kenapa awalnya mereka tahu wilayah itu (Dukuh Atas), karena ada beberapa anak yang orangtuanya dulu warga sini. Sebelum RW 007 dan 003 digusur mereka tinggal di sini. Mereka yang datang rata-rata memang pindah ke daerah Citayam, Bojong dan beberapa wilayah di Bogor," ujar Kepala Seksi Pemerintahan Kelurahan Kebon Melati, Tanah Abang, Muhamad Al Farabi.

“Terus akses mereka ke sini juga gampang, cukup naik kereta. Enggak mahal ongkosnya. Diajaklah teman-temannya, tambah ramai jadi seperti sekarang ini,” tambah Farabi.

Gaya berpakaian anak muda Jepang di kawasan fesyen jalanan Harajuku di distrik Shibuya, Tokyo, Jepang. (Rebels Market)

Roy Citayem, Jeje Slebew, Bonge tidak pernah menyangka kegiatan yang awalnya hanya untuk hangout menghabiskan waktu menjadi viral. Outfit mereka dan kawan-kawannya yang terkesan slengean justru menjadi image street style remaja generasi alpha Indonesia.

Media fesyen Jepang, Tokyo Fashion dalam utasnya di Twitter sampai mengapresiasi. Harajuku yang awalnya ditentang dan kerap dianggap nyeleneh justru menjadi kiblat street style Japanese hingga seluruh dunia. Bukan tidak mungkin, Citayam Fashion Week bisa menjadi Harajuku baru.

"Bagi siapa pun yang ingin membantu membangun komunitas street fashion di Jakarta, memiliki akun media sosial yang secara teratur memposting foto jalanan yang ditandai membantu anak-anak mode untuk bertemu satu sama lain, mendorong anak-anak untuk saling menginspirasi & merupakan tempat untuk mempromosikan acara/popup mode lokal dan lainnya," tulis Tokyo Fashion pada 11 Juli lalu.

Masih Jauh Menjadi Harajuku

Namun, fenomena Citayam Fashion Week masih jauh untuk menjadi Harajuku meski sejumlah selebgram, artis, model, hingga gubernur seperti Anies Baswedan dan Ridwan Kamil pernah datang dan menjajal langsung area zebra cross yang kerap menjadi catwalk.

Apakah ini hanya tren sesaat? Banyak variabel untuk menjadikan Citayam Fashion Week menjadi Harajuku, seperti dukungan pemerintah, respon pasar, jejaring industri kreatif, dan sikap masyarakat itu sendiri.

Bila variabel itu tidak diperhatikan, menurut pengamat tata kota, Nirwono Yoga, Citayam Fashion Week belum tentu berlangsung lama.

"Semua warganet berusaha update status hal-hal yang viral dan pemerintah cenderung memanfaatkan ketenaran sesaat itu untuk keperluan pemerintah, bisa kampanye atau kegiatan lainnya, model seperti ini juga tidak akan bertahan lama," kata Nirwono, Sabtu (16/7).

Hari pun menilai Citayam Fashion Week hanya tren sesaat akibat ketiadaan ruang publik bagi remaja di kawasan penyangga Jakarta. Tidak ada penggeraknya dan kemungkinan akan redup dengan sendirinya.

Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil ikut-ikutan memanfaatkan kepopuleran Citayam Fashion Week. (Instagram@ridwankamil)

“Meskipun ada beberapa nama yang ditokohkan di antara komunitas Citayam, tetapi mereka bukan pemimpin penggerak sepertinya,” kata Hari.

Bahkan, bukan tidak mungkin tren tersebut nantinya menjadi milik kalangan menengah atas yang memiliki sumber daya sosial dan ekonomi mumpuni. Akhirnya, para remaja yang menjadi cikal-bakal Citayam Fashion Week terbuang.

“Paling tidak hanya menjadi penopang saja, bukan subjek utama arena,” tambah Hari.

Saat ini saja bisa terlihat, sudah ada dua nama yang tersorot media coba mendaftarkan Citayam Fashion Week sebagai Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) ke Kemenkumham.

Lalu masalah parkir liar dan kemacetan di sekitar Dukuh Atas yang membuat para remaja SCBD atau Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok terancam terusir.

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengajak tamu-tamunya dari Eropa melintasi zebra cross Citayam Fashion Week yang saat ini viporal. (Instagram@aniesbaswedan)

Pemprov DKI bahkan sudah menentukan lokasi alternatif untuk memindahkan Citayam Fashion Week, bisa ke Monas, Kawasan Kota Tua, Taman Ismail Marzuki, Sarinah, Taman Lapangan Banteng, atau ke Kompleks GBK Senayan.

Padahal, kata Nirwono Yoga, menjadikan area zebra cross sebagai catwalk sudah jamak terjadi di kota-kota besar dunia. Lihat saja foto The Beatles di jalan Abbey Road. “Ini malah jadi ikonik.”

Belum lagi, tanggapan nyinyir masyarakat yang cenderung menghakimi anak-anak tanggung SCBD. Mereka dinilai lebih senang aktif di media sosial daripada bersekolah.

“Semua harus dikelola dengan baik, termasuk dukungan pemerintah. Ini tantangannya bila ingin terus mengembangkan Citayam Fashion Week,” kata Nirwono

Karakter Kaum Muda Adalah Pencipta Budaya

Bagaimanapun, kata sosiolog UGM, Derajat Sulistyo Widhyarto karakter kaum muda adalah pencipta budaya. Kemunculan mereka yang menggunakan area publik di pusat kota sebagai lokasi unjuk ekspresi dengan memadupadankan gaya busana ala street style memang sangat brilian. Sebab, gaya busana bagian dari budaya yang bisa diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.

Uniknya lagi, apa yang ditunjukkan mereka melawan arus fenomena budaya konsumerisme dan pamer kemewahan yang kerap ditunjukkan para pegiat media sosial dan influencer. Mereka percaya diri dengan outfit tanpa brand.

”Ini yang harus diapresiasi. Mereka memang kalah bertarung dengan kaum muda menengah ke atas yang sudah masuk ruang bisnis kota. Maka Citayam adalah representasi kaum muda menengah ke bawah dan menjadi bagian dari eksistensi baru mereka dalam mengisi ruang kota dan sekaligus pembentuk budaya muda kota,” ujarnya, dikutip dari ugm.ac.id.