Pengakuan Jepang Terlibat Paksa Wanita Bumiputra Jadi Pelacur di Era Penjajahan dalam Memori Hari Ini, 6 Juli 1992
Sejumlah guru dari Jepang mendengarkan penjelasan dari Jugun Ianfu masa penjajahan Jepang, Mardiyem,78 tahun (paling kiri) di LBH Independen Yogyakarta, Selasa (21/8/07). (Antara/Regina Safria)

Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 31 tahun yang lalu, 6 Juli 1992, Kepala Sekretariat Kabinet Jepang, Koichi Kato menggemparkan seisi dunia. Ia menyebut pemerintah Jepang terlibat langsung dalam menjadikan wanita bumiputra sebagai pelacur pada masa penjajahan di Nusantara (1942-1945).

Sebelumnya, noda penjajahan Jepang sempat diperbarui dengan perjanjian damai dan pampasan perang. Seisi Nusantara diajak berdamai dengan Jepang. Sekalipun Jepang tak mau mengakui dosa-dosa masa lalunya.

Penjajahan Jepang membawa luka yang amat dalam bagi seisi Nusantara. Mereka tak berbeda jauh dari penjajah sebelumnya, Belanda. Kehadiran Jepang yang membawa narasi pemerintahan fasis banyak membuat kaum bumiputra sengsara.

Arogansi kekuatan militer ditonjolkan. Akibatnya, kaum bumiputra diperlakukan bak budak. Mereka diperas bak sapi perah. Kaum laki-laki dewasa dipaksa jadi pekerja paksa (romusha). Sedang kaum wanitanyanya dijadikan budak seks (jugun ianfu).

Kebencian itu kemudian mendarah daging. Apalagi kala Indonesia merdeka. Kebencian terhadap Jepang muncul dari seluruh elemen masyarakat. penjajah tetap penjajah. Narasi itu mulai melemah ketika Jepang dan Indonesia sepakat melupakan masa lalu.

Koichi Kato yang pernah menjabat sebagai Kepala Sekretariat Kabinet Jepang dari 1991 hingga 1992. (Wikimedia Commons)

Kedua negara ingin berdamai dan tak terus-terusan bermusuhan dan saling membenci. Inisiatif perjanjian damai direncanakan kedua negara. Pemerintah Orde Lama pun semakin tertarik. Utamanya, karena Orde Lama mencium bau-bau keuntungan besar dari perjanjian damai.

Dua perjanjian pun disiapkan. Perjanjian damai dan perjanjian pampasan perang. Perjanjian pampasan perang membuat Jepang memberikan Indonesia ganti rugi atas dampak Perang Pasifik. Dua perjanjian pun ditantangani di Jakarta pada 1958.

“Perjanjian ini terbagi dua, yang pertama perjanjian damai dan yang kedua perjanjian pampasan perang. Untuk perjanjian damai, mengatur hal-hal yang terkait keinginan untuk mengakhiri status perang dan menciptakan situasi damai antara dua negara.”

“Perjanjian ini berisi tujuh pasal, dan pampasan perang yang harus dibayarkan oleh Jepang diatur dan diterakan di dalam pasal 4 dalam perjanjian tersebut,” ungkap Moh. Gandhi Amanullah dalam buku Matahari Khatulistiwa: Hubungan Indonesia - Jepang dalam Perspektif Sastra dan Sosial Budaya (2020).

Boleh jadi perjanjian damai dan pampasan perang disambut dengan gegap gempita kedua negara. Namun, tak sedikit pula rakyat Indonesia yang kesal dengan perjanjian tersebut. Perjanjian pampasan perang dianggap tak lebih dari uang tutup mulut belaka.

Tentara Jepang masuk Nusantara untuk menjajah kaum bumiputra. (Wikimedia Commons)

Uang tutup mulut supaya Indonesia tak mengungkap kejahatan Jepang semasa penjajahan. Kejahatan jugun ianfu, misalnya. Kejahatan itu tak pernah mau diungkap Jepang. Padahal, pemerintah Jepang dicurigai kuat terlibat langsung memberikan perintah untuk melanggengkan jugun ianfu.

Namun, kesaksian Kepala Sekretariat Kabinet Jepang, Koichi Kato baru menggempar dunia pada 6 Juli 1992. Kato akhirnya mengungkap bahwa pemerintah Jepang terlibat dalam kekejaman memaksa wanita bumiputra jadi pelacur. Pemerintah Jepang pun dianggapnya berhutang maaf atas kekejaman.

“Kepala Sekretariat Kabinet Jepang, Koichi Kato, mengumumkan pengunguman penting pada tanggal 6 Juli 1992. Ia menyebut adanya keterlibatan resmi Pemerintahan Jepang merekrut dan memperkerjakan perempuan-perempuan Asia sebagai pelacur dalam Perang Dunia II.”

“Dikatakannya, sebuah investigasi resmi telah menemukan fakta adanya perempuan-perempuan dari Semenanjung Korea, China, Taiwan, dan Indonesia dijadikan pelacur di dalam stasiun-stasiun penghibur. Ada dokumen yang ditemukan menggambarkan beberapa hal yang menyangkut pembentukan rumah-rumah pelacuran dan pemberian kartu identitas kepada para wanita penghibur. Dan dokumen yang berkaitan dengan Indonesia ditemukan sebanyak empat buah,” terang Maulwi Saelan dalam buku Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66 (2008).