Ratu Juliana dari Belanda Meninggal Dunia dalam Memori Hari Ini, 20 Maret 2004
Ratu Juliana dari Belanda. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 20 tahun yang lalu, 20 Maret 2004, Ratu Juliana dari Belanda meninggal dunia. Kepergiaan sosok ratu yang dekat dengan rakyat itu mengebohkan seisi Belanda, kemudian dunia. Ucapan belasungkawa berdatangan. Rakyat Belanda yang melayat pun bejibun.

Sebelumnya, Juliana Louise Emma Marie Wilhelmina dinobatkan sebagai Ratu Belanda pada 1948. Ia kemudian mulai melakukan gebrakan. Ia mencoba menghilangkan kekakuan jarak antara ratu-rakyat. Karenanya, ia dikenal sebagai ratu yang merakyat.

Penobatan Ratu Juliana dari Belanda memancing perhatian seisi dunia. Kepemimpinannya digadang-gadang dapat membawa angin segar bagi rakyat Belanda. Namun, secara tak diduga penobatan itu membawa arti penting bagi rakyat Indonesia.

Semua karena di bawah kuasanya Belanda mau mengakui kedaulatan Indoensia lewat Konferensi Meja Bundar (KMB). Hasil KMB pun disegerakan. Kesepakatan penandatanganan perjanjian penyerahan kedaulatan dilakukan di dua tempat pada 27 Desember 1949.

Ratu Juliana dan Presiden Soeharto di Istana Merdeka, Jakarta pada 1971. (Wikimedia Commons)

Penandatanganan di Istana Dam diwakili pihak Indonesia, Bung Hatta. Sedang perwakilan penjajah diwakili oleh Ratu Juliana. Istana Rijswijk (kini: istana Negara) diwakili pihak Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan pihak Belanda, A.H.J. Lovink.

Penandatangan di Istana Dam itu nyatanya jadi dokumen politik pertama yang ditandatangani oleh Juliana. Ia pun mulai memfokuskan diri mengadi kepada rakyat Belanda. Ia ingin rakyat Belanda hidup sejahtera.

Laku hidup itu ditunjukkan Juliana dengan keinginannya yang tak ingin berjarak dengan rakyat Belanda. Sesuatu yang tak dilakukan ibunya, Ratu Wilhelmina kala masih memegang takhta. Ratu Juliana pun kerap bercengkrama dengan rakyat belanda, di jalan atau pusat perbelanjaan.

Tampilannya kerap biasa-biasa saja. Ia bahkan tak segan-segan untuk menyapa. Pun kala Belanda dilanda musibah banjir pada 1953. Ratu Juliana memilih untuk terjun langsung. Ia mencoba memastikan segalanya terkendali.

“Kita semua harus menerima keputusan-keputusan yang telah diambil (di KMB). Terlepas dari pendapat Anda apakah Indonesia masih lama atau lama sekali lagi belum matang untuk kemerdekaan, dan betapa pun prihatinnya Anda dan beratnya kalbu Anda.”

“Saya ingin berkata dalam kesediaan yang mendalam. Yakni apabila orang-orang Belanda memainkan dengan jujur permainan ini, meniurut aturan-aturan baru, maka mereka akan disambut di Indonesia sebagai tamu-tamù yang dihormati," ujar Ratu Juliana dalam pesan Natalnyas sebagaimana diungkap Rosihan Anwar pada buku Napak tilas ke Belanda: 60 Tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949 (2010).

Perjalanannya sebagai orang nomor satu Belanda berlangsung mulus. Namun, usia yang kian menua jadi masalah. Apalagi, ia mulai menderita demensia. Kondisi itu membuatnya turun takha dan mengangkat anaknya, Beatrix jadi Ratu Belanda baru pada 1980.

Juliana pun mulai menikmati hari tuanya hingga ajal menjemputnya pada 20 Maret 2004. Kepergian Ratu Belanda itu membawa kedukaan yang mendalam bagi seisi Belanda. Ucapan belasungkawa berdatangan.

Kereta jenazah Ratu Juliana dari Belanda, yang meninggal pada 20 Maret 2004 dan dimakamkan pada 30 Maret 2004

Rakyat yang melayat pun bejibun. Hal itu jadi bukti bahwa Ratu Juliana dicintai seisi Belanda. Kemudian, Ratu Juliana direncanakan akan dimakamkan di Nieuwe Kerk, Delft. 

“Sabtu pagi itu langit Negeri Belanda seakan runtuh. Tak hanya lantaran awan gelap, angin kencang, dan hujan, tapi karena kabar duka dari Istana Soestdijk, Den Haag: Ibu Suri Juliana Louise Emma Marie Wilhelmina, Sabtu dini hari 20 Maret pekan lalu, meninggal pada usia 94 tahun. Tak peduli hujan yang mulai menderas, warga Den Haag pun-sebagian besar berusia lanjut- segera antre di toko-toko bunga.”

 “Ratusan orang menuju pelataran istana, dan ribuan karangan bunga pun segera menumpuk di pagar dan píntu gerbang ‘Belanda telah kehilangan seorang ibu kandung,’ ujar Jan Peter Balkenende. Perdana Menteri Belanda itu tak berlebihan. Hingga larut malam, para pelayat berdatangan silih berganti, sementara sejumlah warga di berbagai kota melakukan stille omgang, mengheningkan cipta. Bendera setengah tiang pun segera bertengger di kantor kantor pemerintah,” terang Endah W.S. dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Maka Padamlah Cahaya Sang Ratu (2004).