JAKARTA – Memori hari ini, 11 tahun yang lalu, 5 Maret 2013, pemimpin revolusioner Venezuela, Hugo Chaves meninggal dunia. Kepergian Chaves bak kehilangan paling mendalam rakyat Venezuela. Sederet pemimpin dunia pun tak mau ketinggalan mengucap kedukaan.
Sebelumnya, perjuangan Chaves untuk duduk sebagai orang nomor satu Venezuala tak mudah. Ia dan kaum komunis sempat melakukan kudeta dan gagal pada 1992. Kegagalan itu membuat sosoknya kesohor. Ia pun mampu jadi presiden pro rakyat miskin pada 1998.
Bela negara pernah jadi jalan hidup Chaves. Ia mengabdikan diri sebagai sebagai prajurit dengan pangkat letnan dua Angkatan Darat (AD). Kala itu ia bertugas mengejar pemberontak kiri. Alih-alih Chaves hanya fokus mengejar, ia justru dihadapkan dengan fakta baru.
Mereka yang melakukan pemberontak justru banyak berasal dari kalangan petani. Pemberontakan yang mereka lakukan sebesar-besarnya untuk kehidupan lebih baik. Semuanya karena kebijakan pemimpin Venezuela tak terlalu memedulikan hajat hidup kaum tani.
Narasi itu justru membuat Chaves bersimpati. Chaves mulai banyak membaca buku-buku kiri. Ilmu yang didapat Chaves dimanfaatkan benar. Apalagi, kala ia dan kawan-kawannya mendapatkan kesempatan mengajar di akademi militer 1981.
Kesempatan itu dianggapnya sebagai jalan memberikan pemahaman kepada generasi militer baru terkait ide-ide politik perubahan kiri yang pro rakyat. Pengaruh Chaves pun cukup kuat. Banyak di antara anak didiknya ikut bergabung dalam agenda politik Chaves.
Pihak militer pun mulai mencium gelagat tidak baik. Chaves mulai dicurigai sebagai bagian dari pemberontak yang ingin mengambil alih kekuasaan. Kondisi itu membuat Chaves diasingkan. Pucuk dicinta ulam tiba.
Chaves dan kawan-kawannya yang menyebut diri sebagai Revolutionary Bolivarian Movement-200 mulai melakukan agenda kudeta pada 1992. Sebuah kudeta yang dianggap gagal. Chaves menyerah dan mendekam di penjara selama dua tahun.
Namun, kondisi itu membuat Chaves mulai dikenal di seantero Venezuela. Ia yang baru keluar dari penjara kemudian mencoba memantapkan langkah baru. Ia mencoba karier baru dari tentara ke politikus.
Hasilnya gemilang. Chaves yang kemudian ikut dalam Pilpres 1998 mampu unggul dari lawan-lawannya. Alhasil, Chaves segera menjelma jadi orang nomor satu di Venezuela dan dilantik pada Februari 1999.
“Hugo Chavez mendominasi politik Venezuela selama 14 tahun dengan kepribadiannya yang karismatik, kebijakan populis dan metode otoriter sebelum kematiannya minggu ini. Kebijakan redistribusi yang dilakukannya membawa kondisi kehidupan yang lebih baik bagi jutaan warga miskin Venezuela. Namun warisannya ternoda oleh melemahnya lembaga-lembaga demokrasi dan dukungan para pemimpin asing yang jahat seperti Bashar al-Assad dari Suriah dan Mahmoud Ahmadinejad dari Iran.”
“Tidak dapat disangkal popularitasnya di kalangan mayoritas miskin di Venezuela. Ia memenangkan pemilu dengan mencurahkan sebagian besar pendapatan minyak negaranya untuk membangun perumahan umum, mendirikan klinik kesehatan, dan menyediakan makanan yang terjangkau bagi warga termiskin,’ tertulis dalam tajuk rencana laman The New York Times berjudul Hugo Chaves (2013).
Kepemimpinan Chaves mengundang puja puji di Amerika Selatan, bahkan dunia. Chaves mampu menjelma jadi ikon perlawanan dan perubahan. Tiada yang mampu menggesernya di Venezuela. Sekalipun sempat ada agenda kudeta dari lawan politiknya.
Jika ada yang mampu memutus eksistensi Chaves di Venezuela, maka itu adalah kematian. Benar saja, Chavez meninggal dunia pada 5 Maret 2013. Ia kala itu sedang bertarung dengan penyakit yang dideritanya, kanker.
BACA JUGA:
Kepergian chaves pun membawa kedukaan yang mendalam. Pemimpin dunia pun turut mengucap rasa bela sungkawanya.
“Chavez meninggal di rumah sakit militer di Caracas pada usia 58 tahun setelah dua tahun berjuang melawan kanker yang menyerang panggulnya. Dia sempat menjalani empat operasi di Kuba sejak didiagnosis mengidap penyakit mematikan itu pada Juni 2011. Sekutu dekat Chavez di Amerika Latin juga menyatakan kesedihan mereka. Kuba, negeri yang jadi karib terdekat Chavez, mengumumkan hari berkabung nasional selama tiga hari.”
“Pemerintah Kuba menyatakan Chavez telah berdiri di samping Fidel Castro seperti putra sejatinya. Adapun Presiden Bolivia, Evo Morales mengatakan sangat terpukul Kematian Chavez itu mengejutkan rakyatnya. Ribuan orang turun ke jalanan Kota Caracas. Sejumlah perempuan tampak berkumpul di depan Istana Miraflores, kantor Chavez. Sebagian dari mereka mengenakan kaus bertulisan ‘Majulah komandan!” tulis Sapto Yunus dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Mencari Penerus Revolusi Bolivar (2013).