Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 101 tahun yang lalu, 3 Juli 1922, Ki Hajar Dewantara dan rekan-rekannya mendirikan Perguruan Taman Siswa. Pendirian itu dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan dan kebodohan. Pun sebagai bentuk protes atas terbatasnya akses pendidikan kepada kaum bumiputra.

Sebelumnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda tak pernah peduli dengan pendidikan kaum bumiputra. Kebodohan bak dibiarkan menyebar supaya penjajahan tetap langgeng.

Perjuangan melepas belenggu penjajahan Belanda tak cuma monopoli kaum priayi belaka. Jejak kaum ningrat dalam melanggengkan perjuangan justru tak kalah besar. Soewardi Soerjaningrat (kemudian dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara), misalnya.

Ia menyadari benar keistimewaannya berdarah biru. Keistimewaan itu membuatnya dapat mengakses pendidikan. Ia kemudian tercatat melanjutkan pendidikan di Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra, STOVIA. Jalur pendidikan itu membuatnya semakin peka terhadap nasib kaum bumiputra yang nelangsa di bawah penjajahan Belanda. Sekalipun ia tidak lulus.

Ia pun memanfaatkan bakatnya sebagai jurnalis dalam melanggengkan kritik atas penjajahan. Kemudian, ia bersama-sama dengan rekannya Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ernest Douwes Dekker mendirikan suatu partai fenomenal. Indische Partij (Partai Hindia), namanya.

Tokoh utama pendiri Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara. (Wikimedia Commons)

Kehadiran Tiga Serangkai (Soewardi, Ernest, dan Tjipto) dalam Indische Partij jadi kombinasi yang mampu menggoyang eksistensi Belanda. Soewardi, utamanya. Tulisannya kerap merepotkan Belanda. Ia pun dicap sebagai orang radikal dan pemberontak. Puncaknya, ia dipenjara, kemudian diasingkan ke Belanda.    

“Untuk keperluan penangkapan Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi, pihak yang berwajib mengerahkan sejumlah polisi Bandung, dibantu satu setengah batalyon serdadu Belanda dan Ambon. Mereka bersenjata lengkap dengan sangkur terhunus, seakan-akan kedua tahanan itu merupakan orang yang paling berbahaya di wilayah Hindia-Belanda ini.”

“Pada 30 Juli 1913, secara tiba-tiba Soewardi ditangkap di rumahnya. Dengan kawalan militer yang ketat, dia langsung dibawa ke penjara. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa hal itu akan terjadi. sepanjang jalan yang dilalui, semua mata bagai memandang terarah kepadanya. Soewardi dikenal banyak orang. Dia adalah bekas Ketua Sarekat Islam di Bandung yang pada waktu itu telah mengundurkan diri karena kesibukannya dalam Comite Boemipoetra,” ungkap Irna H.N. Hadi Soewito dalam buku Soewardi Soerjaningrat dalam Pengasingan (2019).

Pengasingan nyatanya tak membuat Soewardi menyerah. Ia justru banyak menemukan orang Belanda yang mendukung gebrakannya melepas Belenggu penjajahan. Ia pun mulai mempelajari banyak hal. Suatu ketika ia pun menyadari bahwa melawan penjajahan tak ubahnya melawan kebodohan.

Pendidikan lalu dianggapnya sebagai kunci utama Indonesia merdeka. Pemikiran itu berkembang seiring ia mempelajari sosok Rabindranath Tagore dan Maria Montessori. Pemikiran kedua tokoh pendidikan dunia itu mulai diadopsi Soewardi sebagai ajian mencerdaskan anak bangsa.

Keinginan itu semakin meninggi ketika masa hukuman pengasingannya berakhir. Ia pun pulang ke Indonesia. Jiwa radikalnya mulai berubah menjadi jiwa bijak. Ia ingin mengabdikan dirinya penuh untuk pendidikan. Semuanya dilakukan supaya segenap kaum bumiputra dapat mengenyam pendidikan.

Panji Taman Siswa. (Wikimedia Commons)

Ia bersama teman-temannya berpikir menyediakan sebuah wadah. Perguruan Nasional Taman Siswa, namanya. Perguruan itu berdiri pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Perguruan tinggi itu maju pesat dan muncul di mana-mana. Beberapa tahun setelahnya Soewardi mantap menganti nama dengan Ki Hajar Dewantara.

“Pada saat yang hampir bersamaan dengan lahirnya Sekolah-sekolah Tan Malaka, berdirilah di Yogyakarta pada 3 Juli 1922 Perguruan Nasional Taman Siswa. Yang Memimpin ialah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Pada 1927 ia mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara, yang artinya guru perantara dewa. selain cocok dengan perannya sebagai pendidik, perubahan nama itu dimaksudkan juga untuk menanggalkan citra kebangsawanannya.”

“Berbeda dengan ide dasar pendidikan Tan Malaka yang bersemangat proletaris, ide dasar pendidikan Taman Siswa adalah pemuliaan manusia sebagai pribadi yang berakar pada kulturnya sendiri tapi sekaligus juga terbuka bagi unsur-unsur kultur barat, yang berpengaruh positif pada pengembangan pribadi dan kultur bangsa sendiri,” terang P. Swantoro dalam buku Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu (2016).