Presiden Filipina Ramon Magsaysay Meninggal Dunia dalam Memori Hari Ini, 17 Maret 1957
Ramon Magsaysay yang pernah menjabat sebagai Presiden Filipina era 1953-1957. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 67 tahun yang lalu, 17 Maret 1957, Presiden Filipina, Ramon Magsaysay meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat kepresidenan Cebu Douglas C-47. Seisi Filipina pun berduka. Ucapan belangsukawa muncul dari mana-mana.

Sebelumnya, Ramon dikenal luas sebagai ikon perjuangan Filipina. Tindak-tanduknya melawan komunisme jadi musabab. Narasi itu membawanya dikenal di seantero Filipina. Pun kemudian segenap rakyat menghendakinya jadi orang nomor satu di Filipina.

Pendidikan adalah fondasi penting perjuangan. Itulah narasi yang diamini oleh keluarga Ramon Magsaysay. Perjalanan pendidikan Ramon mulus, sekalipun ia sempat pindah dari Universitas Filipina ke Jose Rizal College (kini: Universitas Jose Rizal).

Ia pun meraih gelar sarjana bidang perdagangan. Ia sempat meniti karier sebagai mekanik mobil. Namun, Perang Dunia II mengubah segalanya. Ramon memilih untuk bela negara. Ia bergabung dengan divisi infantri ke31 tentara Filipina.

Ketekunannya berjuang secara gerilya mendapatkan apresiasi. Ramon diangkat sebagai kapten. Amerika Serikat pun kepincut dengan prestasinya. Ramon lalu diangkat sebagai Gubernur Militer Provinsi Zambales. Karier itu jadi gerbang pertamanya memasuki dunia politik.

Ramon Magsaysay (kiri) kala terpilih sebagai Presiden Filipina pada 1953. (Wikimedia Commons)

Ketekunan Ramon pun membawakan hasil. Ia kemudian memilih karier sebagai anggota kongres dari Partai Liberal era 1946-1950. Namun, Ramon tak kerasan hidup sebagai anggota kongres. Ia ingin karier lainnya.

Ia mencoba menghadap ke Presiden Filipina Elpidio Quirino. Ramon membawa rencana gerilyanya kepada pemerintah untuk dapat memutus mata rantai gerakan komunis di Filipina. Hasilnya mengagumkan.

Ramon kemudian diangkat sebagai Menteri Pertahanan Filipina pada 1950. Karier ini membuat namanya kian mengudara. Sisi lainnya ia mendapatkan banyak musuh yang memaksa mengundurkan diri dari pemerintahan.

Ia tak lantas berhenti dari pentas politik. Sebab, Partai Nacionalista justru meminangnya untuk maju jadi calon presien dalam Pilpres 1953. Segenap rakyat Filipina pun memilih Ramon. Alhasil, Ramon secara paripurna jadi orang nomor satu Filipina.

“Meskipun Magsaysay adalah seorang Liberal, Partai Nacionalista berhasil mendukungnya sebagai presiden melawan Quirino pada pemilu 1953. Ia memenangkan Pilpres. Magsaysay menjanjikan reformasi di setiap aspek kehidupan Filipina, namun upayanya frustrasi karena banyak anggota kongres mewakili kepentingan orang kaya.”

“Meskipun mendapat dukungan awal dari Kongres pada bulan Juli 1955, Magsaysay tidak dapat mengesahkan undang-undang reformasi pertanahan yang efektif. Ketidakpedulian pemerintah terhadap penderitaan kaum tani kemudian merusak sebagian besar kerja baiknya dalam memperoleh dukungan rakyat dalam melawan Huk (gerilyawan komunis). Namun demikian, ia tetap sangat populer dan memiliki reputasi yang baik karena tidak korup,” tertulis dalam laman Britannica.

Presiden Filipina, Ramon Magsaysay bersama Presiden RI, Soekarno. (Flickr/Marcial Valenzuela Photo Collection)

Pekerjaan rumah Ramon sebagai orang nomor satu Filipina bejibun. Ia kerap berhadapan dengan anggota kongres yang mewakili kepentingan orang kaya. Fakta itu membuat banyak di antara rencana Ramon tak berjalan.

Namun, bukan Ramon namanya jika tak mendapatkan solusi. Ia justru berhasil memberlakukan reformasi agraria. Ia mampu membagikan sekitar 90 ribu hektar kepada 4.500 keluar miskin untuk digunakan sebagai pemukiman dan pertanian.

Kepeduliannya kepada kaum tani membuat namanya kian melambung. Masalah muncul di tengah puncak prestasi baiknya. Pesawat kepresidenan Cebu Douglas C-47 yang membawanya berkeliling Filipina kecelakaan dan jatuh di sekitar Gunung Manunggal pada 17 Maret 1957.

Ramon Magsaysay dan puluhan penumpang lainnya meninggal dunia. Berita duka itu membuat seisi Filipina berduka. Kedukaan itu terbukti dengan membludaknya massa hingga jutaan orang yang mengantar Ramon ke peristirahatan terakhir beberapa hari setelahnya.

 “Pada tanggal 17 maret 1957, pesawat yang membawa Presiden Filipina, Ramon Magsaysay jatuh di Pulau Cebu, sebelah selatan Manila. Aku tahu kematiannya akan menjadi cerita utama dan besar untuk dunia.”

“Seorang antikomunis yang setia. Ramon adalah seorang tokoh karismatik yang menenangkan pemberontakan petani di Filipina dengan pendekatan humanisme. Ia membuka pintu istana presiden untuk semua orang,” terang John Launois dan Chris Pan Launois dalam buku L'Americain: A Photojournalist's Life (2014).