Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 19 tahun yang lalu, 2 Juli 2004, jurnalis kenamaan Indonesia dan Tokoh Pers Nasional, Mochtar lubis meninggal dunia di Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Kepergiannya membawa kedukaan yang amat dalam bagi insan pers dan juga rakyat Indonesia.

Sebelumnya, kehadiran Mochtar Lubis sebagai jurnalis menyadarkan banyak pihak pentingnya media massa sebagai corong kritik. Ia berani melanggengkan kritik keras dari era Bung Karno hingga Soeharto. Sekalipun ia harus mendekam di penjara.

Urusan kritik kebijakan negara, Mochtar Lubis jagonya. Pemimpin redaksi surat kabar Indonesia Raya itu tak segan-segan menguliti kebijakan dan gaya hidup korup pejabat pemerintah. Eksistensi itu telah dilanggengkannya sedari masa pemerintahan Soekarno dan Orde Lama.

Ia memanfaatkan benar fungsi pers sebagai media kontrol sosial. Kritikannya tajam dan menyinggung. Alhasil, Mochtar Lubis pun harus menerima konsekuensi dari kritikannya. Ia di penjara selama sembilan tahun (1956-1965).

Langkah itu diambil Orde Lama untuk membungkam daya kritis Mochtar Lubis. Padahal, ia tetap produktif menulis dari balik jeruji. Ia pun kembali sebagai jurnalis ketika Bung Karno lengser dari pemerintahan.

Tokoh Pers Nasional, Mochtar Lubis. (Wikimedia Commons)

Daya kritisnya tak lantas berkurang. Sekalipun yang dihadapi adalah pemimpin baru: Soeharto dan Orde Baru (Orba). Ia berani membedah bahkan membongkar perilaku korup jajaran Orde Baru. Ibnu Sutowo sebagai pemimpin Pertamina pernah dikulitinya habis-habisan.

Keberaniannya itu kemudian menuntun Mochtar untuk sekali lagi mendekam dalam jeruji besi selama dua bulan. Ia tak jera. Tindak-tanduknya berdiri untuk kebenaran tetap menyala. Buktinya, Mochtar Lubis ikut menjadi salah satu tokoh pergerakan Petisi 50. Suatu kelompok yang menentang Soeharto menyalahgunakan Pancasila untuk memukul mundur lawan politiknya.

“Mochtar Lubis adalah sosok yang memiliki watak kritis dalam mendorong transformasi budaya politik dan anti korupsi dalam negara. Mochtar Lubis mengusung Personal Journalism atau tipikal jurnalisme yang identik dengan ketokohan pemimpin redaksi sebuah media. Mochtar Lubis monjadi ikon Indonesia Raya pada zaman Orde Lama dan Ordo Baru. Mochtar Lubis tolah momposisikan pers sebagai ruang transformasi budaya kritis.”

“Mochtar Lubis melontarkan kritik yang tajam terhadap negara dan perilaku korupsi penguasa pada saat ruang transformasi ditutup oleh rezim otoriter Soekarno dan Soeharto. Mochtar Lubis adalah wartawan jilhad yang berani bicara lurus, jujur, dan terbuka untuk mendorong perubahan perilaku politik elite yang korup. Mochtar Lubis menjadikan pers sebagai wadah perjuangan gagasan dengan pena,” terang Mansyur Semma dalam buku Negara dan Korupsi (2008).

Keberanian Mochtar Lubis pun menginspirasi banyak orang. Ia kemudian menorehkan banyak karya. Dari artikel, novel, hingga buku. Kehadiran karya-karyanya itu menjadi bukti bahwa nyalinya melemparkan kritik kepada pemerintah tak pernah padam.

Semangat itu masih terus hadir hingga ia meninggal dunia pada 2 Juli 2004. Ia meninggal dunia di Rumah Sakit Medistra karena mengidap berbagai macam penyakit. Kepergiannya membawa duka mendalam bagi segenap rakyat Indonesia. Ia pun kemudian di makamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut, Jakarta.

“Mochtar Lubis, meninggal dalam usia 82 tahun, Jumat lalu. Komunitas pers kehilangan seorang tokoh yang dipandang bak bintang di langit: terlalu tinggi untuk digapai, tetapi sangat bermanfaat sebagai pemandu bagi yang kehilangan kompas di tengah lautan dan tidak melihat mercusuar di kegelapan.”

“Memang memahami tindakan Mochtar Lubis dalam mempertahankan kebebasan pers sama sulitnya dengan menggapai bintang. Termasuk bagi kalangan dekatnya,” cerita Atmakusuma dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Mochtar Lubis, Bintang di Langit (2004).