JAKARTA - Tiada anugerah tahunan yang lebih bergengsi di Asia selain Ramon Magsaysay. Penghargaan itu bahkan disebut-sebut sebagai “Nobel Versi Asia.” Sosok-sosok kesohor yang kontributif yang mengisi daftar. Dalai Lama dan Bunda Teresa adalah beberapa di antaranya. Pun sederet tokoh-tokoh dari Indonesia juga sempat mencicipi perhargaan tertinggi di Asia. Mereka adalah Pramoedya Ananta Toer (1955), Mochtar Lubis (1958), Hingga Ali Sadikin (1977).
Presiden Filipina, Ramon Magsaysay jadi orang di balik nama penghargaan utama dan kehormatan tertinggi di Asia. Bagi negaranya, sosok Ramon Magsaysay laksana pahlawan. Tindak-tanduknya dalam melawan kolonialisme dan komunisme begitu menginspirasi dunia. Namun, siapa sangka dulunya Ramon Mangsaysay adalah seorang guru sekolah di pulau Luzon, Filipina. Pun orang tuanya bukan orang penting dalam dunia perpolitikan.
Tapi Ramon Magsaysay menembus semua batasan. Melansir Britannica, keterlibatannya sebagai pemimpin gerilya di Luzon pada Perang Dunia II jadi awalan menembus dunia politik Filipina. Tepat ketika Amerika Serikat (AS) merebut kembali Filipina dari tangan Jepang, Ramon Magsaysay diangkat sebagai Gubernur Militer Provinsi Zambales. Kariernya menanjak. Ia bahkan pernah menjadi anggota kongres Partai Liberal selama dua periode (1946-1950).
Selepas itu, Ramon Magsaysay menawarkan sebuah rencana kepada Presiden Elpidio Quirino untuk mematikan langkah gerilyawan komunis, Hukbalahap yang masih bertebaran di tanah Filipina. Rencana yang dibuatnya didasari pengalaman selama jadi gerilyawan Perang Dunia II. Idenya diterima. Ramon Magsaysay dijadikan Sekretaris Pertahanan Nasional, sebelum jadi Menteri Pertahanan. Berkatnya, citra Angkatan Darat Filipina begitu dihormati dan dikagumi.
Kesempatan menjadi orang nomor satu Filipina pun tak disia-siakan oleh Ramon Magsaysay. Janjinya untuk mereformasi setiap segmen kehidupan di Filipina mendapatkan dukungan luas dari rakyat. Alhasil, Ramon Magsaysay menang dalam pemilihan umum tahun 1953 melawan presiden sebelumnya Elpidio Quirino. Selama memimpin Filipina (1953-1957), Ramon Magsaysay membawa banyak perubahan.
Ia dianggap berjasa membawa negaranya ke masa jaya melalui iklim demokrasi yang baik dan antikorupsi. Akan tetapi, Presiden Filipina itu meninggal dalam kecelakaan pesawat pada Maret 1957. Segenap rakyat Filipina kemudian berduka. Boleh jadi takkan ada Presiden lain yang mengantikan Ramon Magsaysay di hati rakyat Filipina. Karenanya, untuk mengenang jasa Ramon Magsaysay dibentuklah Ramon Magsaysay Foundation. Salah satu agendanya adalah Anugerah Magsaysay Award tak lama setelah kematiannya.
Penghargaan tahunan itu diberikan kepada individu atau organisasi di Asia yang mampu mewujudkan semangat perubahan yang sama seperti yang digaungkan mendiang Ramon Magsaysay. Terutama kepada mereka yang melanggengkan semangat antikorupsi.
Beberapa tokoh besar yang menerima penghargaan ini adalah Dalai Lama dari Tibet (1958) dan Bunda Teresa dari India (1962). Segenap tokoh dari Indonesia bahkan sempat mendapatkan Nobel Versi Asia. Mereka yang pernah memenangkan Anugerah Ramon Magsaysay adalah sastrawan legendaris Pramoedya Ananta Toer (1955), Jurnalis Mochtar Lubis (1958), dan Gubernur DKI Jakarta yang kharismatik, Ali Sadikin (1977).
Cerita Ali Sadikin sabet anugerah Ramon Magsaysay
Kerja keras Ali Sadikin membangun Jakarta terbayar dengan didapatkannya Anugerah Ramon Magsaysay pada 1971. Dalam pandangan empunya anugerah Ramon Magsaysay, Ali Sadikin digambarkan sebagai sosok yang keras kepala. Akan tetapi, keras kepalanya Ali Sadikin menjadi bekal utama dalam proses mengubah Jakarta dari the big village menjadi metropolitan. Ali Sadikin banyak membangun fasilitas-fasilitas umum -- dari pusat hiburan hingga sekolah. Pun Ali Sadikin adalah sosok antikorupsi seperti mediang Ramon Magsaysay.
“Prestasi-prestasinya, dynamisme, compassion, dan terutama kejujurannya membuat orang Jakarta meramalkan, bahwa pada suatu waktu Sadikin akan menjadi presiden. Keterus-terangannya membingungkan orang-orang Jakarta, sekalipun mereka senang padanya karena itu. Di kota di mana katanya tiap orang bisa disogok, Sadikin dipandang tidak bisa disuap.”
“Dia menerima gaji Rp14 ribu (kala itu: 36 dolar) sebulan tambah ongkos-ongkos lain, gas, listrik, dan kendaraan. Terang dia tidak bisa hidup dari situ. Sadikin mengangkat jempolnya ke arah kamar praktek istrinya (Dokter Gigi Nani Sadikin). Ali Sadikin bilang: Dari sana (saya hidup),” hadir dalam The Ramon Magsaysay Award 1958-1971 dikutip Pria berjuluk Kennedy dari timur dalam buku Ali Sadikin Mengusur dan Membangun (1977).
Dalam masa itu, utusan dari Anugerah Ramon Magsaysay langsung yang mendatangi kantor Ali Sadikin di Balai Kota. Ali Sadikin menganggap penghargaan itu begitu mengagetkan. Sebab, kedatangan utusan disertai pula oleh diplomat dari Kedutaan Besar Filipina di Jakarta. Penghargaan tak main-main, katanya. Ali Sadikin pun menerima kehormatan itu. Tapi, Ali tidak bisa ke Manila Maret 1971. Setelah dijadwalkan ulang, Ali Sadikin baru dapat berangkat pada bulan Desember 1971.
Kedatangan Ali ke gedung Magsaysay didampingi langsung oleh istrinya, Nani Sadikin. Setelah acara dibuka, Ali Sadikin diperkenalkan ke publik Manila. Sederet prestasinya diungkap satu persatu-satu. Ali Sadikin diperkenalkan sebagai sosok yang berhasil menegakkan pemerintahan sipil yang disertai sukses membangun Jakarta. Panitia pun segera menyerahkan plaket dan cek senilai 10 ribu dollar kepada Ali Sadikin. Prosesi langsung dilanjutkan dengan testimoni dari sang penerima penghargaan. Ali menitik beratkan pidatonya dalam menjadi gubernur semua golongan.
“Pada kesempatan tersebut saya telah menjelaskan, bahwa gubernur yang baik adalah gubernur yang sepenuhnya menempatkan dirinya sebagai seorang kepala pemerintahan daerah, darimana pun dia berasal dan afiliasi politik apapun yang dia anut. Sumpah jabatan yang diucapkan, adalah sumpah jabatan gubernur dan bukan sumpah jabatan seorang pemimpin partai atau panglima atau laksamana. Lebih jauh, menempatkan diri sebagai seorang gubernur juga berarti meletakkan kepentingan umum diatas kepentingan golongan atau korps,” tulis Ali Sadikin dalam buku Gita Jaya (1977).
Ada pula dalam pidato itu Ali Sadikin juga menceritakan pengalamannya yang tak gembira ketika ditunjuk oleh Presiden RI Pertama, Soekarno. Ali Sadikin sadar tugas yang dipercayakan kepadanya sama sekali asing. Alias di luar latar belakang Ali Sadikin sebagai seorang marinir. Lagi pula penunjukkan Ali Sadikin ketika masyarakat Indonesia berada dalam masa transisi yang penuh dengan saling curiga. Ali Sadikin tak menyerah. Ia terus bekerja keras sampai mimpi Soekarno menjadikan Jakarta sebagai ibu kota yang dikagumi dunia terwujud.
“Ketika saya memulai pemerintahan kota, ternyata kharisma saja tidak cukup memenuhi kualitas kepemimpinan untuk mengatasi masalah kota yang tak terhitung banyaknya. Ada resiko-resiko terhitung yang harus ditempuh; tantangan-tantangan terhadap program saya untuk ketertiban umum dan perbaikan-perbaikan harus dinetralisasikan.”
“Pada waktu yang sama pikiran saya terbuka untuk kritik yang membangun dan hati pun terbuka bagi mereka yang member dorongan. Memang sulit memperkenalkan ide-ide baru. Khususnya kepada komunitas yang enggan menerima perubahan karena cirri budaya, layar belakang serta wawasannya,” petikan pidato Ali Sadikin di Manila sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.