Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso Jadi Tersangka Peristiwa Berdarah Kudatuli dalam Memori Hari Ini, 7 Juli 2004
Sutiyoso yang pernah menjabat sebagai Pangdam Jaya dan juga Gubernur DKI Jakarta (1997-2007). (Antara/Dhoni Setiawan)

Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 19 tahun yang lalu, 7 Juli 2004, Kejaksaan Tinggi Jakarta menetapkan Gubernur DKI Jakarta yang juga Mantan Pangdam Jaya, Letjen TNI (Purn) Sutiyoso sebagai tersangka Peristiwa Kerusuhan 27 Juli (Kudatuli) 1996. Penetapan itu dilakukan karena Sutiyoso dianggap abai mencegah jatuhnya korban dari warga sipil.

Sebelumnya, Peristiwa Kudatuli membawa kedukaan yang mendalam bagi segenap rakyat Indonesia. Peristiwa penyerangan ke markas Partai Demokrasi Indonesia (PDI) itu jadi contoh buruk adu domba politik.

Urusan menjegal lawan politik, Orde Baru (Orba) jagonya. Empunya kuasa kerap punya siasat supaya lawan politik jadi lemah. Megawati Soekarnoputri pernah merasakannya. Keberaniannya masuk politik membawa pengaruh besar.

PDI pun kepincut dan meminangnya. Pengaruh Megawati mampu jadi lumbung suara PDI dalam gelaran Pemilu. Narasi itu membuat karisma Megawati unggul melampaui tokoh PDI lainnya.

Megawati kemudian mampu menempatkan dirinya sebagai Ketua Umum PDI secara de facto pada Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Surabaya pada 1993. Pengaruh besar Megawati sebagai pemimpin PDI mulai membuat Orba kepanasan.

Kerusuhan dalam peristiwa 27 Juli 1996, perebutan Kantor Pusat PDI di Jl. Diponegoro 58 yang kemudian dikenal sebagai Kudatuli. (Wikimedia Commons)

Orba tak ingin Megawati 'menggoyang' kuasa Orba. Empunya kuasa pun bersiasat. KLB baru untuk memilih kembali pemimpin PDI digelar di Medan pada Juni 1996. Hasilnya, Soerjadi dianggap sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Sedang kepemimpinan Megawati dianggap tidak sah.

Orba pun memainkan politik adu domba. Apalagi, eksistensi PDI kubu Megawati sedang tinggi-tingginya. Fakta itu membuat Orba dan kubu Soerjadi ingin memutus mata rantai popularitas Megawati. Tragedi Kudatuli 1996 pun terjadi.

Simpatisan kubu Soerjadi yang didukung unsur militer Orba menyerang markas ‘Banteng’ di Jalan DIponegoro 58, Menteng, Jakarta Pusat. Pangdam Jaya Sutiyoso dan anak buahnya tak kuasa mencegah penyerangan itu. Segenap rakyat Indonesia berduka. Peristiwa Kudatuli menyebabkan lima orang meninggal dunia, puluhan orang hilang, dan ratusan lainnya luka-luka.

“Akhirnya perwira Polri yang tahu saya (Rosihan Anwar) wartawan senior, mengizinkan insan-insan pers maju lagi 25 meter. Sampailah kami di jembatan kecil yang melingtangi kali Jalan Surabaya. Dari sana kami bisa memandang luas ke kiri. Tampak depan markas PDI laki-laki tegap berpakaian hitam dengan tanda gambar Banteng, dengan potongan rambut cepak, beramai-ramai melemparkan batu ke rumah yang sedang terbakar.”

“Serangan itu dibalas dengan tidak kurang sengitnya oleh pengikut Megawati dengan timpukan batu pula. Seorang penduduk memberitahukan kepada saya bahwa sejak pagi-pagi benar bus-bus datang dan berhenti di jalan sekitar bioskop terdekat. Megaria. Dari bus-bus itu keluar laki-laki yang menjadi barisan penyerang markas PDI. Asap mengepul dari atap yang gentengnya sudah pecah-pecah. Tidak kelihatan mobil pemadam kebakaran. Lama-lama rumah ini bisa terbakar habis, pikir saya,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil ‘Petite Histoire’ Indonesia Jilid 1 (2004).

Sutiyoso saat menjabat sebagai Pangdam Jaya, memberikan penjelasan kepada media soal kondisi DKI Jakarta di Makodam Jaya pada 28 Juni 1996, atau sebulan sebelum peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996. (Antara/Saptono)

Peristiwa itu menggemparkan seisi Nusantara. Apalagi Kudatuli dianggap sebagai pelanggaran HAM berat. Namun, kuasa Orba meruntuhkan segalanya. Tiada yang berani mengusut. Sekalipun banyak orang yang memahami andil besar Orba di balik Peristiwa Kudatuli.

Semuanya berubah ketika Orba runtuh. Mereka yang dianggap bertanggung jawab atas Peristiwa Kudatuli mulai muncul ke permukaan. Apalagi, pada masa Megawati Soekarnoputri naik sebagai Presiden. Penyelidikan terkait Peristiwa Kudatuli memuncak.

Kejaksaan Tinggi Jakarta pun kemudian menetapkan Mantan Pangdam Jaya yang kini menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso sebagai tersangka pada 7 Juli 2004. Penetapan Sutiyoso dilakukan karena ia sebagai Pangdam Jaya dianggap lalai melindungi warga sipil pada Peristiwa Kudatuli.

Sutiyoso sendiri tak gentar dengan penetapannya sebagai tersangka. Ia meyakini hubungannya dengan Megawati yang kini menjabat Presiden Indonesia justru baik-baik saja. Lebih lagi, Megawati justru salah satu mendukungnya jadi Gubernur Jakarta. Sutiyoso meyakini Megawati mengetahui posisinya dalam Peristiwa Kudatuli.

Belakangan, status tersangka Sutiyoso tak bertahan lama. Sebab, Megawati telah turun dari kuasa dan penyelesaian terkait Peristiwa Kudatuli tak pernah serius.

"Saya siap. Saya dan bekas anak buah saya, semuanya siap. Tetapi kenapa setiap kali terjadi kerusuhan selalu aparat yang disalahkan. Itu namanya tidak adil," kata Sutiyoso beberapa hari setelah penetapan dirinya sebagai tersangka dikutip Tempo.co, 11 Juni 2004.